Mohon tunggu...
Befinka figiel yonas
Befinka figiel yonas Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik UPNVJ

Menjadi bagian dari Masyarakat yang selalu siap untuk perubahan baik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menjual Isu Menggadai Nasionalis

9 November 2022   23:20 Diperbarui: 9 November 2022   23:26 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara etimologis, kata Nasionalisme berasal dari kata nationalism dan nation dalam bahasa Inggris. Dalam studi semantik kata nation tersebut berasal dari kata Latin yakni natio yang berakar pada kata nascor yang bermakna 'saya lahir', atau dari kata natus sum, yang berarti 'saya dilahirkan'. 

Secara terminology, Nasionalisme memiliki makna setia atau loyal terhadap Negara dan Bangsa dengan menyampingkan kepentingan individu dan kelompok(nya) dan lebih memprioritaskan kepentingan kepada Bangsa dan Negara itu sendiri. 

Secara konsep, Nasionalisme memiliki arti dan makna yang beragam, sebagai identitas budaya dan Bahasa, kulturnation dan staatnation, loyalitas dan keingingan menegakan Negara. Sederhananya Nasionalisme berarti memiliki sikap cinta dan bangga terhadap Bangsa dan Negara. 

Soekarno juga menegaskan bahwa Nasionalisme Indonesia bukanlah Nasionalisme yang bersifat Chauvinistik seperti Nasionalisme yang dicetuskan oleh Nazi Hitler atau Mussolini di Eropa, Soekarno berharap dasar nasionalisme Indonesia adalah kemanusiaan, bukan timbul dari Arogansi suatu Bangsa belaka.

Bangsa Indonesia jelas sebagian besarnya lahir dengan semangat dan sikap-sikap Nasionalis. Karena pasca Merdeka 1945 yang lalu, setiap masyarakatnya sejak kecil selalu diberikan cerita-cerita perjuangan Bangsa melawan penjajah untuk Kemerdekaan Indonesia, jelas hal itu membangun sebuah sikap cinta terhadap Bangsa dan Tanah Air. 

Sekarang, mencintai Tanah Air tidak melulu harus bertumpah darah dan memberi nyawa, menyumbangkan pikiran penuh inovasi nan kreatif juga bisa menjadi bentuk implementasi Nasionalisme, bahkan juga memberikan kritik dan penolakan atas kebijakan atau keputusan timpang dan cacat yang dilahirkan Pemerintah. 

Hal itu jelas menjadi wujud Nasionalisme, untuk mempertahankan stabilitas Bangsa dan menjaga keutuhan serta kesatuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dewasa ini, digitalisasi menjadi benturan cukup keras terhadap Ideologi Nasionalis. Hal-hal serba digital jelas mempermudah dan mempercepat penyebaran Informasi, digitalisasi juga memberikan kesempatan yang luas untuk menyebarkan hoax dan segala kebohongan lainnya. 

Apalagi banyak masyarakat Indonesia yang sangat mudah percaya terhadap hoax dan berita-berita palsu, karena tingkat literasi masyarakat Indonesia masih sangat amat rendah. 

Tahun-tahun politik menjelang Pemilu menjadi moment paling menegangkan bagi pesertanya, namun menjadi moment paling mengecewakan bagi masyarakat, karena jual beli isu di Media Sosial menjadi lumrah ketika perang kepentingan sedang berlangsung. 

Hardik dan fitnah menjadi bacaan sehari-sehari masyarakat, dianggap bodoh jika percaya dan ketinggalan berita ketika tidak percaya. Bahkan menurut beberapa studi dan penelitian, Agama menjadi barang paling laris yang diperjual belikan sebagai komoditas Politikus dalam mencari dan mendapat suara masyarakat. 

Hasilnya ya Politik Identitas, yang saat ini berhasil memecah Indonesia menjadi setidaknya tiga bagian. Islam kanan, Islam tengah, dan non-Islam. Pun masyarakat Indonesia yang beragama Islam merasa dilema atas pilihan yang tersaji.

Pemilu 2019 lalu berhasil memperkuat perpecahan Politik Identitas di Indonesia, mulai dari Cebong vs Kampret, dan berbagai macam golongan lain yang terlibat pada saat itu jelas menjadi saksi, bahwa menjual isu, apalagi isu agama menjadi senjata paling kuat dan penting untuk mengalahkan lawan sedarah dan setanah airnya. 

Entah fakta atau hoax tanpa data, semuanya muncul di media sosial. Kemana perginya sikap-sikap Nasionalisme yang kita milliki sejak lahir? Kenapa digadai demi kepentingan kelompok dan golongan sepihak?

Kredibilitas Negara dipertanyakan ketika Masyarakat mengalami krisis kepercayaan terhadap kebijakan Negara. Aktor-aktor yang memiliki kepentingan saling berlomba menyelesaikan masalah dengan menghadirkan masalah-masalah baru. Iklim Pemilu yang secara jeas menjadi sebab awal terjadinya perang kepentingan dan timbulnya Politik Identitas dengan Agama sebagai alat. 

Seharusnya Masyarakat memiliki kemampuan dalam memilah dan memisahkan antara Agama dan Negara, hal seperti ini hanya memunculkan berbagai macam polemik, yang mulanya mengaku Nasionalis dengan kepentingannya membangun Bangsa dan Negara, berakhir dengan merasa paling suci dan menghardik lawan politiknya, bukan dengan gagasan, melainkan isu, fitnah, hoax, bahkan ujaran kebencian. 

Pun Soekarno secara tegas menggambarkan Nasionalis sebagai nasionalisme kemanusiaan yang bukan timbul dari Arogansi suatu Bangsa belaka. Maka seharusnya hal itu bisa menjadi dorongan bagi kita sebagai Masyarakat, untuk mampu mengimplementasikan sikap-sikap Nasionalis yang sesuai dengan gagasan Bung Karno.

Menjadi hal yang lucu ketika perpecahan politik identitas ini juga menjadi suatu peluang untuk menutupi dan menyembunyikan ketidakmampuan dan kegagalan Negara (pemerintahan) yang berkuasa saat ini, dalam menangani isu-isu kenegaraan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat, perihal kesejahteraan yang sederhananya mencakup kesehatan, Pendidikan, dan ekonomi.

Kepentingan kelompok-kelompok elit yang menggunakan politik identitas untuk mengangkat kembali isu primordialisme dengan menjebak fanatisme seseorang atau kelompok dalam hal keagamaan, berhasil melahirkan perpecahan yang begitu besar dan menjadi ancaman bagi nasionalisme negara. 

Dimulai dari penyelenggaraan pemerintahan yang kotor hingga proses Pemilu yang cacat dan kotor akan selalu menjadi sebab perpecahan antara semangat Nasionalisme dengan Keagamaan di Indonesia. 

Pemilu harus hadir dengan bersih dan berkualitas, dengan pencerdasan yang tepat kepada Masyarakat, untuk tidak terjebak dalam segala bentuk hoax dan kebohongan yang ada selama proses Pemilu berlangsung, terkhusus di Media Sosial. Tidak membiarkan isu-isu berbau SARA, Hoax, dan kebohongan tersebar di Media Sosial juga menjadi kewajiban masyarakat untuk menjadi dewasa dan bertanggung jawab menghadapi era yang serba digital ini.

REFERENSI

Kohn, H. (1984). Nasionalisme: Arti dan Sejarahnya. Jakarta: Erlangga.

Anggraeni Kusumawardani & Faturochman, Nasionalisme, dalam Buletin Psikologi, Tahun XII, No.2, Desember 2004

Haboddin, M. (2012). Menguatnya Politiki Identitas di Ranah Lokal. Jurnal Studi Pemerintahan, Volume 3 nomor 1 Februari 2012, Hal 109-126

Harahap, FR. (2014). Politik Identitas Berbasis Agama. Prosiding Sosiologi Konflik dan Politik Identitas. Yogyakarta.

Tokan Pureklolon, T. 2019. "Neo Nasionalisme dan Revolusi Digital di Indonesia". 121-127

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun