Baba Makmun
Pidato perdana Gubernur DKI Jakarta Anies Rasyid Baswedan mengundang kontroversi, terutama pada kata pribumi. Banyak yang mengkritik, namun juga tidak sedikit yang membela. Ada pihak yang sudah membawa kasus ini ke meja polisi. Tapi, Anies sendiri tak begitu peduli.
Pidato yang dia kumandangkan dalam acara Pesta Rakyat Jakarta di Balai Kota DKI Jakarta, Senin malam (16/10/17), sesungguhnya tidak dimaksudkan untuk mengeksploitasi kata pribumi. Tidak pula ditujukan kepada satu pihak tertentu. Kata itu berkonteks sejarah penjajahan kolonial terhadap warga Jakarta.
Di luar kontroversi diksi pribumi itu, cakrawala pidato sang gubernur memang sungguh luas. Pidato tersebut berspektrum "pilpres" (pemilihan presiden). Setidaknya, analis politik Muhammad Qodari telah mencium aroma pilpres itu.
"Ini pidato gubernur rasa pilpres," kata Qodari dalam wawancara dengan KompasTV, Selasa (18/10/17). Bagi Qodari, meski masih terlalu dini, target Anies untuk menuju pilpres dua tahun mendatang tidaklah salah. Ada preseden untuk itu pada diri Presiden Jokowi.
"Calon kuat presiden mendatang ada pada tiga orang, yakni Jokowi sebagai incumbent (petahana), Prabowo sebagai ketua partai (Gerindra), dan Gubernur Jakarta, siapa pun dia," kata Qodari. Dia menafikan nama-nama besar yang sekarang mulai mencuat, antara lain Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo.
Dalam pandangan Qodari, idealnya calon presiden disaring dari gubernur terbaik. Pengalaman gubernur memimpin wilayah menjadi modal kuat untuk mengemudikan bahtera tingkat nasional. Begitu pun calon gubernur, harus dijaring dari bupati dan wali kota terbaik.
Analisis Qodari ini menarik. Benarkah Anies memupuk ambisi menuju pilpres? Merunut ke masa kampanye, Anies dan Wakil Gubernur Sandiaga Uno berkomitmen menuntaskan tugas lima tahun. Apakah komitmen itu kini meluntur?
Sebelum menjawab pertanyaan ini, ada baiknya dilihat dulu apa saja yang kini dihadapi Anies. Ternyata, setidaknya ada empat realitas yang dihadapinya.
Pertama, secara politis Anies disokong minoritas, hanya Gerindra, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN). Dia harus menghadapi "keroyokan" tujuh partai, yakni PDIP, Golkar, Demokrat, PPP, PKB, Nasdem, dan Hanura.
Mangkirnya mantan gubernur Djarot Saiful Hidayat dan Ketua DPRD DKI Prasetio Edi Marsudi, keduanya kader PDIP, dari acara serah terima jabatan (sertijab) bukan lagi hanya sinyal, tapi sudah tabuhan "genderang perang" politik.