Pohon kapuk itu masih berdiri kokoh. Angin mungkin tak kuasa merobohkannya. Adalah kenangan yang mengajakku untuk menengok pohon kapuk itu. Letaknya persis di pojok kanan jalan masuk ke kampung. Daun dan rantingnya sudah banyak meranggas, namun pohon kapuk itu masih berdiri kuat. Kulangkahkan kaki kesana, berharap masih ada namaku terukir.
Kutelisik sisi belakang batang kapuk itu. Menerawang puluhan tahun silam. Saat itu, aku dan sembilan teman bergiliran menggunakan sebilah pisau memahat nama kami di pohon kapuk ini. Nama itu sudah hilang, seiring tumbuh dan berkembangnya pohon kapuk. Harusnya dari awal kami sadari, pohon ini akan terus tumbuh. Jadi, sia-sia saja mengukir nama di pohon ini. Tapi, itulah masa kecil dulu. Aku masih enggan masuk kampung. Sejenak bersandar dulu di pohon kapuk. Aku merindukannya, sama saat aku merindukan kampung ini.
Matahari sudah meninggi. Aku melangkahkan kaki menyusuri jalan kampung. Dua hari lalu, aku dapat kabar melalu pesan singkat di telepon selularku. Saat membaca sms itu, aku kaget. “Guru kita, pak Ambo wafat. Harap di sampaikan kepada Tujuh orang teman kita”. Ternyata pengirim sms ini adalah Razak, teman aku dikampung. “Aku harus berangkat ke kampung, Aku merindukan semua yang ada di sana,” gumamku dalam hati.
Aku tertegun menatap rumah Razak. Dindingnya dari anyaman kayu. Orang dikampung menyebutnya Gamacca. Di samping kiri ada tumpukan kayu bakar. Didepan rumahnya ada bale-bale bambu. Meski sederhana, namun rumah Razak menebar aroma bunga yang tumbuh subur halaman rumahnya. Pintu berderit, usai kuucap salam kepada pemilik rumah.
"Ancu ?!" Dia terperangah. Aku tersenyum. Sudah lama kami tak bersua. Detik itu juga, waktu seolah berhenti ketika kami saling berpelukan.
"Baru datang? Wah, Minderka kurasa. Tambah gemukki kuliat sobat. Itu artinya kamu sudah jadi orang. Ah, sampai lupa. Ayo masuk." Kata Razak dengan runtun kalimatnya. Dia tepuk-tepuk dan rangkul bahuku. Aku duduk di kursi rotan ruang tamu. Razak memanggil istrinya. Dikenalkan padaku seraya minta dibuatkan dua gelas kopi Borong.
Wajah Razak yang sesegar pagi cepat menghapus letihku. Diam-diam kucermati sosoknya. Ia memakai kaos hitam lusuh dan celana abu-abu tiga perempat. Tubuhnya tambah kekar. Kulitnya legam. Urat-urat lengannya menyembul keluar. Tidak seperti aku, tubuh tetap kurus kerempeng, kendati kata Razak, aku sudah jadi orang.
Dari semua nama yang terpahat di batang kapuk, cuma Razak yang masih setia pada kampung ini. Yang lainnya telah pergi menyabung nasib ke kota, ke pulau seberang, bahkan ke negeri orang. Razak hidup dari mengurus sawah dan ladang warisan orang tua. Katanya, panen dua bulan lalu cukup lumayan, meski terkadang harus berperang dengan hama. Hasilnya digunakan untuk menyulap tanah kosong di belakang rumah jadi empang. Dia pelihara ikan mas dan mujair untuk menambah penghasilan.
Di kampung ini, aku tidak memiliki apa-apa lagi. Setelah kedua orang tua berpulang, aku dan dua saudaraku sepakat menjual sawah yang ukurannya lumayan luas. Begitu pula rumah yang kami tinggali, terpaksa harus di lego. Hasil penjualan sawah dan rumah kami bagi, untuk di gunakan sebagai bekal merantau.
Bagaimana menjelaskan pada Razak? Aku cuma marketing di salah satu developer. Gaji tiap bulan hanya cukup menghidupi istri dan tiga anakku yang masih kecil. Saat inipun hanya tinggal dirumah kontrakan ukuran 3x4. Lingkungan tempat tinggal saya kumuh, banyak kaum urban mendirikan rumah tak berizin. Bahkan, mungkin saja rumah kontrakan saya juga tak berizin. Rasa khawatir kerap melanda. Ancaman penggusuran oleh satuan polisi pamong praja, senantiasa mengintai. Tragis, bila memimpikan itu terjadi.
Razak tertegun dan seolah tak percaya mendengar ceritaku. Dia pun menyela,”Itulah enaknya tinggal dikampung mengurus sawah, punya rumah sendiri dan perasaan tetap tenang tanpa takut digusur,”
Kuseruput kopi Borong yang dihidangkan istri Razak. Kopi lokal ini semakin nikmat saja. Sambil menyulut rokok, Razak berkata, "Kenapa tak pulang saja, Ancu ? Beli sawah. Bertani. Meneruskan tradisi keluarga kita dulu." Aku menyimak ucapan Razak. Selama ini, tidak pernah terbesit sedikitpun untuk pulang ke kampung.
Saat menuju rumah duka, Aku dan Razak banyak bercerita dan mengenang kawan-kawan lama. Mengenang masa dimana kami pernah dianggap pahlawan kecil dikampung. Di sekolah, saya punya genk berjumlah sembilan orang. Awalnya kami namakan genk sembilan. Setiap kerja PR sekolah, pasti kami lakukan bersama. Setiap ada hajatan dikampung, kami kerap dimintai bantuan, minimal menguber-uber ayam yang akan disembelih diacara hajatan. Semua kami lakukan bersama-sama. Hingga akhirnya, pak Ambo, guru kami yang berpulang, menjuluki kami “RAMBO DESA”.
“Sebenarnya kalian lebih tepat diberikan gelar, Robin Hood. Tapi karena saya gemar menonton film Rambo, maka kalian saya gelari RAMBO DESA,”, kata pak Ambo saat itu.
“Selain judul film, RAMBO DESA adalah singkatan dari nama kalian”
“Apa itu pak ?” sergah Aku ketika itu.
“RAMBO DESA adalah singkatan dari, Razak, Ancu, Munir, Bahar, Olleng, Dattulu, Emmang, Saleng dan Arif,”
Tanpa sadar saat itu kami langsung memeluk guru kami.
“Nama yang bagus,” kata Dattulu, teman kami yang paling pendek.
Nama inipun semakin melekat. Warga kampung pun semakin identik dengan Rambo Desa.
Karena gelar itulah, sehingga kami susah melupakan guru kami, pak Ambo.
Waktu telah mengubah segalanya. Sekelumit kisah teman-teman lama sudah kami kupas tuntas. Hingga tak terasa tempat yang kami tuju sudah di depan mata. Usai berdoa di sisi almarhum Pak Ambo, kami beringsut keluar dari ruang tamu. Duduk di seberang jalan dekat batang bambu yang dihiasi kain kuning. Makin tinggi matahari, makin banyak pelayat datang. Aku termangu menatap rumah duka itu. Kursi-kursi plastik penuh terisi. Namun, teman-teman aku dulu tidak kutemui di rumah duka. Padahal, setiap musim lebaran tiba mereka selalu mudik. Pun, genk sembilan Rambo Desa juga tidak lengkap.
Ini hari kedua aku di kampung. Razak mengajakku ke sawah. Aku sungguh menikmati.
“Sudah sangat lama, namun pematang-pematang ini tetap menyimpan jejakmu” gurau Razak
Di pematang sawah, kami berpapasan dengan warga yang hendak ke sawah. Ada yang memikul cangkul, ada pula yang membawa rantang berisi nasi dan lauk pauk. Bahkan, masih ada yang setia mengayuh sepeda ontel ke sawah.
“Ancu !, kamu masih ingat ketika kita menangkap belalang, lalu kita bakar dan menyantapnya bersama nasi,”
“masih, dan rasanya lebih nikmat daripada udang”
Sawah Razak hanya belasan meter jaraknya dari rimbunan pohon kelapa. Aku menatap dalam-dalam rimbunan pohon kelapa itu. Masih tegak berdiri. Daun-daunnya masih melambai kearahku. Razak mengajakku turun ke sawahnya.
“Sudah lama kamu tidak menginjak lumpur sawah ini Ancu. Ayo, turun” ajak Razak.
Yah, terakhir saya bermain lumpur dengan genk RAMBO DESA, saat kami memutuskan menggelar acara perpisahan. Kecuali Razak, aku dan tujuh anggota genk lainnya saat itu bersepakat menyabung nasib di kota. Atas usul Razak, kami pun menggelar pesta perpisahan dengan mandi-mandi lumpur disawah.
“Aku masih ingat yang kamu katakan saat itu Razak, bahwa dengan mandi-mandi lumpur di sawah akan mengingatkan dari mana asal kita,”
Kami menikmati berkubang di tengah sawah, ditemani suara gemerisik batang-batang padi di sawah seberang yang saling bergesekan.
Hari menjelang petang. Kami memutari jalan kampung. Meski lebih jauh jaraknya, tapi aku tak keberatan. Kami mau ke sungai tempat dulu biasa berenang. Rindu kesegaran airnya, akupun langsung menceburkan diri. Disusul Razak yang memilih melakukan salto ke sungai, seperti kebiasaannya dulu. Setelah segar kami pulang. Baru beberapa puluh langkah menyusuri jalan sunyi, tiba-tiba Razak mencekal bahuku. Tangannya menunjuk rimbun ilalang yang bergerak-gerak mencurigakan. Kami mengendap-endap. Alangkah kaget kami memergoki pemandangan itu. Ada sepasang remaja tanggung sedang asyik bercumbu.
Razak menghardik mereka. Aku terpana. Wajah keduanya pucat dan merah padam. Karena kaget, mereka buru-buru membenahi pakaian lalu setengah berlari menuju tempat motor diparkir. Kami kembali melanjutkan langkah. Wajah Razak kaku. Sepanjang jalan dia bersungut-sungut memaki kelakuan dua anak tadi.
Izin cuti tiga hari telah usai. Aku harus pulang pagi ini. Rindu kampung halaman telah kutebus dengan hal-hal membangkitkan kenangan. Jalan di pematang sawah, mandi lumpur di sawah hingga berendam di sungai.
Dari hasil bertani, Razak mampu membeli motor. Namun saat mengantarku ke jalan utama tempat angkutan pedesaan biasa melintas, Razak memilih mengantarku menggunakan sepeda ontel merk Gazelle peninggalan orang tuanya. Dulu, sepeda ontel ini sering dipakai Razak, saat mengajakku berkeliling kampung. Kami melewati pohon kapuk itu lagi. Razak lagi-lagi meminta agar saya meninggalkan kehidupan kota. Sebenarnya tak ada lagi yang ingin kukatakan. Namun, aku ingin menghibur diri dan menyenangkan sahabatku.
Aku katakan pada Razak, bahwa aku punya mimpi yang sederhana. Satu saat nanti, jika ada uang, aku mau pulang bersama isteri dan anak-anakku. Membeli sawah. Membuat empang dibelakang rumah dan sisa menunggu panen ikan mujair tiba.
Hal yang masih sulit aku wujudkan. Tinggal di kota masih menjadi pilihan dengan segala hingar bingarnya yang seakan memasung kita. Bukan soal, tinggal di kawasan kumuh, rumah kontrakan dan sumpek. Asalkan tinggal di kota. Masih saja ada yang suka. Termasuk aku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H