Mohon tunggu...
Beina Prafantya
Beina Prafantya Mohon Tunggu... Guru - Editor, Penggiat Pendidikan, Istri, Ibu Satu Anak

Saya mencintai dunia pendidikan dan pengembangannya, tertarik dengan dunia literasi.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masihkah Kita (Harus) Menyalahkan Kaidah?

21 November 2020   11:25 Diperbarui: 21 November 2020   11:31 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa hari yang lalu, kakak ipar saya tiba-tiba bertanya secara serius tentang beberapa hal yang berkaitan dengan soal-soal mata kuliah Bahasa Indonesia. Saya agak bingung, kenapa tiba-tiba beliau bertanya dan mendadak sangat peduli dengan bahasa Indonesia. Saya katakan sangat peduli bukan karena sebelumnya beliau takpeduli, melainkan karena memang beliau tidak pernah bergelut secara khusus dengan perbahasa-Indonesiaan. Maklum, beliau seorang sarjana sains konsentrasi ilmu Statistika.

Saya pikir, oh, mungkin beliau tengah mengikuti prajabatan yang salah satu materinya adalah materi Bahasa Indonesia. Tapi, saya salah. Di tengah kesadaran saya akan kesalahan tersebut, saya sedikit terkejut. Ternyata, kakak ipar saya dilimpahi tugas mengajarkan mata kuliah Bahasa Indonesia kepada para mahasiswanya. Masygul, kecewa, bingung: itu perasaan saya menghadapi kenyataan tersebut. Ada ganjalan di kerongkongan saya. Ketika itu yang bisa saya keluarkan hanya senyuman aneh berikut sebuah pernyataan, "Waduh, itu yang ngasih tugas sadar gak, ya?" Makin kecewanya saya ketika kakak ipar saya berkata, "Daripada saya disuruh ngajarin hadis, mendingan ngajarin bahasa aja, deh, kan bisa nanya sama kamu." 

Saya percaya 100% dengan istilah learning by doing. Belajar seraya berpraktik memang memberikan penguatan dalam ingatan secara lebih permanen. Namun, tidakkah kita berbicara masalah institusi pendidikan resmi alias formal bin serius? Ke mana ya, proporsi, kompetensi, dan kapasitas?

Bisa saya bayangkan jika kakak ipar saya memilih mata kuliah Hadis. Semakinlah berat tanggung jawab beliau untuk menebarkan pesona ilmu tersebut: dunia dan akhirat. Bagaimana tidak, apa yang dikemukakan adalah sebuah dalil menyangkut pahala dan dosa, pernyataan yang diucapkan dan perbuatan orang termulia sepanjang zaman, Rasulullah Saw.

Memilih mata kuliah Bahasa Indonesia bagi kakak ipar saya memang bukan pilihan yang mengenakkan. Tapi, setidaknya risiko yang ditanggungnya relatif lebih ringan dibandingkan dengan mengajarkan ilmu Hadis. Saya harus memaklumi walaupun pada sisi hati yang cukup dalam, saya masih tersinggung. Yang menjadi pertanyaan besar bagi saya adalah apakah Bahasa Indonesia dan Hadis dianggap mata kuliah enteng sehingga setiap orang bisa mengajarkannya?

Jangan mempertanyakan ke manakah para lulusan ilmu Hadis dan bahasa Indonesia karena mereka tetap ada di sekitar kita. Mereka sebenarnya eksis, tapi malah hampir tidak dilirik. Muncul pertanyaan besar berikutnya dalam benak saya, apakah lulusan ilmu-ilmu tersebut tidak kompeten ataukah ada lulusan ilmu lain yang kompetensi dan kapasitasnya justru lebih hebat dibandingkan para lulusan yang bersangkutan? Jika jawabannya ya, muncul lagi pertanyaan, apakah parameternya jelas dan bisa dipertanggungjawabkan?

Tidak sedikit lulusan suatu bidang ilmu yang ingin mengabdikan dirinya harus tersisih oleh lulusan dari bidang ilmu lain. Saya malah melihat ini sebagai suatu ketimpangan, tidak proporsional.

Ingatan saya dikembalikan ke beberapa tahun lalu. Ketika itu saya baru saja bergabung di sebuah institusi pendidikan formal swasta. Saya berpikir bahwa saya akan betul-betul dimanfaatkan secara proporsional. Maksudnya, saya dipakai untuk kebutuhan tertentu yang sesuai dengan kapasitas keilmuan saya. Saya sudah berniat sungguh-sungguh mengerahkan semua yang saya miliki sesuai dengan kemampuan saya. Tapi, kecewa sekali lagi menghampiri saya. Begitu saja saya diminta mengajarkan bahasa Inggris dengan alasan saya mahir berbahasa Inggris. Padahal, saya sadar betul, kemampuan berbahasa Inggris saya masih standar, bahkan skor TOEFL saya pun tidak outstanding. Konyol sekali alasannya. Suatu pernyataan yang tidak berdasar sama sekali. Tidak ada bukti otentik yang menyatakan bahwa saya mampu mengajarkan bahasa Inggris dengan baik. Parameter yang digunakan adalah parameter subjektif. Padahal, dalam tataran akademik formal, seolah sebuah larangan untuk bersikap subjektif dan tidak proporsional, bisa-bisa kita dinilai tidak ilmiah.

Terjadi pemberontakan dalam batin saya. Seketika ada luapan kuat dari dalam diri saya untuk mengekspresikan ketidaknyamanan saya. Untunglah, tiga bulan kemudian saya berhasil keluar dari mimpi buruk saya akan pertanggungjawaban berat.

Saya mulai menata rencana, menyusun strategi untuk mencerdaskan para anak didik saya. Saya mulai melihat lubang-lubang kecil yang cukup mengganggu dalam kemahiran berbahasa mereka. Semakin tampak jelas bahwa pembelajaran bahasa mereka kurang berhasil karena faktanya para siswa masih menunjukkan kesalahan-kesalahan standar dalam berbahasa.

Tidaklah perlu kita berbicara kaidah. Kaidah adalah hal yang bisa dipelajari kemudian dengan teknik tertentu. Kaidah hanya perangkat yang dibuat manusia untuk membantu, memberi kemudahan untuk memahami pola-pola bahasa. Menjejalkan kaidah sama saja dengan membenturkan kepala saya ke murid saya dengan keras. Sama-sama sakit. Ada hal lain yang menjadi prasyarat dalam pembelajaran bahasa dan itu bukan kaidah.

Lalu, saya sadar akan hal penting yang paling mendasar dalam pelajaran bahasa: sistematika berpikir dan seni bertanya. Bahasa adalah logika. Bahasa adalah pola. Bahasa adalah irama. Bahasa adalah estetika. Kata dosen filsafat saya, bahasa adalah induk dari semua ilmu yang ada. Ada yang bilang, ketidakpahaman akan suatu pengetahuan disebabkan ketidakcermatan berbahasa. Ah, mengapa kita kerap melupakan filsafat ilmu?

Berarti, saya harus merapikan dulu sistematika berpikir saya sebelum merapikan sistematika berpikir murid saya. Jika telah rapi, kepala kami akan cukup kuat untuk dibenturi kaidah. Sebanyak apa pun, serumit apa pun, selama otak kami berfungsi dengan baik, insya Allah kami akan memahami bahasa sebagai ilmu, bahkan yang lebih penting sebagai keterampilan hidup.

Upaya yang saya lakukan memang tidak akan pernah selesai. Sistematika berpikir saya pun masih belum rapi betul, sedangkan generasi akan terus bertambah. Saya masih harus berjuang. Memang memuakkan kalau saya harus terus melirik kanan dan kiri saya, mencermati kenyataan pahit yang terkuak begitu saja.

Jika memang sistem yang salah, tidaklah salah juga memang jika kaidah bahasa Indonesia ikut disalahkan. Toh, sistem dan kaidah sama-sama buatan manusia. Tapi, jika mau bersikap lebih bijak, mengapa kita tidak kembali ke dasar pemikiran filsafati: manusia berpikir;  karena itu, manusia ada. Semua orang yang berpikir tahu bahwa menyalahkan sistem atau kaidah tidak akan pernah menyelesaikan keadaan. Yang harus diperbaiki adalah sistematika berpikir kita, eh ... sistematika berpikir saya sebagai manusia yang turut berkontribusi membuat sistem dan kaidah tersebut.

Saya tidak ingin lagi menyalahkan benda, saya juga tidak ingin lagi menyalahkan manusia lain di luar diri saya. Saya juga punya sumbangan kesalahan karena sempat meninggalkan dunia pendidikan begitu saja tanpa pertanggungjawaban dan membiarkan keganjilan ini terjadi di depan mata saya.

Entah saya bicara dengan siapa. Tapi, saya ingin bertanya, "Wahai para Linguis Indonesia yang segar-segar, ke mana Anda semua?"

Merenung saja memang tidak pernah cukup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun