Prolog: Mengapa Termotivasi?
Mengingat ada kurang lebih 170 anak yang disebut kebanyakan orang sebagai remaja yang diamanahkan
kepada saya (baca: kami) di sekolah, saya merasa berkepentingan. Paling pendek, dengan siswa kelas 7
kami sudah membersamai mereka kurang lebih 4 bulan. Paling panjang, dengan para Alumni sejak tahun
2010 yang sekarang sudah mendewasa bersama perangkat kehidupannya yang luar biasa menantang.
Memang, hubungan kami bukan orang tua dan anak secara biologis, sama sekali bukan, hanya guru dan
siswa. Namun, sepanjang sejarah persekolahan di sekolah kami, setelah kami menelaah setiap fase
perkembangan mereka dari tahun ke tahun, dapat dikatakan tingkat kerumitan persoalannya semakin
hebat. Setiap tahun angkatan, ada persoalan baru yang timbul yang menjadi tantangan untuk
diselesaikan. Positifnya, mau tidak mau hal ini memaksa kami untuk berkreatif mencari solusi bersama
untuk senantiasa berlapang hati membersamai mereka dengan kerumitannya.
Kerumitan adalah kata yang tepat saya kira. Memang cenderung kurang positif, tetapi saya yakin di hati
saya dan kebanyakan orang tua yang memiliki calon dewasa di rumahnya, terlintas perasaan ini. Semakin
rumit ketika kita memperbandingkan kehidupan mereka dengan apa yang pernah kita lalui dulu.
Sebenarnya apakah benar rumit ataukah hanya rekayasa perasaan yang mendominasi pikiran kita?
Tahun 2031: Bonus atau Bencana Demografi?Â
Saya dengar, pada tahun 2031 diprediksi perbandingan usia produktif dan nonproduktif adalah 68,1% berbanding 31, 9%. Jika persentase tersebut benar-benar sinkronnya usia produktif dengan produktivitas yang real, ini adalah bonus demografi. Syaratnya adalah generasi pada usia produktif tersebut adalah generasi yang sehat dan terdidik. Maka, dunia ini akan dipimpin para dewasa muda yang produktif sehingga berjalan dengan baik dan nyaman bagi semua pihak.Â
Masih sekian belas tahun menuju 2031. Lalu, mari kita tengok bagaimana profil dewasa muda (usia produktif) kita tahun 2018 ini. Asingkah telinga kita dengan menyontek, narkoba, tawuran, alay, k-pop, LGBT, dan free-sex?Â
Menurut paparan narasumber, hal-hal yang disebutkan pada paragraf sebelumnya adalah kondisi nyata pemuda kita saat ini. Memang tidak semua, tetapi seimbangkah jumlahnya dengan dewasa muda berkualitas yang pada 13 tahun mendatang akan mengemban amanah sebagai pemimpin? Di mana dan bagaimanakah anak-anak kita pada 13 tahun mendatang?Â
Problematika Kita: Sudahkah Akilnya Pemuda Kita Menyertai Balignya?Â
Dari seminar ini, semakin pahamlah saya atas ketidakpahaman saya. Ternyata, dalam Islam tidak dikenal konsep remaja. Hanya ada dua konsep dalam Islam tentang fase perkembangan manusia: anak-anak dan dewasa. Konsep remaja rupanya muncul sejak era revolusi industri dan awalnya keberadaan sekolah formal. Hal ini secara tidak disadari memunculkan adanya permakluman yang justru menghambat akilnya seorang pemuda.
Balig adalah kondisi seorang anak yang beranjak menuju kedewasaan disertai dengan tanda-tanda perubahan fisik dan psikis. Jika keseluruhan tanda muncul sebagaimana mestinya secara benar, anak tersebut telah berubah menjadi seorang yang sepenuhnya dewasa.
Mari kita cek, di mana posisi (calon) pemuda kita sekarang?Â
Prinsipnya, akil dan balig seyogianya terjadi secara bersama-sama sebagai satu kesatuan. Pada faktanya, balig terjadi terlampau cepat, sedangkan akil terjadi terlampau lambat. Tidak kompak. Tidak jarang ada anak yang sudah mencapai balignya sejak kelas 5 atau 6 SD dengan rerata usia 10 -- 11 tahun. Mungkin hal ini masih dianggap wajar. Namun, ternyata tidak sedikit pula ada anak yang sudah mencapai balignya pada usia sebelumnya, di kelas 4 SD. Balig, yang perempuan sudah mengalami menstruasi, yang laki-laki sudah bermimpi basah. Artinya, kematangan fisiknya sudah terjadi. Anak-anak secara fisik sudah siap bereproduksi. Di sisi lain, sudahkah mereka memahami esensi tanggung jawab dan kemandirian?Â
1. OvernutrisiÂ
Salah satu peran ibu adalah memastikan kecukupan gizi keluarga. Dalam hal ini, ibu bertugas menyiapkan segala kebutuhan nutrisi seluruh anggota keluarga. Namun, pada masa sekarang ternyata banyak ibu yang menghadapi keterbatasan dalam hal ini karena mereka memilih untuk mengaktualisasikan diri di luar rumah dengan berbagai alasan yang dianggap logis. Ibu lebih sibuk dengan karirnya (termasuk saya) sehingga peran untuk memenuhi kebutuhan gizi keluarga beralih kepada orang lain.
 Ternyata, keterbatasan ini menyebabkan kontrol kecukupan gizi cenderung kurang efektif sehingga peluang terjadinya malnutrisi atau overnutrisi lebih tinggi. Keduanya berdampak terhadap perkembangan fisik terutama pada anak. Ternyata lagi, berfokus pada overnutrisi, seorang anak yang mengalaminya akan mendapati dirinya balig lebih cepat.Â
2. Stimulasi Via Mata dan TelingaÂ
Dulu, keterbatasan mengakses berbagai media justru memiliki sisi positif. Kecenderungan seseorang terpapar pornografi dan kekekerasan tidaklah semarak sekarang.Â
Mari lihat apa yang terjadi sekarang. Betapa kuatnya gelombang pornografi dan kekerasan dari berbagai media. Dengan mudah para calon pemuda mengakses segala hal yang berbau porno dan sarkas. Dengan mudah pula hal itu menstimulasi balignya mereka. Membatasi stimulasi ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Saat ini banyak sekali upaya yang membantu para orang tua untuk segera tersadar akan bahaya gadget. Berbagai pelatihan bijak ber-IT semakin gencar dilaksanakan berbagai organisasi dan komunitas. Namun, luangkah waktu saya dan Bapak/Ibu untuk mengikutinya? Tapi, ada cara efektif lain yang dapat dilakukan untuk meminimalisasi ini, yaitu pengerem #2 yang akan dijelaskan pada poin selanjutnya.Â
3. Minim Pengerem #1: ProblemÂ
Masalah rupanya telah di-setting oleh Allah Sang Maha Pencipta sebagai salah satu batu ujian yang membantu manusia bertumbuh dan berkembang dalam aspek fisik dan mental. Masalah diciptakan sebagai stimulan bagi manusia untuk mengasah kecerdasan otak karena manusia akan berpikir manakala pengalaman dan pengetahuan lebih sedikit dibandingkan masalah yang muncul. Berkaca dari diri saya, rasa kasihan, kurang percaya pada kemampuan anak karena masih belia, atau pengalaman buruk pada masa lalu menyebabkan tingkat proteksi terhadap anak meningkat. Namun, ternyata hal ini bukanlah bentuk kasih sayang yang tepat. Pengambilalihan penyelesaian masalah oleh kita selaku orang tua ternyata menutup peluang bagi anak untuk menstimulasi otak dan hatinya berpikir dan bertindak secara kreatif. Hal ini menyebabkan ketergantungan, rendahnya pertahanan diri, rendahnya tanggung jawab, dan ketidakmampuan mengatasi stres. Yang disebutkan terakhir adalah yang terburuk. Berapa banyak orang tua yang masih rela disalahkan karena anak tidak mampu menyelesaikan masalah. Berapa banyak orang tua yang masih tidak tega ketika anak tidak mampu dan menawarkan bantuannya untuk menyelesaikan masalah. Berapa banyak orang tua yang merasa bahwa anak janganlah sampai merasakan kesulitan seperti dirinya dulu dengan anggapan bahwa hidup mereka seharusnya lebih baik dari kehidupan orang tuanya? Pertanyaan ini mengajak saya dan mudah-mudahan Bapak/Ibu untuk kembali berpikir, apakah kita menyiapkan anak untuk mampu bertahan hidup tanpa kita pada masa dewasanya? Panjang pembahasannya. Namun, makin jelaslah kita membuka kembali Alquran Surat Albaqarah 214. "Apakah kamu mengira kamu akan masuk surga padahal belum datang kepadamu cobaan seperti yang dialami orang-orang sebelum kamu? Mereka ditima kemelaratan, penderitaan, dan diguncang dengan berbagai cobaan sehingga rasul bersama orang-orang beriman berkata, 'Kapan pertolongan Allah datang?' Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat."Â
4. Minim Pengerem #2: SaumÂ
Saum diajarkan dalam agama Islam sebagai penolong manusia untuk menahan hawa nafsu, termasuk dalam pembahasan ini adalah nafsu terhadap makan dan syahwat. Dua hal ini yang jelas harus dikendalikan untuk mengerem percepatan balig. Bagaimana tidak? Dengan saum diharamkan atas manusia makan dan minum dan hal yang mengumbar syahwat. Lalu, apa yang menjadi penyebab akil sangat lambat?Â
a. Hilangnya peran ayahÂ
Ayah, peran penting dalam rumah tangga. Ayah adalah konseptor. Beliaulah arsitek yang akan menghasilkan kokohnya iman dan kuatnya akhlak seorang anak. Ayahlah yang membangun kemandirian dan kepercayaan diri. Dengan kemampuan logisnya untuk bersikap tega pada anak, ayah adalah yang paling diandalkan dalam pendidikan anak.Â
Fakta berikutnya lagi, Indonesia ada dalam kondisi darurat sebagai negeri tanpa ayah. Bukan secara fisik, melainkan secara psikologis dan sosial. Kehadiran sosok ayah sebagaimana disebutkan pada paragraf sebelumya tidaklah terjadi. Ayah menjadi sangat sibuk mencapai target menafkahi keluarga, terutama persoalan finansial.Â
Perlu disadari para ayah bahwa hal-hal yang sifatnya konseptual, khususnya dalam penerapan aturan yang jelas dalam keluarga mestilah menghadirkannya secara emosional. Tidak berarti ayah harus senantiasa hadir di rumah. Ayah bisa berada di mana pun, tetapi ia harus tetap menjalin ikatan batinnya dengan ibu dan anak-anak. Ayah adalah peran tertinggi sebagai pemimpin. Karena beliau adalah konseptor, beliau pulalah sang pengambil kebijakan dan keputusan sendiri.Â
Ketiadaan peran ayah adalah mimpi buruk keluarga. Fungsi ibu menjadi bias antara pengayom keluarga dengan kehangatan dan toleransi, ataukah penerap aturan yang tegas dan tega mendidik dengan kerasnya masalah kehidupan. Anak yang tidak memiliki kedekatan emosional dengan ayah menjadi anakanak yang rapuh, yang mudah terpapar kesedihan, mudah pula mencari kompensasi ke arah yang tidak dibenarkan, seperti ketergantungan terhadap narkoba (diinformasikan bahwa anak yang tidak dekat dengan ayah secara emosional 7X lipat berpeluang terpapar narkoba).
b. Pemanjaan dengan fasilitasÂ
Kemampuan orang tua secara finansial seharusnya tidak menjadikannya bersikap terlampau murah hati. Keberadaan seseorang hendaknya menjadikannya bersikap lebih arif dalam berbagai hal. Anak yang difasilitasi secara mudah cenderung bersikap manja. Ketergantungannya terhadap fasilitas menyebabkan daya juangnya rendah karena tidak terbiasa dihadapkan pada situasi lelah.Â
Misalnya, seorang anak yang terbiasa diantar dan dijemput dengan mobil. Dia terbiasa berangkat dan pulang duduk dalam kendaraan tanpa harus berjuang berjalan kaki atau bahkan berlari untuk memburu waktu. Secara fisik, contoh ini menyebabkan turunnya daya tahan tubuh karena tidak terstimulasi untuk bergerak. Secara mental, anak akan cenderung menunggu untuk diantar dan dijemput. Saat terlambat, dia akan menyalahkan ketiadaan fasilitas. Dia tidak memiliki kecakapan dalam mengambil keputusan untuk menyiasati keterlambatannya.Â
Murah hatinya orang tua pun menjadi bumerang. Ketika anak terbiasa meminta dan menerima dengan mudah, dia akan terus mengandalkan orang tua. Saya, sekali lagi sebagai orang tua harus belajar bahwa segala sesuatu haruslah dicapai dengan perjuangan. Biarlah anak-anak merasakan nikmatnya mencapai hasil setelah perjuangan keras sehingga dia akan lebih menghargai waktu dan orang lain.Â
c. Penghindaran realitas dan risikoÂ
Pernah saya mendengar salah satu contoh yang disampaikan oleh seorang psikolog. Anak yang dibiasakan untuk aman dan nyaman akan sulit menghadapi realitas dan risiko. Contoh yang dikemukakan adalah seorang mahasiswa tingkat akhir yang harus berhadapan dengan kenyataan menghadapi dosen killer saat bimbingan skripsinya. Karena tidak tega, orang tua merasa bahwa kenyataan pahit yang dialami anaknya ini tidaklah pantas dan akhirnya sang ibu menelepon pihak universitas, mengadukan perihal ini: Anak saya tidak diperlakukan layak oleh dosennya. Bagaimana ini? Tidakkah orang tuanya berpikir, bisa jadi anaknya yang lamban berproses dan merugikan dirinya sendiri? Tidakkah orang tuanya berpikir, bisa jadi anaknya yang malas dan tidak mau membuka buku atau jurnal teori untuk melengkapi skripsinya? Banyak lagi pertanyaan lainnya. Mahasiswa atau mahaibu yang sedang skripsi?
Salah satu contoh lain, cerita kakak saya. Seorang management trainee yang terekrut sebuah BUMN memiliki otak cerdas. Ya, makanya dia lulus. Namun, apa yang terjadi saat wawancara akhir? Sebagaimana kita tahu bahwa untuk karyawan sebuah BUMN ada aturan bahwa tidak boleh tiba-tiba resign dalam masa tertentu apa pun persoalannya. Lalu, ditanyakanlah perihal ini kepada sang management trainee. Jawabannya, saya akan tetap keluar kalau tidak betah. Lalu, bagaimana, kana da penalty? Jawabannya, tidak apa, ada ayah yang akan membayarnya. Senyumlah saya.Â
d. Buruknya kemampuan berpikirÂ
Kebiasaan pengambilalihan penyelesaian masalah seperti dibahas sebelumnya menyebabkan kemandulan berpikir. Otak anak tidak akan terstimulasi untuk mencari solusi. Sekali lagi, otak tidak akan berpikir jika masalah yang dihadapi terlalu mudah dan biasa untuk diselesaikan. Kreativitas rendah, tidak akan ada inovasi dalam hidupnya. Seumur hidup dia akan terus menjadi follower, bukan trend setter.Â
e. Tidak dipikulnya beban kehidupanÂ
Kembali ke poin lambatnya balig yang membahas Q.S. Albaqarah 214. Akil tidak akan tumbuh jika anak tidak memikul beban hidup. Sebetulnya, anak telah dianugerahi mekanisme pertahanan tubuh yang sangat kompatibel dengan permasalahan hidup.Â
Merujuk pada Alquran lagi bahwa Allah tidak akan membebani seseorang dengan suatu persoalan yang tidak akan sanggup dipikulnya. Jadi, apalah yang kita khawatirkan? Biarkan anak kita berada dalam kesulitan maka dia akan menemukan solusi kreatif dengan permasalahannya. Tugas kita hanyalah mengawasi, membantu dia saat benar-benar dibutuhkan, terutama saat mulai salah jalan. Hanya itu?Â
Mari Ubah ParadigmaÂ
Saya, Bapak dan Ibu, ditugasi untuk kembali ke ajaran Islam. Mari kita sadaril bahwa akil dan balig merupakan satu paket. Tidak balig duluan lalu akil. Tetapi, jika akil sudah pasti balig. Dalam Islam sekali lagi tidak dikenal konsep remaja. Yang ada hanyalah anak yang menjadi dewasa.Â
Hendaknya selaku orang tua peran kita adalah mendidik, bukan mengajar. Mendidik adalah memberikan peluang pada anak untuk mencapai target dengan perubahan tingkah laku, dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak tahu menjadi tahu, dari anak-anak jadi dewasa. Yang menjadikan anak mampu mencapai target tersebut adalah masalah.Â
Maka, pendidikan utamanya merupakan tanggung jawab orang tua, bukanlah tanggung jawab sekolah. Kolaborasi antara ayah dan ibu-lah yang sepenuhnya memiliki kewenangan dalam pendidikan yang artinya dalam kealpaannya orang tua pula yang harus menyadari tanpa menyalahkan. Sekolah hanyalah mitra yang dipilih orang tua untuk membantu mengakilkan anak dengan bersikap tega memikulkan tanggung jawab di pundak anak sehingga dia bertumbuh mendewasa secara wajar dan alami.Â
Jalan Takwa dan Jalan Dosa BeriringanÂ
Saya (serta Bapak dan Ibu) kiranya menyadari bahwa Allah Swt. sudah menciptakan makhluk-Nya berpasangan. Siang dan malam. Gelap dan terang. Langit dan bumi. Laki-laki dan perempuan. Begitu pun takwa dan dosa. Prinsipnya dalam agama kita, Allah selalu memberikan dua pilihan kepada manusia. Maka, jalan takwa dan jalan dosa akan senantiasa beriringan. Ganjarannya pun beriringan. Saya kira, tidaklah diciptakan semua itu agar kita lagi-lagi berpikir hingga mampu memutuskan jalan mana yang akan dipilih berikut konsekuensinya.Â
Dalam mendidik anak, hendaknya kita sebagai orang tua mampu menunjukkan kenyataan bahwa jalan takwa dan dosa memang beriringan. Dengan begitu, anak pun akan terpahamkan bahwa setiap jalan yang dipilih akan beserta dengan konsekuensi bahkan risiko terburuk. Jika terlupa memahamkan hal ini, anak tidak akan pernah berani untuk mengambil risiko apa pun.Â
Kolaborasi Total: Orang Tua, Sekolah, MasjidÂ
Kolaborasi ayah dan ibu sudah dijelaskan pada paragraf sebelumnya. Fungsi dan peran sekolah pun telah dijelaskan. Mengacu pada penjelasan bahwa ayah adalah peran tegas dan tega dalam pendidikan anak, sedangkan peran itu cenderung tidak berjalan baik pada masa sekarang, jikalah orang tua menyadarinya, hilangnya peran ini dapat dibantu dengan hadirnya sekolah. Memilih sekolah yang tepat dan meminta bantuan pihak sekolah dalam mendidik anak, khususnya mendewasakannya adalah salah satu alternatif untuk mempercepat akil. Dengan catatan, orang tua benar-benar sepenuhnya percaya kepada pihak sekolah untuk menjalankan fungsi ini.Â
Sekolah adalah lembaga yang memiliki sistem tersendiri. Dalam pelayanannya, sekolah memiliki mekanisme tertentu yang terus menerus berupaya sempurna. Namun, intervensi terhadap sekolah tentang program yang dijalankan serta bagaimana cara sekolah mengelola sistem untuk mendewasakan anak adalah sesuatu yang memberatkan pihak sekolah. Agar ini tidak terjadi, kitalah yang harus bijak menentukan sekolah mana yang akan dipilih. Wibawa sekolah ditentukan oleh kepercayaan orang tua. Semakin orang tua percaya kepada sekolah, semakin sekolah terbantu untuk berkembang dan anak pun akan terbantu percepatan akilnya. Intinya, belajarlah untuk saling percaya.Â
Demikian pula peran masjid. Masjid adalah lembaga yang dikelola masyarakat sebagai pusat dakwah, mengayomi kebutuhan ruhiyah masyarakatnya agar tercipta lingkungan yang madani. Saat ini semakin banyak masjid dan musala yang berdiri di sekitar kita. Namun, dapat dihitung, berapa jumlah masjid yang dimakmurkan di balik megahnya bangunan.Â
Banyak orang tua merasa terganggu dengan hadirnya anak-anak di masjid. Kegaduhan, kerusuhan, dan hal lain yang secara tipikal sering dilakukan anak dianggap sebagai kepusingan baru yang mengganggu kekhusyukan beribadah. Tetapi, gangguan inilah yang seharusnya menggugah kepedulian orang tua mendidik mereka di masjid. Sudah seharusnya orang tua menyadarkan fungsi masjid pada anak, yang sebagai rumah Allah, masjid adalah tempat suci yang harus dihormati dan dijadikan tempat untuk melakukan kegiatan apa pun yang positif sesuai dengan syariat. Fungsi orang tua untuk pendampingan pada anak sangatlah krusial agar kecintaan anak terhadap masjid terbangun sehingga selalu merasa rindu untuk kembali ke sana. Masjid makmur, anak bahagia, semua saleh senantiasa.Â
Semaikan KesadaranÂ
Nasihat pada zaman ini tidaklah sepenuhnya menyadarkan. Strategi kita sebagai orang tua hendaknya kembali kepada beberapa poin berikut sehingga kesadaran anak terbangun sempurna.Â
1. Fokus pada nilai dan makna: mari ajarkan anak perihal hidup dengan menunjukkan baik buruk, benar salah, dan sesuai tidak sesuai dengan contoh yang tepat. Ajak mereka memaknai setiap kejadian untuk menumbuhkan daya kritis mereka sehingga kepekaan akan tumbuh secara kuat dan alami.Â
2. Bangga menjadi dewasa: pahamkan kepada mereka bahwa menjadi dewasa adalah sebuah keniscayaan. Namun, untuk mencapainya perlu perjuangan fisik dan batin. Perjuangan ini akan menumbuhkan kebanggaan sehingga mereka lebih siap menantang masa depan.Â
3. Cemburukan dengan kisah para pemuda: tidak perlu jauh, kisah para pemuda Islam, termasuk di negeri kita, seharusnya sangat menginspirasi.Â
4. Cemaskan dengan tanggung jawab seorang mukalaf: mendewasa adalah amanah menjadi khalifah. Maka, anak mestilah paham dengan makna tanggung jawab, termasuk tanggung jawab untuk menghidupi diri dan kelak keluarganya dengan tangannya sendiri.Â
5. Insafkan tentang masa depan umat dan bangsa: jika poin 4 tercapai, sebagai khalifah mereka harus mengemban tanggung jawab akan masa depan umat Islam dan bangsa Indonesia. Life is Real Sudah saatnya saya (dan Bapak/Ibu) menyadarkan diri bahwa kita hidup dalam kenyataan, kondisi real saat ini. Ini bukan simulasi, latihan atau sekadar representasi kehidupan. Artinya, kita harus mengajak anak-anak untuk hidup di atas realitas yang alami dengan pendidikan yang Islami. Dengan penjelasan di atas, semestinyalah kita yakin bahwa rumah dan sekolah adalah lingkungan nyata, bagian dari realitas kehidupan yang seutuhnya.Â
Sukses adalah 99% kegagalan dan 1% keberhasilan. Angka tersebut menunjukkan bahwa kegagalan mendominasi kehidupan manusia. Namun, tidak sedikit manusia menyerah padahal jika kita bersabar, di balik 99% kegagalan itu adalah 1% keberhasilan untuk mencapai sukses. Berbagai kisah kehidupan sudah bertutur bahwa orang-orang sukses akan bermula dari 99% kegagalan tersebut.Â
Keimanan kita diuji dengan realitas hidup (QS Al Ankabut, 2-3). Sementara itu, realitas inilah yang menyiapkan semua kebutuhan manusia untuk menjadi akil. Mari kembali meyakini bahwa Allah telah menciptakan anak kita satu paket dengan modalitas untuk bertahan hidup. Maka dari itu, realitas hidup dan modalitas yang dianugerahkan Allah kepada anak kita adalah satu kesatuan.Â
Anak harus dibiarkan merasakan pahitnya hidup agar mampu mempertahankan diri sehingga merasakan hebatnya pertolongan Allah Swt. Kita sama-sama mengetahui bahwa pertolongan Allah Swt. akan tiba pada puncak ujian, pada puncak kesulitan. Saya (dan Bapak/Ibu) mestinya menyejajarkan diri dengan anak si calon pemuda untuk berdiskusi mengenai hal ini karena mereka dianugerahi akal dan nurani sebagai fitrahnya. Namun, dalam kehidupan semua itu berada dalam satu paket dengan kesulitan dan kebatilan yang dibawa oleh setan. Sungguh seorang manusia tidak akan mencapai akilnya manakala fitrah tidak disertai ikhtiar untuk menyadarkan.Â
Saya harus mulai membuka mata bahwa pendidikan harus berani dan tega. Zaman memang sudah berubah, teknologi makin hebat, tetapi hidup menjadi lebih keras. Di luar sana kondisi semakin tidak aman, tetapi anak jangan disembunyikan. Kita harus menghadapkan mereka pada realitas tersebut agar sekali lagi, mereka mampu bertahan hidup. Inilah yang melahirkan jalan sukses. Jadikan pendidikan kita pendidikan yang tegas, bukan pendidikan yang penuh permakluman dan toleransi. Namun, perluu digaris bawahi bahwa tegas bukanlah sebuah kekejaman. Tegas adalah sikap tega yang disertai kasih sayang. Anak kita memiliki mekanisme pertahanan diri yang harus terbangun dengan memikul tanggung jawab personalnya (QS Ar Rum 41). Ternyata, anak kita tidaklah selemah yang kita bayangkan. Biarlah mereka mengecap kebebasan untuk berkreatif menemukan berbagai solusi atas permasalahannya.Â
Bagi saya, termasuk Bapak/Ibu yang pernah melalui jalan derita, jalan itulah yang mengantarkan kita menuju hari ini. Jika itu buruk, itu sudah berlalu dan tidak perlu kita mendendam padanya. Sebaliknya, masa depan harus dihadapi tanpa ketakutan apa pun karena apa yang akan terjadi di depan adalah misteri yang tidak akan pernah bisa kita prediksi secara pasti. Tidaklah kita perlu mewariskan trauma kita pada anak-anak dengan mengganti rasa khawatir kita melalui berbagai fasilitas yang menyamankan anakanak karena itu justru melambatkan akilnya.Â
Anak si calon dewasa harus diingatkan jauh-jauh hari saat balig, bahwa mereka akan menghidupi diri sendiri. Maka, mereka sudah harus mulai mengambil peran untuk mulai menghasilkan secara finansial, sederhananya untuk uang jajannya sendiri. Belajar berniaga menjadi salah satu alternatif yang paling mudah hingga anak menyadari betapa lelahnya menjadi seorang dewasa yang mengemban tanggung jawab. Anak si calon dewasa pun harus berlelah indah dalam dinamika berorganisasi. Organisasi adalah berkehidupan yang di dalamnya ditemukan berbagai tipe manusia dengan problematikanya, dibumbui dengan konflik-konflik yang sederhana untuk disiasati. Organisasi adalah berlatih manajemen, bekerja sama, berlatih memimpin, dan mengambil keputusan. Keterampilan ini sangat dibutuhkan kelak ketika mereka sepenuhnya dewasa.Â
Ya, saya harus mendidik dengan ketegaan yang tulus dan penuh kasih sayang agar si akil tiba tepat waktu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H