Mohon tunggu...
Bejo Untung
Bejo Untung Mohon Tunggu... -

NGO activist, focus on good government, social engagement, democracy and freedom of information. Assisting community to implement Indonesia Freedom of Information Act, UU Number 14/2008.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membuka Jalan Demokrasi Desa

19 Februari 2016   14:17 Diperbarui: 19 Februari 2016   14:34 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Riuh rendah perbincangan tentang UU Desa saat ini lebih banyak terfokus pada isu tentang dana desa. Jarang yang memberikan perhatian terhadap hal yang terkait dengan demokrasi desa -isu lain yang cukup penting- yang juga diusung oleh UU Desa.

Semangat yang diusung oleh UU Desa untuk membuka jalan bagi demokrasi di tingkat desa berangkat dari pengalaman masa lalu, dimana desa lebih sering diposisikan sebagai sub-ordinasi atau bawahan dari pemerintah di atasnya, baik pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Program-program pembangunan pemerintah yang masuk ke desa dijalankan dengan penuh nuansa instruksi ketimbang mengedepankan partisipasi warga. Praktik demokrasi di tingkat desa diharapkan dapat mewujudkan proses pembangunan yang lebih partisipatif, tidak lagi didikte oleh pemerintah.

Ketentuan dalam UU Desa yang memberikan ruang bagi demokrasi desa dapat dilihat pada norma yang mengatur tentang musyawarah desa (musdes). Musdes merupakan ruang formal yang disediakan oleh UU bagi warga desa untuk mengartikulasikan kepentingannya. Oleh karena itulah, dalam konteks demokrasi desa, musdes memiliki posisi yang sangat penting karena di sanalah ruang bagi partisipasi warga disediakan. Musdes menjadi makin penting karena UU juga menyatakan bahwa hal-hal strategis yang terkait dengan desa harus dibahas dalam musyawarah ini. Hal-hal strategis sebagaimana dimaksud adalah penataan desa, perencanaan desa, kerja sama desa, rencana investasi yang masuk ke desa, pembentukan Badan Usaha Milik Desa (BUMDes), penambahan dan pelepasan aset desa, serta kejadian luar biasa.

Begitu pentingnya musdes ini, sampai-sampai Kementerian Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Kemendesa PDT) merasa perlu untuk mengeluarkan peraturan khusus tentang musdes, yakni Peraturan Menteri (Permen) No. 2/2015. Permen ini sangat detil memberikan arahan bagi penyelenggaraan musdes untuk memastikan bahwa kegiatan ini dapat diikuti sebanyak-banyaknya oleh perwakilan dari warga desa. Lihat saja, misalnya dalam klausul tentang persiapan musdes, Permen ini mengatur bahwa panitia musdes harus aktif menyebarkan undangan kepada seluruh peserta termasuk unsur masyarakat.

Selain undangan, panitia juga harus menyampaikan pengumuman sebagai undangan tidak resmi melalui media yang mudah dijangkau oleh masyarakat desa, seperti melalui pengeras suara di masjid, papan mengumuman, pesan singkat melalui telepon seluler, surat elektronik (e-mail), maupun situs laman (website) desa. Upaya ini dilakukan agar musdes diketahui secara luas oleh warga desa, sehingga warga desa yang tidak mendapatkan undangan resmi memiliki kesempatan untuk mendaftarkan diri sebagai peserta.

Permen mengatur bahwa warga yang tidak mendapatkan undangan resmi namun berkeinginan untuk hadir dapat mendaftarkan kepada panitia tujuh hari sebelum pelaksanaan, kemudian panitia mencatatnya sebagai peserta dan memiliki hak suara yang sama dengan peserta yang mendapat undangan resmi, pada saat pengambilan keputusan.

Permen ini juga secara jelas memberikan garansi bagi warga desa untuk bebas menyampaikan pendapatnya tanpa harus khawatir diintimadasi. Warga mendapatkan kesempatan secara sama dan adil dalam menyampaikan aspirasi, saran, dan pendapat lisan atau tertulis secara bertanggung jawab, serta menerima pengayoman dan perlindungan dari gangguan, ancaman dan tekanan selama berlangsungnya musdes.

Kesepakatan yang dihasilkan dalam musdes kemudian idealnya dapat dijalakan secara konsekuen oleh pemerintah desa (Pemdes). Dalam pelaksanaan proses pembangunan misalnya, Pemdes hendaknya konsisten untuk menjalankannya sesuai dengan perencanaan yang telah disepakati dalam musdes. Lalu bagaimana mekanisme pertanggungjawabannya agar penyelenggaraan pemerintahan desa dapat dilakukan secara akuntabel?

Untuk memastikan hal ini, UU Desa telah memberikan mandat kepada Desa untuk membentuk Badan Permusyawaratan Desa (BPD). BPD merupakan lembaga perwakilan masyarakat desa yang keanggotaannya dipilih oleh masyarakat, menjalankan fungsi check and balances,  untuk menjalankan peran sebagai tempat untuk menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, mengawasi kinerja kepala desa dan membahas serta menyepakati rancangan peraturan desa bersama kepala desa.

Selain melalui BPD, mekanisme pertanggungjawaban juga dapat dijalankan langsung oleh warga desa. UU Desa menyatakan bahwa masyarakat desa diberikan hak untuk mengawasi kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan desa, dan pemberdayaan masyarakat desa. Proses pengawasan ini didukung dengan pengaturan tentang keterbukaan informasi, dimana UU Desa menyatakan juga bahwa warga berhak mendapatkan informasi dari Pemdes.

Di sisi lain, Pemdes juga wajib menginformasikan perencanaan dan pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJMDes), Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPDes), dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) kepada masyarakat desa melalui layanan informasi kepada umum dan melaporkannya dalam musdes paling sedikit satu tahun sekali.  

Tidak sampai di situ, akuntabilitas kinerja Pemdes untuk menjamin bahwa demokrasi berjalan dengan baik adalah bahwa UU Desa juga mengatur tentang kewajiban pemerintah desa untuk menyusun laporan penyelenggaraan pemerintahan desa. Laporan tertulis tersebut kemudian disampaikan kepada BPD serta disebarkan dan/atau diberikan kepada masyarakat desa setiap akhir tahun anggaran. Meskipun, sayangnya, UU Desa tidak memberikan ruang kepada masyarakat maupun kepada BPD untuk memberikan umpan balik atau feedback terhadap laporan tersebut.

Dengan demikian maka makna yang sesungguhnya tentang pertanggungjawaban masih belum muncul dalam ketentuan UU Desa. Hal ini berbeda dengan laporan yang dilakukan oleh pemerintah daerah di hadapan DPRD yang seringkali diiringi dengan feedback, baik berupa evaluasi maupun penolakan. Dalam laporan sebagaimana diatur dalam UU Desa tidak mengkonstruksi mekanisme pertanggungjawaban semacam itu. Sehingga tidak ada konsekuensi apapun bagi kepala desa, termasuk konsekuensi diberhentikan jika laporannya ditolak.

Terlepas dari soal tidak adanya ruang umpan balik dalam pertanggungjawaban Pemdes, namun secara keseluruhan UU Desa telah menyediakan perangkat-perangkat yang cukup memadai bagi terselenggaranya proses demokrasi di desa. Campur tangan pemerintah dalam hal ini juga tidak terlalu kental. Meskipun ada peran yang dijalankan oleh pemerintah, namun hal itu masih sebatas pada persoalan administrasi pemerintahan, misalnya penetapan kepala desa maupun BPD yang telah dipilih secara langsung oleh masyarakat. Sedangkan yang terkait dengan substansi penyelenggaraan pemerintahan di tingkat desa, sepenuhnya menjadi kewenangan entitas desa, apakah itu Pemdes, BPD, maupun masyarakat desa sendiri.

Jalan demokrasi desa telah dibuka. Harapannya, jalan yang telah terbuka tersebut tidak boleh ditutup oleh siapapun dengan alasan apapun. 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun