Begitu membaca berita berjudul "Jabatan Eselon I dan II Akan Diisi Pegawai Swasta atau Profesional"Â otak saya langsung gemas, liar, dan sulit untuk tidak menghubungkannya dengan pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) tahun 2019. Betapa tidak, kalangan swasta atau profesional akan menduduki jabatan strategis nan manis di pemerintahan dengan jabatan eselon I seperti sekretaris jendral (sekjen), inspektur jendral (irjen), serta direktur jenderal (dirjen) dan jabatan eselon II yaitu para direktur di lingkungan kementerian/lembaga.Â
Jabatan itu hanya setingkat di bawah menteri atau kepala lembaga negara yang selama ini diisi oleh Aparatul Sipil Negara (ASN). Terbayang di benak saya banyaknya kementerian/lembaga di republik ini dan akhirnya akan ada ratusan jabatan eselon I dan II yang siap diberikan kepada kalangan non ASN. Mengapa saya menghubungkannya dengan pilpres 2019 bukan lain karena jabatan-jabatan tersebut saat itu menjadi politis, walapun alasannya agar mendapatkan orang-orang berkualitas.
Eselonisasi selama ini terjadi di lingkungan ASN. Namun demikian dalam beberapa kasus, TNI/POLRI juga dapat mengisi jabatan eselon I dan II di suatu kementerian/lembaga. Untuk yang satu ini kita masih dapat memaklumi, walaupun bukan termasuk ASN, TNI/POLRI juga aparatur negara yang berstatus kepegawaian sama dengan ASN. TNI/POLRI dapat juga saya sebut Pegawai Negeri Militer (istilah saya sendiri).
 Eselonisasi tidak hanya ada di pemerintahan pusat seperti kementerian/lembaga, di pemerintahan provinsi dan kabupaten/kota eselonisasi juga ada. Eselon tertinggi di tingkat provisnsi adalah eselon I b yaitu sekretaris daerah sementara di kabupaten/kota eselon tertinggi adalah eselon II a yaitu sekretaris daerah. Sementara kepala badan/dinas di kabupaten/kota bereselon II b.Â
Jadi kalau sasaran jabatan eselon I dan II yang akan diberikan kepada kalangan swasta atau profesional di kabupaten/kota seluruh Indonesia, maka akan ada ribuan jabatan yang bisa dibagi-bagikan. Kini tidak ada lagi kesulitan bagi presiden terpilih untuk mencarikan posisi penting selain menteri bagi orang-orang yang telah berjasa dalam menghantarkannya sebagai seorang presiden. Pemerintah sedang mempraktikan swastanisasi jabatan tinggi.
Selama ini proses pengangkatan menteri yang dilakukan oleh presiden pasca presiden terpilih dilantik tidak bisa dilepaskan dari pengaruh politik. Bahkan jabatan menteri memang dikenal sebagai jabatan politis, artinya ada pertimbangan politik dalam mengangkat seorang menteri. Bisa dipastikan, komposisi menteri akan diisi oleh orang-orang partai politik yang pada masa pemilihan presiden partai mereka berkoalisi. Hanya akan ada beberapa jabatan menteri yang benar-benar diisi oleh kalangan profesional. Peristiwa dramatis sering memenuhi ruang pandang dan dengar kita saat detik-detik menjelang pelantikan menteri.Â
Suatu kali ada calon menteri yang gagal dilantik hanya beberapa saat menjelang pelantikan. Kenapa? Politis! Tak ingin peristiwa tragis ini terulang, skema baru ini seolah ingin menjadi solusi ditengah minimnya kuota jabatan menteri sementara orang partai yang berjasa cukup banyak. Bagaimana jika hal itu benar-benar terealisasi?Â
Jawabannya adalah akan banyak terjadi pengisian jabatan pimpinan tinggi dari kalangan swasta/profesional (termasuk politisi?). Rasanya hal ini cukup bisa mengakomodasi balas jasa atas kemenangan calon presiden pada pilpres mendatang mengingat banyaknya jumlah anggota tim sukses capres/cawapres yang terlibat. Ringkasnya, tak jadi menteri, jadi dirjen boleh lah.
Pejabat eselon I dan II harusnya berasal dari Apratur Sipil Negara (ASN) dan bukan dari partai politik maupun yang terindikasi ada pengaruh dan intervensi politik. Hal ini dipertegas dalam UU No 5 th 2014 tentang ASN. Pasal 9 ayat 2 mengatakan bahwa pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.Â
Jadi bagaimana jika nantinya para pejabat eselon tersebut direkrut dari kalangan swasta/profesional? Tidakkah kita khawatir bahwa jabatan itu diberikan kepada mereka yang telah berjasa memenangkan pasangan capres di pilpres mendatang? Pemerintah akan menggunakan skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang memang merupakan bagian dari ASN sebagai dasar merekrut para pejabat eselon itu.Â
Kalau memang pemerintah menjamin bahwa pengangkatan pejabat itu bukan politis, beranikah pemerintah menjadikan "tidak pernah menjadi anggota/pengurus partai politik dalam 5 tahun terakhir" sebagai salah satu persyaratan?. Bila tidak, maka akan banyak politisi mengisi jabatan-jabatan tinggi di bawah menteri yang seharusnya suci dari politik dan seharusnya diisi ASN.
Ada yang berbeda dalam tubuh ASN jika kita mundur sedikit ke era pemerintahan Suharto. Pada era orde baru itu, PNS jelas berpolitik dan berafiliasi kepada Golongan Karya (Golkar). PNS dan keluarganya memiliki hak pilih dalam pemilihan umum. Pada masa itu tidak dikenal istilah netralitas. Bila dijumpai ada PNS yang mengikuti kampanye atau bahkan jadi juru kampanye Pemilu (untuk Golkar tentunya), itu bukan pemandangan yang aneh. Jadi tidak mengherankan apabila Golkar pada saat itu selalu memenangkan pemilu secara telak. Kini secara aturan tidak ada lagi PNS yang boleh berpolitik walaupun mereka masih memiliki hak suara.Â
Tetapi keterlibatan PNS dalam dunia politik sulit dihindari baik secara terang-terangan atau lebih-lebih secara sembunyi sembunyi. Karena membela golongan politik tertentu saat pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, seorang PNS sudah sangat sadar akan resiko yang akan diterima. Ada dua kemungkinan bagi PNS yang terlibat aksi dukung-mendukung calon kepala pemerintahan di daerah yaitu: naik jabatan atau turun jabatan. Sering kita dengar setelah seorang bupati/walikota dilantik, terjadilah perombakan (mutasi) besar-besaran yang menimpa para pejabat eselon di lingkungan pemerintahan. Jadi sama dengan pemerintahan orde baru, kini masih ada PNS berpolitik.
Judul artikel ini memuat frasa menampar muka sendiri. Pemerintah menyebutkan perekrutan pejabat dari kalangan swasta ini adalah bila di dalam (kalangan sendiri) tidak ada talenta yang mumpuni untuk menduduki jabatan tersebut. Bukankah ini bak menampar wajah sendiri? Bukankah ASN ini yang mengangkat adalah pemerintah melalui serangkaian seleksi. Apakah terjadi kekeliruan dalam seleksinya sehingga tidak diperoleh orang yang mampu menjabat sebagai pejabat tinggi? Oleh karena itu sebaiknya ada peninjauan kembali tentang rencana perekrutan swasta untuk menduduki jabatan pimpinan tinggi tersebut.Â
Dengan menganulir rencana tersebut ada beberapa keuntungan yang diperoleh. Pertama, Pemerintah tidak akan disalahkan karena diangap tidak dapat mengangkat dan membina ASN sehingga para ASN tersebut menjadi orang-orang yang mampu menduduki jabatan pimpinan tinggi. Kedua, penganuliran rencana tersebut akan memberikan kesempatan kepada pejabat karir untuk menjadi pegawai yang mampu dan mumpuni untuk menjabat pimpinan tinggi.Â
Bisa dibayangkan betapa akan terjadi gejolak bila suatu jabatan yang semestinya akan dimiliki seorang ASN sebagai puncak karirnya hanya akan terhenti begitu saja akibat masuknya orang "luar". Dalam hal ini Dan Slater (2018) mengatakan dalam konteks Indonesia terdapat asumsi implisit bahwa seorang presiden akan berbagi kekuasaan dengan pihak manapun yang membantu membuat presiden berkuasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H