Sebenarnya aku orang batak juga. Gabungan batak toba dan batak simalungun. Tahun 2020 aku menikah dengan laki-laki batak. Perkenalan kami sangat singkat. kurang lebih 3 bulan berkenalan kami memutuskan untuk menikah. Rasanya klop dan punya visi misi yang sama. Sebelum menikah kami sudah membahas banyak persoalan yang mungkin muncul di rumah tangga kami nanti. Salah satunya pembahasan mengenai anak. Mulai dari ada atau tidak adanya anak, jumlah anak, bahkan gender anak pun sudah kami bahas. Keputusan yang kami ambil sudah bulat. Kami tidak masalah jika tidak memiliki anak, kami membatasi diri hanya ingin memiliki 2 orang anak, dan tidak masalah apabila semua anak kami berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan.Â
Tahun pertama menikah kami sudah dikaruniai 1 orang anak perempuan. Tepat 1 tahun usia anak pertama kami, aku hamil anak kedua. Rasanya dunia terbalik, aku tidak menyangka akan diberikan keturunan kedua secepat itu. Memang kami tidak program KB apapun. Lama akhirnya aku menerima kenyataan hamil anak kedua.Â
Singkat waktu, saat usia kehamilan keduaku menginjak 6 bulan. Mertuaku datang ke Jakarta dari kampung halaman. Awalnya semua baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda akan terjadi "perang emosi" antara aku dan mertuaku. Empat hari di rumah kami, tiba-tiba mertuaku membahas mengenai anak. Aku spontan mengatakan jika kami hanya menginginkan 2 anak saja. Banyak pertimbangan yang mendasari keputusan kami, dari mulai kondisi kesehatanku hingga biaya membesarkan anak.Â
Mertuaku diam tanpa ada komentar. Kupikir mertuaku mengerti. Betapa terkejutnya aku, saat aku naik ke lantai 2 rumah kami. Kudapati mertuaku menangis sejadi-jadinya kepada suamiku. Mengatakan aku tidak boleh berhenti punya anak. Minimal 4 atau 5 orang anak harus kami miliki. Apalagi saat ini belum ada garis keturunan laki-laki dari keluarga suamiku.
Sontak aku terkaget-kaget. Apa-apaan ini. Tiba-tiba menangis meminta aku mau punya anak banyak. Padahal jelas dari sisi medis aku hanya mampu punya 2 anak, paling banyak 3 (aku melahirkan secara SC untuk anak pertamaku, dan SC pula untuk anak keduaku). Saat itu aku tetap pada pendirianku dan mengatakan sejelas-jelasnya kepada mertuaku bahwa kami hanya mau 2 anak. Mertuaku terus mengangis di depan suamiku dan anak pertamaku, tapi aku tidak bergeming. aku tetap pada keputusanku. Sedikitpun aku tidak merasa iba atau kasihan dengan mertuaku.Â
Jika alasan aku harus punya anak banyak hanya untuk mendapatkan keturunan laki-laki. Maka aku pertanyakan apa bedanya anak perempuan dan anak laki-laki. Bukankah kedua jenis anak tersebut sama-sama mewarisi DNA dari leluhur suamiku dan leluhurku. Bagaimana bisa dikatakan jika hanya memiliki anak perempuan, maka garis keturunan dari suamiku akan terputus??? Memang secara marga tidak ada penerus, tapi secara DNA manusia sudah diperoleh penerus.Â
Mulai saat itu suasana di rumahku sangat tidak menyenangkan. Setiap aku duduk bersama mertuaku, pasti dibahas mengenai anak dan keturunan laki-laki. Jika kukatakan bahwa dokter hanya mengizinkanku punya 3 anak karena proses lahiran SC, maka mertuaku akan memberikan contoh ibu-ibu di kampung yang lahiran SC kemudian lahiran normal, sehingga ibu itu bisa memiliki 5 orang anak. Jika aku katakan bahwa biaya membesarkan anak mahal, maka mertuaku mengatakan akan mengurus anak-anakku di kampung. Sehingga aku bisa melahirkan 5 orang anak, 2 orang anak aku besarkan sendiri, dan sisanya aku berikan untuk diasuh mertuaku. Jika aku mengatakan bahwa anak perempuan dan anak laki-laki sama adanya, maka mertuaku akan mengatakan perbedaan secara adat dan budaya batak dari A hingga Z yang tidak masuk akal menurutku.
Beberapa kali kusampaikan hal ini kepada suamiku, dan jawabannya formal sekali. Bilang saja "doakan inong (Mama) lah, mana yang terbaik". Ah.... sia-sia saha aku bertukar pikiran. Jawaban formal seperti itu tidak akan diterima.
Sebenarnya suamiku punya saudara laki-laki. Dari saudara laki-lakinya, mertuaku hanya memiliki 1 orang cucu. Cucu perempuan. Tapi tidak pernah sekalipun mertuaku menangis meminta banyak anak kepada iparku. Maklum, infonya iparku susah memiliki keturunan. Padahal menurutku tidak begitu. Apalagi iparku turut "mengompori" perkataan mertuaku. Dia bilang mereka sudah 3 bulan program kehamilan, tapi kakak iparku tidak sanggup dengan efek obatnya. Katanya sih obatnya membuat kakak iparku "bad mood dan mual-mual", belum lagi harus suntik hormon yang biayanya mencapai 1,2 jt perbulan.Â
Lucu bukan? dia pikir ibu hamil tidak mengalami mual muntah dan "bad mood"? ibu hamil harus menangggung itu semua selama 9 bulan. Dia pikir biaya kehamilan itu murah? dari mulai vitamin dan biaya kontrol dokter bisa diangka 1,3 juta/bulan (kami tidak pakai asuransi). Dia pikir setelah melahirkan aku akan menjadi manusia bebas merdeka? no....... aku harus menjadi zombi yang menyusui 6 bulan tanpa henti, belum menghadapi anak GTM, anak tantrum, anak sakit, dll.Â
Puncak kekecewaanku kepada mertuaku akhirnya sampai di bulan Januari. Disaat kumpul keluarga dari pihakku. Disana mertuaku mengatakan bahwa keluargaku harus menasehati aku agar aku memiliki anak banyak. Agar aku lebih beriman dan percaya bahwa setelah SC aku mampu melahirkan normal sehingga bisa punya anak. Lagi-lagi aku menjawab "2 sajalah inong" dengan sedikit candaan. Tapi respon mertuaku sungguh mengejutkan. Mertuaku mengatakan "kalau ngak mau punya anak lagi, kunikahkan lagi anakku". Jeder.... emosiku memuncak dan hampir tidak terkendali.Â