Indonesia, sebagai negara demokrasi, menjamin kesetaraan hak bagi seluruh warga negaranya, termasuk hak perempuan untuk berpartisipasi di bidang politik. Konstitusi dan berbagai peraturan perundang-undangan telah menetapkan bahwa perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki untuk menduduki jabatan publik dan terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik. Namun, realita yang ada menunjukkan bahwa representasi perempuan di parlemen dan jabatan politik lainnya masih jauh dari ideal.
Hingga saat ini, perempuan hanya mengisi kurang dari 30% kursi di parlemen, meskipun telah ada kebijakan kuota gender yang seharusnya membuka peluang lebih besar. Meskipun representasi perempuan di parlemen Indonesia telah meningkat hingga 20,5% pada periode 2019-2024, angka tertinggi dalam sejarah politik Indonesia. Namun, angka tersebut masih belum memenuhi target kuota 30% meskipun berbagai regulasi seperti UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan sistem zipper telah diterapkan. Isu representasi perempuan menjadi penting karena kebijakan-kebijakan pro-perempuan, seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, seringkali tidak mendapatkan perhatian signifikan.
Realita Partisipasi Wanita di Bidang Politik
Banyak kader wanita dalam partai politik (parpol) yang belum bisa berpartisipasi secara penuh, terutama saat mereka dicalonkan sebagai caleg atau calon kepala daerah dalam pilkada. Hal ini disebabkan oleh beberapa kendala, seperti kesulitan dalam membagi waktu antara kegiatan partai dan keluarga, serta kurangnya pemahaman dan wawasan politik yang dimiliki oleh kader wanita mengenai dunia politik yang mereka masuki.
Partisipasi politik wanita di Indonesia, khususnya dalam lembaga-lembaga politik formal, masih sangat rendah. Banyak wanita yang tidak terlibat dalam proses-proses politik, terutama dalam pengambilan keputusan yang sering kali memengaruhi mereka. Idealnya, seluruh komponen bangsa harus terlibat dalam proses politik. Jika wanita masih dimarginalkan atau didiskriminasi dalam partisipasi politik, hal tersebut tidak hanya tidak adil, tetapi juga melanggar hak asasi manusia.
Selain itu, keterlibatan wanita dalam kegiatan partai juga sangat dipengaruhi oleh masalah dana. Tanpa dana yang cukup, sangat sulit bagi wanita untuk terlibat secara total dalam kegiatan partai. Meskipun kadang-kadang wanita bersedia mengeluarkan sejumlah dana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah dari partai mereka, banyak yang tidak mendapat dukungan dari suami. Wanita juga sering kali merasa kesulitan untuk mengorbankan kepentingan keluarga demi berpolitik, seperti saat kampanye. Dukungan dari keluarga, terutama suami, sangat penting untuk meningkatkan rasa percaya diri wanita. Ketika ada komitmen untuk berbagi tanggung jawab dalam rumah tangga, masalah keluarga tidak lagi menjadi hambatan bagi wanita untuk berpolitik.
Dalam proses pemungutan dan penghitungan suara, banyak saksi yang ditunjuk oleh parpol atau gabungan parpol didominasi oleh kader laki-laki, karena mereka dianggap lebih unggul dalam kinerja. Stereotip ini muncul karena wanita dianggap memiliki beban ganda, yaitu tanggung jawab terhadap suami dan anak di rumah yang sulit ditinggalkan untuk ikut dalam kegiatan partai. Selain itu, wanita sebagai minoritas dalam partai merasa kurang percaya diri untuk bersaing dengan kader laki-laki yang jumlahnya lebih banyak.
Tantangan Representasi Perempuan dalam Politik
Rendahnya representasi perempuan dalam politik tidak terjadi secara kebetulan, melainkan disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan:
1. Kurangnya Dukungan dari Partai Politik
Partai politik memegang peranan kunci dalam menentukan siapa saja yang dapat maju sebagai calon legislatif atau pejabat publik. Sayangnya, dukungan terhadap perempuan calon legislatif masih terbatas. Banyak partai politik lebih memprioritaskan calon laki-laki dalam hal pelatihan, pendanaan, dan nomor urut strategis. Hal ini menciptakan hambatan besar bagi perempuan untuk bersaing secara adil dalam kontestasi politik.
2. Budaya Patriarki yang Mengakar
Budaya patriarki yang masih kuat di Indonesia memengaruhi pandangan masyarakat terhadap peran perempuan dalam politik. Politik sering dianggap sebagai dunia laki-laki, sehingga perempuan yang ingin terjun ke dunia politik kerap menghadapi intimidasi, stereotip negatif, atau bahkan diskriminasi. Hal ini membuat perempuan merasa tidak percaya diri dan enggan untuk berpartisipasi secara aktif.
3. Seleksi Kandidat yang Didominasi oleh Laki-Laki
Seleksi kandidat dalam partai politik sering kali didominasi oleh laki-laki. Perempuan yang ingin maju harus menghadapi berbagai tantangan, termasuk sistem seleksi yang kurang inklusif dan kecenderungan partai untuk memprioritaskan kandidat laki-laki.
4. Minimnya Perempuan di Posisi Pimpinan Parlemen
Ketidakseimbangan gender juga terlihat di posisi strategis seperti pimpinan parlemen. Minimnya perempuan di jabatan tersebut mengurangi peluang mereka untuk memengaruhi kebijakan internal parlemen, termasuk yang berkaitan dengan isu kesetaraan gender.
5. Keterbatasan Akses terhadap Pendidikan Politik
Pendidikan politik menjadi salah satu kunci untuk meningkatkan partisipasi perempuan. Namun, akses terhadap pendidikan ini masih sangat terbatas, terutama di wilayah pedesaan. Perempuan di daerah terpencil sering kali tidak mendapatkan informasi yang memadai tentang hak politik mereka, mekanisme pemilu, atau cara terlibat dalam proses pengambilan keputusan politik.