Ada teman seasrama saya Irfan di pendidikan Kepamongprajaan bertanya, 'Sewaktu tsunami 2004 kamu gimana ?' Mungkin jawabannya sulit diceritakan karena luar biasa maha dahsyatnya peristiwa itu. Perasaan ini lah yang membuat saya, kita semua masyarakat Aceh sangat terpukul atas musibah besar ini. Ketika itu saya masih berusia 11 Tahun. Beranggapan masih sebagai 'anak ingusan' yang ketika pagi itu gempa tiba-tiba datang, sontak kami lari ke jalan depan rumah. Kepanikan ada disemua ekspresi wajah semua orang, tidak terkecuali keluarga, tetangga dan warga sekitar rumah. Semua tiarap di aspal sambil meneriakkan asma Allah. 'akhirnya tiba juga hari ini' pikirku. Aku yakin hari ini adalah hari yang paling ditakuti oleh semua umat manusia yaitu hari kiamat.
26 Desember 2004 Pukul 7.59 waktu setempat, gempa berkekuatan 9,1 sampai 9,3 skala Richter mengguncang dasar laut di barat daya Aceh, sekitar 20 sampai 25 kilometer lepas pantai. Hanya dalam beberapa menit saja, gelombang tsunami dari gempa itu meratakan bumi serambi mekkah Aceh.
Aceh sebagai wilayah terparah dari musibah ini, ketika itu menjadi sorotan dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyatakan tsunami di Aceh sebagai bencana kemanusiaan terbesar yang pernah terjadi. Bantuan internasional mulai digerakkan menuju kawasan bencana. Kawasan terparah yang dilanda tsunami Aceh adalah Aceh Barat, Dan Banda Aceh.
Bencana tersebut telah memakan korban hingga 200.000 jiwa dan 500.000 orang kehilangan tempat tinggal. Di Kota Banda Aceh, sekitar 85 persen dari seluruh infrastruktur rusak akibat tsunami. Bencana tersebut juga mengakibatkan kerusakan pada lebih dari 3.000 kilometer jalan di sejumlah daerah di Aceh, sekitar 800 kilometer garis pantai hancur dan lebih dari 3.000 hektare lahan hanyut atau terendam air laut.
Jika kita melihat Pada gempa dan tsunami 26 Desember 2004 yang terjadi di Aceh Bandingkan dengan bencana tsunami akibat gempa berkekuatan 8,9 SR pada 11 Maret 2011 di Jepang, tercatat hanya sekitar 7000 orang korban yang meninggal. Sebagai catatan pembanding, Jepang pernah mengalami bencana gempa dan tsunami yang lebih dahsyat dari sisi banyaknya korban, yaitu gempa sebesar 7.9 SR yang lebih dikenal sebagai “The Great Kanto Earthquake” pada tahun 1923 yang menewaskan lebih dari 142.000 orang. Jumlah korban yang berbeda jauh antara bencana gempa dan tsunami di Aceh pada tahun 2004 dan di Jepang pada tahun 2011 menunjukkan bahwa Jepang lebih siap menghadapi bencana dibandingkan dengan Aceh pada saat itu.
Jepang, bisa dibilang adalah negara yang paling sering mengalami gempa bumi. Hal itu yang menyebabkan Jepang menjadi negara yang paling siap menghadapi bencana gempa dan tsunami bahkan beranekan bencana lainnya. Berbagai macam cara dilakukan Jepang untuk mengurangi dampak bencana. Mulai dari meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bencana sejak dini, membangun infrastruktur bangunan yang tahan gempa, membangun jalur evakuasi yang mumpuni untuk keselamatan warga, bahkan ada sebuah perusahaan di Jepang yang menciptakan sebuah kapsul penyelamat diri kala tsunami melanda.
Maka tidak berlebihan jika kita Aceh dan Indonesia pada umumnya agar mencoba untuk berguru kepada Jepang. Agar kita dapat meminimalisasi korban yang terus berjatuhan. Bukan hanya gempa bumi dan tsunami, seluruh bencana yang terjadi harus disikapi oleh kita yang hidup berdampingan dengan alam melaui pendekatan-pendekatan yang strategis mulai dari mengamati, meniru, modifikasi dan melahirkan inovasi maju agar kita mampu berdamai dengan bencana. Kita dapat memulai dengan menerapkan pendidikan pengenalan siaga bencana sejak dini, pelatihan evakuasi, sosialisasi rutin mengenai penanganan dasar, pembangunan infrastruktur yang ramah bencana, revitalisasi tata ruang dan pengembangan wilayah, pola hidup ramah lingkungan dan usaha-usaha mitigasi bencana lainnya.
Bencana tsunami telah 11 tahun berlalu, Aceh terus berbenah diri dan bertekad untuk mengembalikan kehidupan di Aceh lebih baik dari sebelumnya dengan terus membangun guna mewujudkan Aceh makmur, sejahtera dan bermartabat dalam bingkai Negera Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Kini lebih dari 140.000 rumah, 1.700 sekolah dan hampir 1.000 kantor pemerintahan telah dibangun. Begitu juga 36 bandara dan pelabuhan dan hampir 3.700 kilometer ruas jalan berhasil dibangun. Berbagai sektor usaha telah kembali bangkit dan aktifitas ekonomi terus maju. Ini semua tidak serta-merta terwujud tanpa bantuan banyak pihak, mulai dari negara sahabat sampai kepada organisasi dunia internasional pun turut membantu.
Satu dekade lebih sudah ternyata. Tepat hari ini genap 11 tahun gempa dan tsunami Aceh diperingati. Pemerintan dan masyarakat Aceh bertekad dengan semangat.
Dengan doa dan usaha kita semua masyarakat Aceh terus berupaya menjadikan Aceh sebagai sebuah negeri yang madani. Dengan sekelumit cerita Aceh sejak dulu , mulai dari perlawanan penjajahan, perang Di/TII, Konflik Gam berkepanjangan, penerapan Syariat Islam hingga musibah Tsunami semuanya menjadi tantangan untuk Aceh dalam menghadapi masa depan yang lebih baik.
Aceh dituntut untuk terus bergerak maju agar menjadi bandar berkelas dunia dan tentunya supaya mampu membawa menuju kemajuan Indonesia, dengan mengembangkan potensi wilayah, menggerakkan nilai kearifan lokal, meningkatkan sumber daya manusia, menjaga dan melestarikan sumber daya alam, pembangunan segala sektor, pemberdayaan masyarakat, hingga kepada menciptakan kedamaian kesemuanya diharapkan sebagai simbol peradaban Aceh yang madani.
Tantangan Aceh saat ini memang banyak, mulai dari Suistainable Development Goals (SDgS), masyarakat ekonomi Asean (AFTA) sampai kepada bonus demografi. Tantangan-tantangan ini harus mampu dijawab oleh seluruh komponen masyarakat Aceh. Menyadari akan hal ini, marilah kita bersama saling berkerja keras dan bergotong royong dengan integritas untuk Aceh lon sayang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H