Mohon tunggu...
Aris Kurniawan
Aris Kurniawan Mohon Tunggu... wiraswasta -

Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, puisi, resensi, esai untuk sejumlah penerbitan. Buku cerpen dan puisinya yang telah terbit: Lagu Cinta untuk Tuhan (Logung Pustaka, 2005); dan Lari dari Persembunyian (Kumpulan Puisi, Komunitas Kampung Setan, 2007). Bisa ditemui di belagaresensi.blogspot.com, aris.kurniawan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Mengarak Jember Fashion Carnaval

18 September 2016   15:45 Diperbarui: 18 September 2016   15:59 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matahari memanggang Jember pada Sabtu terakhir bulan Agustus 2016. Sengatan panasnya sangat terasa menekan kulit begitu aku bersama rombongan turun dari elf. Sopir yang membawa kami dari hotel Royal di tengah kota Jember itu, menghentikan elf persis di depan pintu masuk studio Dynand Fariz yang merangkap kantor Jember Fashion Carnaval Center. Di dalam Dynand sudah menunggu kedatangan kami. Presiden Jember Fashion Carnaval (JFC) itu menyambut kami dengan ramah sekali.

Kami memang sudah membuat janji untuk wawancara atawa ngobrol-ngobrol. Dia mengenakan oblong putih bergambar karnaval, dipadu jaket hitam bertuliskan JFC di bagian kanan dan  bendera merah putih kecil di sebelah kiri. Rambutnya dilapisi jeli, disisir menumpuk ke tengah. Paduan celana jeans biru tua dan sepatu model tinggi yang menutup hingga di atas mata kaki menyempurnakan  penampilan Dynand laksana anak muda. Sebelum ngobrol-ngobrol kami diberi waktu untuk melihat-lihat studionya selama 10 menit. Studionya cukup luas, dibagi-bagi dalam beberapa ruangan: ruangan untuk mesin jahit listrik, ruangan untuk make up dan pemotretan, ruangan mendesain dan meletakkan contoh-contoh kostum. Di sejumlah sudut terlihat manekin mengenakan aneka kostum dalam beragam posisi.  Kami merubung Dynand di meja kerjanya yang letaknya pojok depan studio.      

Ngobrol-ngobrol kami dengan Dynand Fariz dimulai dengan cerita awal mula perjalanannya menyelenggarakan JFC yang terkenal dan menjadi salah satu karnaval busana terbesar sejagat. JFC rupanya berawal dari karnaval keluarga. Kegemaran Dynand Fariz mengkreasikan kostum berbagai macam profesi saat awal masa remaja membutuhkan panggung untuk memamerkan krasinya. Karnaval keluarga itulah panggung pertama Dynand.

Ia mengajak saudara-saudaranya parade dengan mengenakan kostum yang dia rancang sendiri dengan meniru berbagai atribut seragam bermacam profesi. Berawal di pelataran rumah orangtua, mereka lalu keluar berarakan ke rumah saudara-saudara sepupunya. Saudara-saudaranya mengikuti arak-arakan dengan mengenakan kostum bermacam profesi pula.

“Lama-lama saya bosen lagi-lagi hanya meniru seragam profesi dokter polisi, pilot dan seragam profesi lainnya,” cerita Dinan Fariz.     

Dynand Fariz

Waktu kecil Dynand sempat bercita-cita jadi dokter, pilot, polisi, guru, dan profesi-profesi favorit yang dicita-citakan anak-anak kecil pada umumnya. Tetapi Dynand ingat, ia sekadar ikut-ikutan anak-anak sebayanya. Cita-citanya kemudian berubah ingin menjadi arsitektur. Tetapi itu pun tidak lama. Cita-cita Dynand bergeser lagi, kali ini yang paling sesuai dengan hatinya, perancang kostum. “Sebenarnya sejak kecil saya ingin menjadi perancang kostum,” ujar Dynand.

Maka, sejak memantapkan cita-citanya menjadi perancang busana, Dynand  tidak lagi membuat kreasi  busana seragam profesi-profesi yang disebut tadi. Ia merancang busana sekehendak hatinya untuk karnaval bersama saudara-saudaranya di lingkungan rumah mereka saban lebaran tiba.

Kini JFC memasuki tahun ke 15. Namanya telah menggema ke seluruh penjuru dunia. Wisatawan mancanegara datang ke Jember, sebuah kota kecil di Jawa Timur, untuk menyaksikan karnaval busana yang mengundang perhatian.

JFC digelar pertama kali pada 2002. Seperti pekerjaan bidang apa pun, masa-masa merintis tidak pernah mudah. Selalu lekat dengan tantangan. Yang paling ringan adalah cemooh dan pelecehan masyarakat. Itu yang dialami Dynand Fariz. JFC dibenturkan dengan predikat Jember sebagai Kota Santri. Karnaval busana dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai santri.

Namun Dynand terus melaju. Setelah seluruh institusi negara mengunci pintu, Dynand nekat bertemu langsung dengan bupati Jember—waktu itu Samsul Hadi Siswoyo. Setelah menyimak presentasi Dynand, Bupati Samsul memberi sokongan. Tetapi sokongan yang didapat dari orang nomor satu di Jember itu bukan berarti jalan bagi JFC langsung mulus. Tentangan terus datang berganti-ganti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun