Kompleksitas dan kemandirian NGOs / LSM
Pertanyaan menarik yang perlu pemikiran bersama yaitu: mengapa masyarakat pedesaan, seperti petani, nelayan, masyarakat tradisional pada umumnya maupun kaum miskin kota, dan kelompok-kelompok marginal lainnya tidak meningkat kualitas hidupnya dari masa ke masa ditengah hebat pola konsumerisme di pusat perkotaan? Dan ditengah munculnya LSM-LSM saat ini? Salah satu jawaban penting dari pokok pertanyaan tersebut adalah kelompok–kelompok itu tidak mempunyai akses yang berarti pada pusat-pusat kekuasaan yang memutuskan keputusan-keputusan politik-ekonomi yang akan mempengaruhi kehidupan kelompok-kelompok marginal itu. Apakah kita memiliki LSM yang secara mandiri mampu berfungsi sebagai mediator dan mewakili kepentingan marginal, sulit unutk mendapat jawaban yang tepat. Walaupun kita tidak menutup mata bahwa gerakan pelayanan sosial yang dilakukan oleh LSM-LSM telah memberikan indikator kearah itu. Tetapi indikator lemahnya pertumbuhan daerah rakyat marginal mungkin karena ada kecenderungan LSM/NGOs lebih senang menggarap lahan yang subur yang bisa menghasilkan sesuatu demi kepentingan kelompoknya.
Sulit untuk di analisa indentitas dari NGOs dan LSM yang ada di Indonesia. Belum terlihat adanya penelitian atas menjamurnya NGOs/LSM yang mengatasnamakan kelompok merginal dalam pengertian “real”. Mungkin paling tidak ada 4 model LSM yang dapat kita identifikasi. (1) LSM Patron (Birokrat patron), seperti yang diuraikan ditas LSM ini dibentuk berdasarkan rekomendasi negara guna mendukung kebijakan publik, misalnya, berapa banyak NGOs atau LSM yang berafiliasi dan hidup dari sumber kekuasaan negara; (2) LSM yang berafiliasi dengan partai politik, sebagai lembaga kampanye politik pemenangan pemilu (3) LSM yang ‘quasi-independen’ atau tidak dibiayai oleh ‘APBN’, akan tetapi dibiayai oleh pihak sponsor asing, LSM semacam ini juga diragukan niatnya karena LSM ini cenderung memiliki modal besar dan membawa agenda sponsor yang tersembunyi (As there is increasingly a single donor agency for specified activity, the choice are severely circumsribed; you either play by donor’s rule, or there are no funds) atau LSM yang purely independen. Yang terakhir ini sulit didefinisikan karena ownership-nya (seperti ‘private foundations’) jelas juga akan banyak mempengaruhi gerakan LSM tersebut.
Persoalan lain adalah NGOs internasional yang secara transparan atau tidak masuk kedalam ruang-ruang publik yang sulit terindentifikasi tujuan utamanya. Sehingga ukuran paling sederhana yang dapat dipakai adalah berpusat dari kemandirian dan orientasi LSM itu sendiri karena banyak pula LSM yang bergerak seperti perusahaan dengan memanfaat kaum marginal dan ‘tertindas’ sebagai obyek proposal permintaan dana asing seperti yang sedang menjamur saat ini.
Persoalan menjadi sulit karena pertumbuhan LSM tidak lepas dari sumber pendanaannya dan kualitas SDMnya sendiri. Mampukan LSM hidup tanpa donor? Sulit untuk dijawab dan merupakan persoalan yang dilematis lebih dari pada gerakan alternatif. Sehingga mungkin perlu juga dicermati ideologi dasar dari pertumbuhan dan gerakan LSM yang sedang menjamur saat ini. Istilah ‘donor trap’ merupakan persoalan yang harus diperhatikan oleh LSM-LSM yang baru dan kurang berpengalaman. Semua itu memerlukan penelitian empiris guna membuktikan asumsi-asumsi tersebut diatas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H