Mohon tunggu...
Been Suyat Syam
Been Suyat Syam Mohon Tunggu... -

aku benci kemungkaran meski aku juga tak bedanya dengan mereka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Peringatan dari Desa

22 November 2013   15:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   04:48 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak dulu, selalu terlintas di benak ku bermacam-macam asa.  Saat pagi setengah samar datang, sementara  aku dan kakek, hampir setiap pagi, selepas subuh  selalu kompak di bawah pohon jambu di depan rumah ku yang sudah mengering akibat kemarau panjang. Di temani kopi khas 'Maskuning' yang selalu nenek persiapkan untuk kakek. Kopi ini di buat sendiri dari hasil panin di kebun samping rumah. Kata nenek, kopi ini ada campuran pete Cina agar ada aroma wangi nya yang khas, katanya. Mungkin ini alasan mengapa nenek selalu berkata bahwa ini kopi kebanggaan warga Maskuning sejak  dulu.

"Sudah Shalat?" tanya nya, di pelukan tangan kirinya tampak kakek sedang menggendong ayam jago yang sering ia pamerkan ke orang-orang, terutama tetangga sebelah. "Sudah, kek." Jawabku. Sementara aku tak sedikitpun memberikan kesempatan untuk angin pagi yang tajam nan dingin di pagi itu. Sesekali gigiku menggigil tak karuan.

Di saat-saat seperti ini biasanya kakek memberikan pelajaran berharga kepadaku. "tengoklah orang-orang itu" ucapnya kakek seperti memperlihatkan aku sesuatu. Kulihatnya, di ujunga mata melihat tepat di kaki gunung Pakisan sebelah timur dari rumah kami. Di sana tampak sebaris laki-laki berperalatan lengkap dan gagah di bahu mereka masing-masing. "mereka siapa?" Tanyaku, penasaran. Aku yang waktu duduk di kelas lima SD (Sekolah Dasar) tak paham dengan kakek.

Wajah kakek yang beringas mengeriput berkata-kata bebas tak terkira-kira. Tak jarang ku lihat wajah kakek yang berubah-ubah penuh emosional. "Mereka itu pejuang" sahutnya "Pejuang?" tanyaku. "Ia" jawab kakek.  Seruputan kopi Khas itu sesekali keras terdengar dari mulut kakek. Sambil mengangguk kakek meyakinkan aku, sementara menunggu penjelasan kakek, aku tambah kopi di gelas  yang ia pegang itu. Terimakasih Cong.

Akibat pertanyaan ku itu, mulailah kakek menjelaskan panjang lebar mengenai mereka. Tak satupun ku pahami, kecuali bahasa-bahasa yang sederhana saja yang bisa ku petik dan dapat ku mengerti. Selebihnya, aku menganggap itu semua pandangan sekilas seorang kakek tua yang menggebu-gebu akibat tidak sering membaca menurutku. Bagaimana tidak kekekku penjual dan pembeli ayam di pasar. Entahlah, mungkin semua itu kakek dapat dari perbincangan dengan kawan-kawan sesama penjual ayam di pasar. Di ujung pembicaraannya ku dengar sayup sayup suara kakek, “Ingat cong! mereka pejuang perekonomian Negara” tangannya menunjuk nunjuk mereka para petani itu, “bertani, bercocok tanam adalah keahlian yang jarang masyarakat kota miliki, jadilah kamu pejuang dengan kemampuan mu sendiri. Carilah olehmu kelak pengetahuan dan cara yang benar untuk mengabdi kepada negara” katanya ayang tak kupahami.

Berasal dari kata Kacong Sebutan orang tua terhadap anak-anak (bahasa madura)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun