To all single woman...
Jika suatu ketika calon suamimu memintamu resign dari pekerjaanmu, TOLAKLAH ITU. APAPUN ALASANNYA.Â
Kecuali kamu memang bercita-cita menjadi ibu rumah tangga.Â
Sebelum menikah, aku adalah seorang wanita dengan karir yang cukup bagus. Bekerja 7 tahun lamanya di perusahaan swasta sebagai manajer pemasaran. Hampir setiap bulan aku bisa berpergian keluar kota dengan intensitas yang cukup tinggi, 2 hingga 3 kali sebulan. Selain bekerja, aku juga menempuh pendidikan S2 di universitas negeri dengan jurusan yang sangat sulit dilalui bagi sebagian orang. Sampai disini, apa sudah terbayang bagaimana sibuk dan padatnya jadwalku saat itu?Â
Aku bekerja mulai dari pukul 8 pagi sampai tak terbatas, terkadang sampai jam 1 pagi, terkadang sampai jam 4 sore. Tergantung hari itu aku bertemu klient yang mana. Disela-sela bekerja, aku harus mencuri waktu untuk penelitian di kampusku, beberapa kali aku mengalami  kendala terkait penelitianku. Mulai dari sulitnya mencari bahan baku, lamanya merakit peralatan (habis 1 smester hanya merakit peralatan), peralatan mengalami kerusakan bahkan ledakan (satu alisku hilang seketika ketika ledakan terjadi). Alhasil aku harus puas tamat dengan kurun waktu yang cukup lama; 3,5 tahun.Â
Jujur saja, walaupun aku tipe wanita yang sangat mandiri dan sangat penyendiri, tidak dipungkiri bahwa kesepian kerap melanda. Saat itu aku yang naif ini berfikir alangkah menyenangkannya memiliki pasangan untuk berbagi. Entah itu Sekedar pergi ke mall untuk nonton film atau makan sambil bercerita panjang lebar mengenai penelitianku dan pekerjaanku. Beberapa kali aku mencoba mendekati laki-laki yang kuanggap cukup bermutu. Mulai dari yang tinggal 1 kota, berbeda kota, sampai yang berbeda negara. Mulai dari pegawai swasta, sampai pegawai negeri . Tapi tidak satupun yang berhasil saat itu. Entahlah, mungkin aku kurang menarik atau mereka kurang memenuhi kriteriaku.Â
Hingga suatu saat aku diperkenalkan dengan seorang lelaki oleh sepupuku. Ajaib rasanya, kami langsung cocok dan merasa sudah kenal sejak waktu yang lama. Aku melihat dia sebagai laki-laki yang perhatian, mapan, berwibawa, dan cukup humoris. Beberapa kali aku harus ke jakarta untuk mengurus pernikahan kami. Tidak sekalipun aku mengeluarkan uang dari dompetku sendiri. Semua dia yang tanggung. Benar-benar buat "melted" wanita mandiri yang selama ini secara diam-diam mendambakan perhatian dan kebebasan finansial. Rasanya benar-benar dimanja.Â
Sehingga saat dia memintaku untuk melepaskan karirku sebagai manager pemasaran, aku tidak berfikir 2 kali untuk melakukannya. Walaupun saat itu aku mencoba mengulur waktu berbulan-bulan sebelum akhirnya benar-benar resign dari kantorku. Menurutku alasan calon suamiku sangat masuk akal. Kami tinggal di kota besar yang menuntut fokus untuk bekerja dan dilain sisi fokus mengurus rumah tangga. Jadi rasanya adil jika dia bekerja sedangkan aku mengurus rumah.
Tapi.......
Tidak pernah terbayangkan dan terpikirkan bahwa menjadi ibu rumah tangga ternyata sangat sulit dan sangat berat dijalani. Aku tidak terbayang akan menghabiskan waktu 24 jam di rumah tanpa melakukan aktivitas yang menurutku "menantang". Tidak pernah terbayangkan juga akan memiliki anak sedemikian cepat. 2 Minggu pernikahan kami, aku hamil anak pertama. Suamiku semakin giat bekerja, dia juga tidak berubah, selalu royal dan semua kebutuhanku terpenuhi.
Lambat laun aku bosan dan mulai stres sendiri. Bayangkan saja, pagi hari aku harus memasak, harus membersihkan rumah, harus mencuci baju (mesin). Itu semua menurutku pekerjaan sepele yang membosankan dan tidak membuatku berkembang. Aku sampai bingung apa yang harus aku lakukan untuk menghabiskan waktu yang masih panjang....
Saat anak pertama kami lahir, kupikir akan cukup merepotkanku dan aku akan merasa hidupku bermakna. Ternyata aku salah besar. Aku malah semakin dalam masuk kedalam depresi yang tidak berkesudahan. Bayangkan saja, pagi hari aku harus memasak, untuk kami dan untuk anak kami. Kemudian aku harus membereskan rumah, memandikan anak, memberi makan anak dan membersihkan bekas makan anak. Belum lagi jika anakku buang air besar, jika anakku tidak mau makan, jika anakku hanya mau bermain didekatku. Terkadang suamiku membantuku melakukan itu semua, tapi ya... bisa dihitung dengan jari.Â
Aku semakin kesal karena suamiku semakin sibuk bekerja, kami tidak memiliki waktu untuk sekedar bercerita apalagi untuk memiliki waktu intim berdua. Suamiku bekerja sejak jam 8 pagi sampai jam 5 pagi. Terkadang sejak jam 10 pagi sampai jam 1 pagi. Memang sebagian besar waktunya bekerja dilakukan di rumah, tapi aku tidak merasa kami terhubung sebagai manusia. Terkadang saat aku bercerita, suamiku hanya akan diam saja atau mulai berkata "nanti ya mama, aku kerjain ini dulu". ..
Aku kesepian....
Menurutku suamiku tidak punya prioritas dalam mengatur waktunya. Dia bekerja siang dan malam. Sampai-sampai untuk makannya saja harus aku yang mengantarkan ke ruang kerjanya. Beberapa kali kucoba untuk tidak mengantarkan makanan, tapi dia tetap tidak bergerak dan tidak makan sampai sore hari tiba. Ujung-ujungnya harus aku yang mengalah, tak tega juga rasanya melihat dia bekerja tanpa asupan makanan.Â
Sabtu seharusnya menjadi waktu kami berbelanja, tapi karena suamiku baru tidur jam 3 pagi, aku tak tega membangungkannya. Minggu seharusnya waktu kami beribadah, tetapi karena suamiku baru tidur jam 3 pagi, aku lagi-lagi tak tega membangunkannya. Biasanya suamiku bangun jam 9 pagi (tidur hanya 6 jam sehari). Itupun langsung bekerja, entah itu senin entah itu sabtu pokoknya langsung bekerja. Seolah dunianya hanyalah pekerjaan.Â
Aku sangat jarang keluar rumah, entah itu ke mall atau sekedar mengunjungi keluarga. Maklum anakku masih kecil, membawanya keluar seolah menjadi ajang adu adrenalin. Semenjak menikah aku juga tidak tertarik pergi kemana-mana sendiri, maunya pergi bersama suami.
Menyiksa....
Setiap hari aku berfikir untuk kembali bekerja, tapi siapa yang mengurus anak kami. lagipula aku sedang hamil anak kedua. Sulit bagi seorang wanita untuk kembali bekerja setelah lama fakum menjadi ibu rumah tangga. Pikiran-pikiran "bagaimana jika kesehatan suamiku terganggu?" "bagaimana jika suamiku meninggal?" selalu menghantui.Â
"Coba aktivitas baru dong...." "coba jualan online dong...".... ah seandainya semudah itu. Bahkan untuk memegang laptop aku harus mencuri waktu, karena pasti anakku akan sebera berebut ingin menguasai laptop yang sedang kupegang. Membaca buku menjadi ajang rebutan tak habis-habisnya dengan anakku. Padahal bukunya banyak, tapi dia hanya mau buku yang sedang aku baca.Â
Suamiku berkali-kali menawarkan jasa ART kepadaku, tapi aku sampai saat ini merasa tidak nyaman dengan keberadaan orang asing di rumah kami. aku sadar aku suka marah dan menangis tanpa sebab, aku tak mau itu diketahui orang lain. Selain memalukan, aku juga tak dapat memastikan apa ART ku kelak bisa sefrekuensi denganku.Â
Mengapa aku ingin bekerja kembali?
1. Aku akan kembali memiliki power sebagai wanitaÂ
Selama ini aku sudah kehilangan jati diriku. Menjadi wanita pengecut, yang hanya menghabiskan waktu di rumah. Akhirnya aku bisa berkata "eh jangan macam-macam ya, aku juga bekerja. kita sama-sama lelah. Jaga anak harus bagi dua tanggungjawabnya"....
2. Aku bisa berpergian kemanapun yang aku suka
Suamiku bukan tipe suami pelit, dia memberikan lebih dari cukup untuk aku habiskan. Masalahnya aku merasa bersalah untuk setiap rupiah yang aku keluarkan. Pikirku, alangkah baiknya jika kutabung sebagai jaga-jaga jika terjadi sesuatu. Kalau aku bekerja, aku tidak akan mengkhawatirkan lagi setiap rupiah yang aku keluarkan. Aku bisa ke kota ABCD , ke mall, ke taman, ke bioskop sesukaku.Â
3. Aku tidak perlu menjadi ibu pemarah
Menjadi IRT sangat rentan menyakiti anak sendiri. Bisa melalui perkataan atau bahkan tindakan. Jika emosisku sedang tidak stabil, maka aku aku berteriak jika anakku tidak menghabiskan makanannya. Aku akan diam saja jika anakku mengajakku bermain. Bahkan aku berfikir untuk memukul anakku jika dia tidak bertindak sesuai harapanku. Aku tidak mau menjadi ibu seperti itu. Aku mau anakku selamat dan punya kesehatan mental yang baik.
4. Aku tidak perlu menghadapi ipar dan mertua
Jika aku bekerja, akan semakin banyak alasanku untuk menghindari pertemuan dengan ipar dan mertuaku.
5. Kembali produktif
inilah kerinduaku, kembali menjadi produktif. merasakan ilmu dan tenagaku bermanfaat dan dapat aku pergunakan untuk menjaga eksistensiku sebagai manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H