Tahun depan, beberapa kabupaten di propinsi NTT yang berbatasan dengan negara tetangga akan diguyur anggaran sebesar Rp. 4,1 triliun lebih. Anggaran yang bersumber dari APBN sebesar Rp. 4,05 triliun (17 Kementrian dan 1 Badan) dan 156 miliar lebih dana daerah ini diarahkan untuk membangun berbagai infrastruktur fisik seperti jalan, embung, cekdam, sumur gali, jaringan perpiaan air minum, perumahan, dan berbagai sarana dan prasarana lainnya (selengkapnya, lihat di HU Timor express edisi Jumat, 21 Juli 2017).
Dari sumber yang sama, juga terbaca bahwa sebaran anggaran dalam jumlah besar cenderung terkonsentrasi pada wilayah pembangunan yang relativ tak luas. Di Amfoang Timur (kabupaten Kupang) yang hanya ada 5 desa misalnya, lebih dari 15 milyar diarahkan ke sana. Sehingga, anggaran pembangunan yang demikian besar bisa diharapkan untuk merangsang geliat pembangunan masyarakat beranda negeri. Lebih jauh, peningkatan produktivitas ekonomi masyarakat diharapkan menjadi dampak berlanjut dari pembangunan berbagai infrastruktur tersebut.Â
Tetapi, berkaca pada kondisi faktual penyelenggaraan pembangunan di daerah batas selama beberapa waktu terakhir ini, prasangka adanya banyak kepentingan sempit oknum elit yang ikut menyamar dalam penganggaran pembangunan perbatasan nanti mesti mendapat tempat. Sehingga, memperkuat posisi tawar masyarakat yang akan menikmati hasil pembangunan agar terlibat secara bermakna dalam penyelenggaraan pembangunan mesti menjadi agenda bersama saat ini. Sedikitnya, tulisan ini mendekati maksud demikian.Â
Proyek tidak 'steril tikus'
Sesuai pemberitaan dalam HU Timor Express edisi 21 Juli 2017, hampir 20 milyar anggaran mengalir ke Amfoang Timur tahun depan. Dari total anggaran tersebut, 5 milyar akan dimanfaatkan untuk mengembangkan kawasan permukiman perbatasan di Oepoli, 4,5 milyar untuk membangun 300 buah rumah, 1 unit embung senilai 7 milyar, 4 unit embung senilai 5 milyar, rehabilitasi dan pengembangan SPAM IKK bervolume 16 Km, peningkatan jaringan irigasi sepanjang 1,5 Km, termasuk pengadaan sumur bor, mesin pompa air, genset listrik, reservoir, dan jaringan perpipaan.
Bukan baru tahun depan nanti anggaran sebesar itu mengucur ke Amfoang Timur. Beberapa tahun terakhir, anggaran dalam jumlah besar dari berbagai sumber anggaran dimanfaatkan untuk berbagai pembangunan fisik di sana. Mulai dari pengerjaan puluhan Km jalan aspal jenis lapen yang langsung bergelombang dan berlubang sana -- sini tidak lama setelah dikerjakan, pengerjaan beberapa jembatan kecil di desa Nunuanah yang kini sudah hancur akibat dugaan aksi korupsi menggunakan beberapa modus dan dilakukan terang - terangan, termasuk pembukaan gang baru beranggaran 250 juta rupiah yang sarat aroma korupsi di beberapa desa.Â
Beberapa tahun lalu, juga dibangun jaringan perpipaan air minum sepanjang belasan Km melewati 3 desa tetapi tidak pernah berfungsi hingga saat ini. Bahkan beberapa bagian proyek tersebut seperti bak penampung air dan sambungan pipa sudah dalam kondisi rusak. Masih banyak proyek yang terbengkalai dan kental aroma korupsinya. Terakhir, embung senilai hampir 1 milyar di desa Nunuanah tidak bisa digunakan sama sekali begitu selesai dikerjakan pada akhir tahun 2015 (semoga penegak hukum bisa mendalami informasi dugaan korupsi yang penulis sampaikan).
Karena itu, tudingan bahwa setiap proyek yang diarahkan ke masyarakat adalah proyek elit yang sarat skenario kepentingan sempit oknum elit tak bisa ditampik. Pemberitaan soal pungutan feesebesar 10 persen dalam kasus suap dana optimalisasi di Ditjen P2K-Trans yang melibatkan oknum wakil rakyat dan pihak eksekutif dari beberapa kabupaten di NTT menguatkan tudingan di atas (HU Timor Express edisi Sabtu, 22 Juli 2017). Kasus E-KTP yang menjerat Setya Novanto yang telah mewakili kehormatan dan kesejahteraan masyarakat NTT juga bisa jadi contoh bagaimana setiap proyek diskenario agar bisa ditunggangi kepentingan sempit oknum elit. Masih banyak kasus korupsi yang tampilan faktanya cenderung menguatkan anggapan demikian.Â
Memang, tak elok menggeneralisir keadaan. Tetapi, pemberitaan menunjukkan bahwa korupsi proyek yang dibiayai APBN maupun APBD berlangsung masif di hampir seluruh pelosok NKRI sehingga prasangka bahwa anggaran untuk batas kali ini tak lantas 'steril tikus' menjadi tidak berlebihan.
Memperkuat posisi tawar masyarakat
Setiap elemen masyarakat di daerah batas yang menjadi sasaran pembangunan mesti didorong terlibat mengawal aktivitas pembangunan agar dikerjakan sesuai arahan aturan sehingga bisa digunakan sesuai peruntukannya. Jika tidak, sama seperti contoh kasus di Amfoang Timur, sebesar apapun anggaran dikucurkan, hampir tak berdampak bagi geliat produktifitas ekonomi masyarakat.Â
Hemat penulis, awal keterlibatan masyarakat dalam pengawasan dimulai ketika dokumen rencana anggaran biaya (RAB) dan petunjuk teknis pengerjaan serta dokumen lain sejenis dipelajari, didiskusikan, dan dipahami oleh semua elemen masyarakat. Sebab, selama ini, bahkan rencana anggaran biaya (RAB) dan dokumen sejenis menjadi rahasia yang tidak mudah diketahui oleh masyarakat umum. Dalam proses pengerjaan, perwakilan elemen masyarakat yang diutus oleh forum diskusi sebelumnya juga terlibat mengawas secara rutin dan terukur. Indikasi penyimpangan bisa langsung ditindak oleh masyarakat saat itu. Jika tidak diintervensi saat itu, meski kemudian para tikusnya tergiring ke ranah hukum, buruknya kualitas proyek atau bahkan yang tidak bisa dinikmati sama sekali relativ tidak segera dibenahi.Â
Setelah selesai, persetujuan masyarakat secara kolektiv juga menjadi elemen penting saat alih tangan (PHO). Yang terjadi selama ini, hanya pemerintah desa atau kecamatan yang menerima alih tangan dari pihak pengembang. Bahkan, tak jarang, buruknya kualitas proyek termasuk yang kental aroma penyimpangan diabaikan oleh oknum aparatur saat PHO. Yang terjadi di Amfoang Timur adalah bagian dari contoh yang demikian.
Pada posisi ini, kaum intelektual di batas negeri yang mesti memfasilitasi masyarakat agar terlibat aktif mengawal pengerjaan setiap proyek. Memobilisasi kekuatan massa rakyat sesuai prosedur berdemokrasi untuk menekan pemangku kepentingan yang menghambat akses keterlibatan rakyat dalam setiap proyek bukan hal yang salah. Kaum intelektual yang demikian adalah para guru progresif yang tidak hanya hadir di depan kelas lalu tak sadar persoalan sosial di sekitarnya. Mereka adalah para pendeta, romo, dan pimpinan umat yang sudah bosan membuai umat dengan suara kebenaran yang terlalu tinggi mengangkasa sehingga tak mendarat pada persoalan sosial jemaat. Mereka adalah para mahasiswa dan sarjana yang memiliki kepekaan sosial, dan tidak hanya berdiam diri karena takut tak bisa menjadi tenaga kontrak atau CPNS meski ketidakjujuran terlihat kentara di depan mereka. Kaum intelektual yang demikian adalah kaum yang sadar bahwa melawan ketidakjujuran juga merupakan kepatuhan terhadap Tuhan.Â
Dengan begitu, hujan anggaran mampu menyuburkan ekonomi massa rakyat yang selama ini mengalami kemarau kejujuran. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H