Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang kerap kita dengar belakangan ini menyadarkan kita untuk lebih berhati-hati dalam memilih pasangan. Di balik ikatan pernikahan yang diharapkan menjadi tempat bernaung yang aman, kenyataannya, ada banyak kasus di mana pasangan justru menjadi sumber tekanan dan ketidaknyamanan. Menjadi pasangan hidup bukan sekadar menemukan teman berbagi, tetapi juga memilih seseorang yang dapat menghargai, menghormati, dan memberikan rasa aman. Kasus-kasus KDRT ini mengajarkan bahwa cinta dan komitmen saja belum cukup kepribadian dan karakter pasangan juga memegang peranan penting dalam menjaga kebahagiaan dan keamanan dalam rumah tangga.
KDRT adalah masalah serius yang dapat mempengaruhi siapa saja, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau pendidikan. Kasus-kasus KDRT yang semakin sering terungkap di media massa dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa kesadaran publik terhadap isu ini mulai meningkat. Namun, peningkatan kesadaran ini tidak cukup hanya berhenti ditingkat pemahaman. Kita perlu mengubah kesadaran itu menjadi tindakan nyata agar dapat mengurangi dan mencegah kasus KDRT di masyarakat.
Setiap individu dapat berperan dalam upaya pencegahan KDRT dengan berbagai cara, seperti melaporkan kasus KDRT yang mereka saksikan, memberikan dukungan kepada korban, atau pun berpartisipasi dalam komunitas yang fokus pada pencegahan kekerasan dalam rumah tangga.
Kasus KDRT yang dialami oleh Cut Intan Nabila, yang dimana dirinya adalah seorang publik figur menjadi contoh nyata bahwa kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi pada siapa saja.
Kasus KDRT yang menimpa selebgram Cut Intan Nabila mulai terungkap secara mengejutkan setelah ia membagikan video yang menunjukkan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh suaminya, Armor Toreador. Video tersebut menjadi viral dan menarik perhatian publik, mengungkap sisi gelap dari hubungan mereka yang selama ini tertutup. Dalam unggahannya, Cut Intan mengungkap bahwa KDRT ini bukan yang pertama kali terjadi. Ia bahkan memiliki puluhan video sebagai bukti tindakan kekerasan yang dialaminya selama lima tahun terakhir. Situasi ini tidak hanya berdampak pada dirinya, tetapi juga berdampak pada anak mereka yang masih bayi.
Selain kekerasan fisik, Cut Intan mengungkapkan bahwa suaminya juga diduga berselingkuh dengan beberapa wanita, termasuk teman-teman dekatnya sendiri. Pengkhianatan ini semakin memperburuk keadaan, menciptakan rasa sakit dan pengkhianatan yang mendalam bagi Cut Intan. Meskipun ia telah memberikan banyak kesempatan kepada suaminya untuk berubah, namun hal itu tidak pernah terjadi. Dengan kondisi yang semakin memburuk, Cut Intan akhirnya memutuskan untuk melawan dan berbicara terbuka tentang pengalamannya itu.
Melihat beratnya kasus ini, pihak kejaksaan menolak upaya restorative justice, mengingat ancaman hukuman yang tinggi dan belum ada perdamaian antara keduanya. Keputusan ini menunjukkan komitmen untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi korban.
Situasi ini menggaris bawahi pentingnya kehati-hatian dalam memilih pasangan dan kesadaran akan tanda-tanda awal kekerasan. Selain itu, kasus ini juga menyoroti perlunya perlindungan bagi korban KDRT, terutama dalam hal dukungan psikologis dan sosial. Trauma yang dialami tidak hanya mempengaruhi korban, tetapi juga kesejahteraan anak yang terlibat, yang mungkin tumbuh dalam lingkungan yang penuh ketegangan.
Melalui keberanian Cut Intan untuk berbicara, ia tidak hanya memperjuangkan haknya, tetapi juga memberikan suara kepada banyak perempuan lain yang mungkin merasa terjebak dalam situasi yang sama. Kasus ini mendorong masyarakat untuk lebih peka dan responsif terhadap isu KDRT, serta menggalang dukungan untuk korban agar mereka bisa mendapatkan perlindungan yang layak dan memulihkan diri dari pengalaman traumatis. Dengan demikian, harapan untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan sehat bagi semua anggota keluarga dapat terwujud.
Oleh karena itu salah memilih pasangan risikonya bisa sangat besar, salah satunya adalah meningkatnya potensi terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Ketika seseorang memilih pasangan tanpa mempertimbangkan karakter, kestabilan emosi, dan sikapnya dalam menghadapi konflik, maka hubungan pernikahan berisiko menjadi sumber masalah.
Suami yang memiliki sifat suka mengontrol, mudah marah, atau tidak mampu menghargai pasangan bisa menyebabkan lingkungan rumah tangga yang penuh tekanan. Selain itu, ketidakcocokan dalam nilai dan pola komunikasi juga dapat memperburuk keadaan sehingga menciptakan konflik yang sulit diselesaikan.
Korban KDRT seringkali merasa terisolasi, takut, dan rendah diri. Mereka mungkin kesulitan untuk meminta bantuan karena merasa malu atau khawatir akan keselamatan diri dan keluarganya. Padahal, KDRT adalah bentuk kekerasan yang tidak dapat ditoleransi dan setiap korban berhak mendapatkan perlindungan dan bantuan.
Untuk mencegah terjadinya KDRT, penting bagi kita untuk lebih selektif dalam memilih pasangan. Kenali diri sendiri, pahami kebutuhan dan keinginan kita, serta jangan ragu untuk mencari tanda-tanda peringatan pada calon pasangan. Selain itu, membangun komunikasi yang sehat dan terbuka dalam hubungan juga sangat penting untuk mencegah terjadinya konflik yang berpotensi menjadi kekerasan.
Di tengah gelapnya kekerasan dalam rumah tangga, harapan selalu ada. Kita perlu bersatu untuk meningkatkan kesadaran, memberikan dukungan, dan memperkuat hukum demi melindungi korban. Setiap suara yang berani angkat isu ini adalah langkah menuju perubahan. Setiap individu, terutama perempuan dan anak-anak, berhak hidup tanpa rasa takut. Dukungan dari keluarga dan komunitas menjadi fondasi bagi korban untuk bangkit. Dengan memperkuat edukasi tentang kesetaraan dan hubungan sehat, kita dapat membangun generasi yang menghormati. Bersama, kita bisa menciptakan lingkungan yang aman dan bebas dari kekerasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H