Kemunculan Agus Harimurti Yudhoyono dalam Pilkada Jakarta menyita perhatian publik dan politisi. Memang di luar dugaan, Koalisi Cikeas—Partai Demokrat, PAN, PKB, PPP—menjagokan dirinya. Pro-kontra langsung mencuat. Namanya kini jadi topik pergunjingan.
Banyak politisi bilang, mantan Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) nekat mencemplungkan anaknya di kompetisi gubernur Jakarta. Alasannya, Agus tak pernah nyenggol dunia politik praktis selama ini. Nama dia pun tak pernah mampir di kancah ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, kesehatan dsb. Dia tentara yang dipingit di barak.
Tapi, Koalisi Cikeas bersikukuh bahwa sekaranglah momentum paling tepat bagi Agus tampil di politik. Koalisi ini optimistis Agus bakal melahirkan kejutan besar di Jakarta. Sikap optimis itu didasarkan sejumlah analisis, yang di antaranya sebagai berikut.
Pertama, popularitas SBY masih berkibar. Jadi, Agus bisa dikerek lewat nama besar ayahnya. Pendukung SBY akan digiring berbondong-bondong memilih Agus.
Kedua, Agus anak muda tampan. Ini menjadi idola muda-mudi Jakarta sehingga pemilih muda dan pemula akan ramai-ramai mencoblos Agus. Dulu, Dede Yusuf, artis dan politikus Demokrat, menang di pilkada Jawa Barat (bersama Ahmad Heriyawan) gara-gara ganteng.
Ketiga, banyak tentara tetap setia pada SBY dan Agus. Dengan demikian, keluarga tentara—yang punya hak memilih—bakal ramai-ramai menyokong Agus.
Keempat, Agus yang masih “bayi politik” tentu masih suci, belum terkontaminasi KKN, gratifikasi, pat gulipat, main mata, main setengah kamar, dan kongkalingkong politik kotor. Ini skor sangat plus bagi Agus.
Kelima, pro-kontra tentang pencalonan Agus sekarang menjadi promosi gratis yang melambungkan popularitasnya. Agus yang semula bukan siapa-siapa, kini menjadi topik bahasan di mana-mana. Tanpa susah payah sosialisasi dan pasang iklan, namanya sekarang sejajar dengan Sandiaga Uno yang sudah hampir setahun kasak-kusuk ke pelosok ibukota.
Keenam, ada contoh pada diri anak muda kelahiran 1972, Yoyok Riyo Sudibyo, sukses meraih kursi bupati di Batang, Jawa Tengah, tahun 2012. Yoyok adalah lulusan Akademi Militer 1994 dan berhenti jadi tentara setelah 12 tahun mengabdi.
Ketujuh, Agus didampingi Silvyana Murni, PNS karier DKI. Silvy diyakini bisa menjadi daya tarik kuat pemilih perempuan. Hal ini tentu bakal signifikan meraup suara.
Kedelapan, Agus dan Silvy sama-sama pendatang baru. Ini dapat menjadi angin segar bagi warga Jakarta yang sudah jenuh dengan politisi lama. Bahkan, kalangan golput pun bisa tergoda untuk memilih keduanya.
Kesembilan, SBY sudah menginjak usia sepuh. Dia perlu menyiapkan pengganti. Memang sudah ada Ibas, namun belum cukup. Kedua anaknya harus bahu membahu. Sekarang, mumpung pamor SBY masih beken, saatnya Agus dinaikpentaskan.
Kesepuluh, kalau sampai Agus keok, SBY sudah menyiapkan cadangan di kampung halamannya, Pacitan, Jawa Timur. Di kabupaten ini, nama besar keluarga SBY tak tertandingi siapa pun. Agus bakal gampang menaiki kursi tertinggi kabupaten ini jika pilkada tiba nanti.
Poin pertama sampai kedelapan bisa dikatakan sebagai bahan baku unggul. Ini akan menjadi senjata yang hebat. Keempat partai pengusung pasti punya banyak politisi ulung yang mampu meramu poin-poin tersebut, memberinya bumbu penyedap, menggodoknya, lalu mengemasnya menjadi program indah untuk diberondongkan dalam kampanye nanti.
Kalau semua itu digabungkan dengan militansi dan kerja keras tim sukses, kesolidan parpol pengusung, serta mereka dapat membangun fanatisme pendukung, boleh jadi petahana dan Anies Baswedan bakal tunggang langgang dibuatnya. Bukan tidak mungkin Ahok dapat ditaklukkan.
Telat
Nah, itu boleh dibilang sebagai Plan A yang merupakan skenario indah sesuai optimisme parpol pengusung. Bagaimana kalau meleset semua? Berarti Agus harus siap dengan Plan B. Apa itu? Entahlah. Yang jelas, Agus pasti sudah berkalkulasi mengenai peluang menang-kalah. Jadi, Plan B itu rasanya sudah disiapkan.
Namun, bila mengikuti perjalanan karier SBY dan keluarganya, tampaknya SBY sangat telat mengorbitkan Agus sekarang. Seharusnya dia lakukan tahun 2012. Saat itu peluang menang sangat besar. SBY masih presiden dan punya banyak pendukung real. Demokrat relatif kuat dan mesin politiknya masih berputar kencang sampai lapisan paling bawah. Para saudagar pun—kalau dirayu—pasti siap menggelontorkan finansial. Ani Yudhoyono disanjung kaum perempuan sehingga pemilih wanita gampang ditarik.
Sama seperti sekarang, empat tahun lalu Agus juga tampan. Bedanya, saat itu dia adalah Si Tampan Anak Presiden, sekarang anak mantan presiden. Tampilan fisik tinggi, semampai, tampan, dan predikat sebagai anak presiden dapat dijadikan andalan “tebar pesona” kepada kaum pemilih muda dan wanita. Bukankah SBY—menurut berita media—menang jadi presiden periode kedua, salah satunya karena kekuatan “tebar pesona”?
SBY pun dikelilingi pakar semua bidang ilmu. Mereka dapat dimintai bantuan membikin konsep dan program untuk dagangan kampanye. Karena pakar yang bikin, kemasannya pasti menggiurkan, dan laris dijual. Kalau saja Agus maju empat tahun lalu itu, yang jadi calon petahana sekarang kemungkinan besar bukan Ahok.
Andaikata saat itu Agus kalah di Jakarta (yang kecil kemungkinannya), dia masih bisa dioper ke daerah lain. Pilkada masa itu beda-beda waktunya di tiap daerah. Pilkada serentak belum berlaku. Jadi, peluang merebut salah satu kursi kepala daerah terbuka lebar.
Tapi, apa mau dikata, semua sudah lewat. Faktanya sekarang Agus jadi penantang. Banyak politisi pesimistis dia dapat meraih kemenangan. Mereka justru memprediksi Agus tereliminasi di babak pertama.
Pekerjaan Rumah
Kalau prediksi tersebut jadi kenyataan, apa langkah berikut sang mantan mayor? Inilah pekerjaan rumah yang harus dia selesaikan. Orang hanya dapat menebak-nebak. Mungkin ikut kontes merebut RI-1 melawan Jokowi nanti? Rasanya sih masih terlalu pagi.
Merebut kursi ketua Demokrat? Ini pun masih perlu dikaji lebih teliti. Sebab, beberapa tahun ke depan, saat tiba pergantian ketua partai, pamor SBY barangkali sudah lunglay, dan partai ini pun tak dapat dijamin masih solid dan utuh.
Kursi bupati di Pacitan? Secara teori, peluang di sini besar. Cuma perlu dicatat, kalau ada bupati/walikota dari kabupaten/kota lain yang sudah menunjukkan prestasi gemilang dan sudah tebar kinerja yang memesonadigaet parpol untuk diterjunkan melawan Agus, ujung ceritanya bisa beda. Bukan mustahil Agus jadi pecundang. Karena itu, peluang di kandang sendiri ini pun rasanya masih tanda tanya.
Atau, jadi anggota DPR? Ini pilihan realistis juga. Kalau mewakili rakyat Pacitan, tak diragukan dia bakal melenggang enteng ke Parlemen. Perkontesan gubernur DKI hanya batu loncatan. Dengan otaknya yang cerdas, Agus potensial mewakili generasi muda untuk menambah warna di legislatif pusat.
Seandainya pun gagal ke Senayan—karena perkembangan politik yang sangat di luar dugaan—dia masih bisa lari ke DPRD Pacitan. Kans di sini hampir 100%. Jika gagal juga, karena kejutan politik yang super luar biasa—yang rasanya hampir mustahil—yah itu namanya… apes… pes…..
Namun, jangan berkecil hati gus. Banting stir dulu aja ke bisnis entertainment. Dengan modal tampang keren, bodi tinggi, ramping, semampai, atletis, anak mantan presiden, serta didukung istri yang pernah berkibar di dunia glamor itu, sukses langsung dapat direngkuh.
Jadi, kesimpulannya, keputusan Agus lengser sebagai penyandang bedil tak rugi-rugi amat. Lowongan di politik masih banyak yang bisa dilirik. Parkir sementara ke dunia entertainment pun masih leluasa. Siapa tahu nanti bisa ketularan jejak Arnold Schwarzenegger dan Ronald Reagan. ****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H