Maklumat Bersama yang dilupakan?
(http://foto.okezone.com/view/13498/maklumat-bersama-untuk-pemilu-damai)
“Saya betah di kota ini”, itu kalimat yang selalu saya sampaikan kepada keluarga saya ketika mereka menyuruh saya untuk kembali ke Bengkulu. Ya…Yogyakarta atau orang lebih sering menyebut sebagai Jogja adalah kota yang damai, dimana terdapat makanan yang murah, buku untuk perkuliahan mudah didapat, mahasiswa yang haus akan ilmu sehingga diskusi tentang current affair yang terus berlangsung bahkan di angkringan, dan seribu alasan lainnya kenapa saya mencintai kota ini. Bicara mengani “Kota Damai”, saya pernah berbincang dengan seorang tukang parkir separuh baya di bilangan 0 KM, Yogyakarta, ia bercerita ketika Solo, Kota tetangga Yogyakarta, terjadi kerusuhan, Jogja aman-aman saja. Tapi, persepsi saya tentang Jogja adalah “Kota Damai” sejak saya tinggal 9 tahun lalu, tampaknya harus direvisi, melihat yang terjadi di Jogja akhir-akhir ini.
Ratusan massa pendukung capres-cawapres Prabowo-Hatta dengan massa pendukung Jokowi-JK, terlibat aksi saling lempar batu di perempatan Ngabean, Kota Yogyakarta
Kemarin, sekitar sore hari, terjadi bentrokan antara pendukung Capres Parabowo dan pendukung Capres Jokowi di Perempatan Ngabean, Yogyakarta. Sekitar pukul 16.00 wib, datang dari arah Jalan KH Ahmad Dahlan muncul konvoi pendukung Prabowo-Hatta dengan menggunakan atribut Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Sementara massa pendukung Jokowi-JK berkumpul di Jalan Letjen Suprapto dengan mengenakan atribut Partai Demokrasi Perjuangan Indonesia (PDIP). Keduanya kemudian bertemu di perempatan Ngabean. Bentrokan bermula saat kelompok pendukung Prabowo-Hatta baru saja pulang konvoi dari Bantul dan melintasi Jalan KH Ahmad Dahlan sambil membleyer-bleyer knalpot. Saat bersamaan di wilayah kota Jogja juga tengah berlangsung konvoi kesenian pendukung Jokowi-JK. Sejumlah orang yang mengenakan atribut Jokowi-JK pun mencegat di Jalan Letjen Suprapto (Utara Cavinton Hotel). Kedua kelompok itu akhirnya saling lempar batu tepat di Simpang Empat Ngabean. Kedua kelompok terlihat membawa sejumlah senjata tajam seperti pedang, batu, ketapel, besi dan bambu.
Lokasi bentrokan massa pendukung
Lokasi bentrokan simpatisan PDIP dan PPP
Lokasi bentrokan simpatisan PDIP dan PPP
Tidak hanya itu, satu jam setelah insiden itu, muncul bentrokan di wilayah Tegalrejo, Jogja. Sekelompok massa tidak dikenal, sekitar 100 orang, dengan menggunakan pakaian gelap dan membawa senjata tajam, batu, bambu dan senjata air softgun tanpa menggunakan salah satu atribut partai melakukan perusakan di pemukiman warga di kampung Sudagaran, Kelurahan Tegalrejo, sekitar Jalan Cokroaminoto. Massa tiba-tiba datang dan melakukan pelemparan ke rumah warga, beberapa motor yang diparkir di luar rumah juga dirusak. Akibat rentetan perbuatan anarkis tersebut, satu mobil rusak, belasan sepeda motor rusak parah, pagar, atap rumah dan kaca rumah rusak berat.
Kondisi di depan rumah warga usai diamuk massa tak dikenal
Dimana Kota Damaiku?
Saya tidak menyalahkan pilpres, tapi yang saya pertanyakan adalah, kenapa dua kubu bisa melaksanakan kegiatan dengan massa yang banyak di tempat dan waktu yang berdekatan? Dan kenapa dalam kegiatan tersebut, ada senjata tajam bahkan air softgun? Apakah aparat keamanan tidak menyisir massa sebelum melaksanakan kegiatan sehingga “benda-benda yang tidak diinginkan” bisa disingkirkan? Atau apakah atas nama demokrasi “benda-benda yang tidak diinginkan” tersebut tidak bisa disita sehingga warga harus jadi korban?
Masalah sita-menyita “benda-benda yang tidak diinginkan” sebelum melaksanakan kegiatan politik, saya sarankan aparat keamanan di Yogyakarta bisa mencontoh aparat keamanan di kota sebelah, Solo. Ketika aksi unjuk rasa mahasiswa asal Papua yang mendukung OPM akan melaksanakan aksi, aparat keamanan tidak menghalangi kegiatan tersebut, tapi menyita “benda-benda yang tidak diinginkan” seperti bendera OPM http://solorayaonline.com/2013/11/10/amp-gelar-demo-atribut-bintang-kejora-disita-petugas/ . Sehingga, demokrasi dengan hak menyuarakan aspirasinya tidak dilanggar tetapi hal-hal yang tidak diinginkan juga tidak terjadi. Mahasiswa Papua pendukung OPM juga pernah melaksanakan aksinya di Jogja. Tapi entah kenapa, bendera OPM bebas saja dibawa. Sebagai perbandingan dalam masalah ini, bagaimana apabila bendera separatis Irlandia Utara, IRA, berkibar di London misalnya. Atau lihatlah aparat Malaysia yang menangkap pengibar bendera Kesultanan Sulu di Sabah http://bm.malaysia-chronicle.com/index.php?option=com_k2&view=item&id=143102:lelaki-pasang-bendera-kesultanan-sulu-ditahan&Itemid=2#axzz35cZyEAdC
Aksi Mahasiswa Papua yang mendukung kegiatan OPM
(http://www.malanesia.com/2013/10/press-release-aliansi-mahasiswa-papua.html)
Manusia boleh merentangkan kedua tangannya dengan bebas, tapi ia tidak boleh mengganggu atau bahkan menyakiti manusia lainnya untuk merenggangkan tangannya juga. Posisi aparat keamanan adalah untuk menjaga agar semua orang bisa merenggangkan tangannya. Ini demi demokrasi, ini demi kota Jogja yang damai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H