Mohon tunggu...
Bekti Sawiji
Bekti Sawiji Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis musiman.

Menaruh minat terhadap cerita digital (digital storytelling), cara baru bercerita menggunakan teknologi modern. Memiliki website: www.ceritadigital.com yang memuat cerita digital bidang sosial dan pendidikan hasil workshop dan hasil karya sendiri.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Swastanisasi Pejabat Eselon I dan II, Pemerintah Tampar Muka Sendiri

22 November 2018   16:18 Diperbarui: 22 November 2018   16:43 594
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada yang berbeda dalam tubuh ASN jika kita mundur sedikit ke era pemerintahan Suharto. Pada era orde baru itu, PNS jelas berpolitik dan berafiliasi kepada Golongan Karya (Golkar). PNS dan keluarganya memiliki hak pilih dalam pemilihan umum. Pada masa itu tidak dikenal istilah netralitas. Bila dijumpai ada PNS yang mengikuti kampanye atau bahkan jadi juru kampanye Pemilu (untuk Golkar tentunya), itu bukan pemandangan yang aneh. Jadi tidak mengherankan apabila Golkar pada saat itu selalu memenangkan pemilu secara telak. Kini secara aturan tidak ada lagi PNS yang boleh berpolitik walaupun mereka masih memiliki hak suara. 

Tetapi keterlibatan PNS dalam dunia politik sulit dihindari baik secara terang-terangan atau lebih-lebih secara sembunyi sembunyi. Karena membela golongan politik tertentu saat pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah, seorang PNS sudah sangat sadar akan resiko yang akan diterima. Ada dua kemungkinan bagi PNS yang terlibat aksi dukung-mendukung calon kepala pemerintahan di daerah yaitu: naik jabatan atau turun jabatan. Sering kita dengar setelah seorang bupati/walikota dilantik, terjadilah perombakan (mutasi) besar-besaran yang menimpa para pejabat eselon di lingkungan pemerintahan. Jadi sama dengan pemerintahan orde baru, kini masih ada PNS berpolitik.

Judul artikel ini memuat frasa menampar muka sendiri. Pemerintah menyebutkan perekrutan pejabat dari kalangan swasta ini adalah bila di dalam (kalangan sendiri) tidak ada talenta yang mumpuni untuk menduduki jabatan tersebut. Bukankah ini bak menampar wajah sendiri? Bukankah ASN ini yang mengangkat adalah pemerintah melalui serangkaian seleksi. Apakah terjadi kekeliruan dalam seleksinya sehingga tidak diperoleh orang yang mampu menjabat sebagai pejabat tinggi? Oleh karena itu sebaiknya ada peninjauan kembali tentang rencana perekrutan swasta untuk menduduki jabatan pimpinan tinggi tersebut. 

Dengan menganulir rencana tersebut ada beberapa keuntungan yang diperoleh. Pertama, Pemerintah tidak akan disalahkan karena diangap tidak dapat mengangkat dan membina ASN sehingga para ASN tersebut menjadi orang-orang yang mampu menduduki jabatan pimpinan tinggi. Kedua, penganuliran rencana tersebut akan memberikan kesempatan kepada pejabat karir untuk menjadi pegawai yang mampu dan mumpuni untuk menjabat pimpinan tinggi. 

Bisa dibayangkan betapa akan terjadi gejolak bila suatu jabatan yang semestinya akan dimiliki seorang ASN sebagai puncak karirnya hanya akan terhenti begitu saja akibat masuknya orang "luar". Dalam hal ini Dan Slater (2018) mengatakan dalam konteks Indonesia terdapat asumsi implisit bahwa seorang presiden akan berbagi kekuasaan dengan pihak manapun yang membantu membuat presiden berkuasa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun