Simbol fonetis tidak sama dengan huruf. Perbedaannya adalah satu simbol mewakili satu bunyi sedangkan satu huruf bisa mewakili lebih dari satu bunyi. Contoh mudahnya adala huruf "e" dalam Bahasa Indonesia. "e" dapat dibunyikan berbeda seperti pada kata "erat", "ide" dan "elok".
Menutup pembahasannya Ustadz Miftah menegaskan sekali lagi bahwa aksen lokal sah dalam bahasa lain tetapi tidak dalam Bahasa Arab. Nah pernyataan ini juga yang ingin saya kritisi. Menurut saya bukan hanya Bahasa Arab saja yang demikian. Bahasa lain di dunia ini juga akan mengalami perubahan makna jika ada perubahan struktur dan pelafalan kata tersebut. Hanya tingkat kekeliruan itu perlu adanya tingkat toleransi.
Jadi, menurut saya kekeliruan pelafalan yang dilakukan oleh Presiden Jokowi mengucapkan AL-FATIHAH menjadi AL-FATEKA, masih dalam taraf wajar dan dimaafkan dalam konteks orang yang belum fasih berbahasa arab/membaca Alquran. Namun demikian, tidak berhenti di situ. Harus ada yang siap memberitahukan kepada presiden terkait masalah ini guna meluruskan cara pelafalan kata tersebut dengan benar. Dari segi politik, insiden ini menjadi hal yang merugikan bagi pihak petahana. Tetapi tidak elok juga bila lawan menjadikan ini sebagai salah satu kampanye negatif karena sangat naif rasanya bila Alquran dijadikan komoditas politik. Wallahu a'lam bishawab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H