Permohonan pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI terpilih Fraksi PDI Perjuangan berujung pada terjaring operasi tangkap tangan (OTT) komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Wahyu Setiawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dalam kasus OTT ini, Wahyu Setiawan berupaya membantu memuluskan jalan Harun Masiku untuk duduk sebagai anggota DPR RI menggantikan Riezky Aprilia melalui mekanisme PAW.
Hasil Pemilu Legislatif (Pileg) calon anggota DPR RI Dapil I Sumatera Selatan (Sumsel) 2019 lalu menempatkan Harun Masiku pada posisi keenam dengan perolehan suara 5.878. Adapun posisi pertama hingga kelima ditempatkan oleh Nazarudin Kiemas (145.752 suara), Riezky Aprilia (44.402 suara), Darmadi Jurfri (26.103 suara), Doddy Julianto S. (19.776 suara), dan Diah Okta Sari (13.310 suara).
Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (PKPU RI) Nomor 6 Tahun 2017 tentang Penggantian Antarwaktu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan Kota atau Kabupaten, Pasal 9 menjelaskan bahwa anggota DPR, DPRD Provinsi, dan Kota/Kabupaten yang dimaksud Pasal 5 (meninggal dunia, mengundurkan diri, dan diberhentikan), digantikan oleh calon yang memperoleh suara sah terbanyak urutan berikutnya dari Partai Politik dan Dapil yang sama.
Berdasarkan PKPU RI di atas, yang berhak menggantikan Nazarudin Kiemas (meninggal dunia) adalah Riezky Aprilia. Begitu pula, apabila Riezky Aprilia juga ingin digantikan, maka yang berhak mendapat jatah PAW, yaitu Darmadi Jufri. Lalu, jika Darmadi Jufri di PAW, maka yang berhak menggantikan Doddy Julianto S., seterusnya dan seterusnya hingga sampai pada Harun Masiku.
Namun pada kenyataannya, PDI Perjuangan tetap bersikeras ingin melakukan PAW anggota DPR RI terpilih Riezky Aprilia ke Harun Masiku. Sikap tersebut diperlihatkan melalui surat permohonan PAW yang dilayangkan oleh pengurus PDI Perjuangan ke KPU Pusat sebanyak tiga kali. Dan KPU membalas surat tersebut dengan tidak bisa mengabulkan permohonan PDI Perjuangan karena Harun Masiku tidak memenuhi syarat untuk menjadi PAW.
Tidak puas dengan surat penolakan, Megawati dan Hasto selaku Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan memberikan perintah kepada kadernya, Harun Masiku untuk terus menggempur pertahanan KPU melalui cara apapun, termasuk memberi uang suap. Cara tidak terpuji ini menunjukkan kepada masyarakat, bahwa Partai penguasa selalu berusaha untuk menggampangkan sebuah urusan dengan uang atau bahasa lain "Ada Pulus Jalan Mulus".
Seperti diketahui, Ketua DPR RI, Puan Maharani dan Presiden RI, Joko Widodo merupakan kader yang berasal dari PDI Perjuangan. Menduduki dua jabatan yang sangat begitu penting di Pemerintahan, wajar kalau PDI Perjuangan disebut sebagai Partai penguasa. Tapi apakah Partai penguasa selalu menggunakan cara tidak terpuji kala keinginannya tidak terpenuhi? Tidak semua Partai seperti itu, kalau dilihat dari data ICW (Indonesia Corruption Watch), Partai penyumbang koruptor terbanyak, yaitu PDI Perjuangan dan Golkar, kedua Partai ini merupakan Partai penguasa di Indonesia.
Kembali ke persoalan Harun Masiku, keterlibatan petinggi PDI Perjuangan dalam kasus suap komisioner KPU, Wahyu Setiawan seharusnya membuka mata dan hati seluruh masyarakat Indonesia, Partai yang tidak mendidik kadernya dengan baik, sudah sepatutnya dikenakan sanksi sosial bahkan kalau perlu ditenggelamkan.Â
Apabila perkaderan yang seperti ini terus mengakar, maka akan dapat membahayakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Jadi, masihkah kita mau memilih kader dan Partai yang kaya begitu? Jawabannya ada di kita sendiri dan jawaban kita menentukan kemajuan NKRI.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H