Pergantian Kabinet Kerja yang dilakukan Presiden Joko Widodo menyisakan tanda tanya. Setidaknya pertanyaan itu mengalir ke hp saya. Pertanyaan berasal dari para guru, pemerhati pendidikan, pelaku usaha, media, jurnalis, PR, dan kolega-kolega saya, baik di kota besar, di Jawa, luar Jawa, hingga dari desa-desa kecil di ujung-ujung negeri.Â
Pertanyaan mereka umumnya sama. Misalnya datang dari seorang guru di sebuah desa kecil di Lamongan. Ia menanyakan mengapa Menteri Pendidikan Anies Baswedan diganti. Pertanyaan mereka lebih mirip sebuah gugatan daripada pertanyaan biasa. Mereka seolah tak bisa menerima keputusan Presiden Jokowi.Â
Gugatan mereka terasa memiliki landasan yang begitu kuat hingga sisi yang lebih emosional. Dalam pandangan mereka, Anies Baswedan (AB) dianggap telah merepresentasikan ekspektasi dan tujuan mereka dalam mengelola pendidikan, meningkatkan kompetensi, profesionalitas dan kesejahteraan guru, dan merawat investasi generasi bangsa: mulai dari keluarga, sekolah, dan lingkungannya.Â
AB meramunya dengan memilih pendekatan kombinasi komunitas-formal-global sebagai arus utama pendidikan abad 21. Tata kelola pendidikan dilakukan dengan menumbuhkan ekosistem pendidikan untuk menciptakan (baca: mencapai) insan kamil yang berilmu dan berkarakter. Inilah sejatinya pendidikan 3.0. Model tata kelola pendidikan Baswedan 3.0.Â
Tak heran, kinerjanya sebagai Menteri mengikuti grafik 45. Grafik yang jika ditarik garis membentuk sudut 45 derajat. Tetap naik positif secara konsisten dan presisten, membirukan satu per satu rapor merah pendidikan. Rapor yang di awal ia menjabat sudah dideklarasikan sebagai "musuh utama" pendidikan dan kementerian yang dipimpinnya.Â
Model gebrakannya berbeda dengan Susi Pudjiastuti, Menteri KKP, yang datang langsung bermusuhan dan membuat aksi menenggelamkan kapal. AB memilih jalan tengah dalam kebijakan kurikulum 2013 yang kontroversial. AB juga mengambil win-win solution dalam gugatan Stop Ujian Nasional. Secara substansi mengakomodasi gerakan stop UN, tetapi ujian tetap dilaksanakan. Caranya dengan menggeser fungsi dan menanggalkan UN sebagai algojo kelulusan siswa.Â
"Jalan sutera" yang diambilnya sejauh ini belum menuai kritik berarti. Para pengamat pendidikan, para guru, siswa, dan NGO dalam dan luar negeri justru menjadi partner penting Kementerian dalam menentukan kebijakan. Itulah hakikat ekosistem pendidikan karena masalah pendidikan terlalu gegabah dan angkuh jika hanya dipikul Kementerian sendirian.Â
Malam, saat dalam perjalanan pulang kerja, saya mendengarkan wwancara di radio bersama pengamat politik. Satu-satunya alasan Jokowi memberhentikan AB adalah "Jokowi tak ingin memelihara "macan" dalam pemerintahannya sebab Anies bisa berpotensi menjadi lawannya dalam pemilu presiden 2019."Â
Analisis ini bukan tanpa alasan. Jokowi memang ingin menuntaskan misi politiknya untuk lima tahun kedua. Tak boleh ada batu sandungan atau kerikil yang mengganggunya. Tak boleh juga ada rival politik yang menyainginya yang bisa mengganjal langkahnya kelak.Â
Melihat situasi ini, saya semakin yakin dan percaya, "baju" AB memang terlalu kekecilan di Kementerian. Ia perlu "baju" yang lebih besar dengan kewenangan yang lebih kuat dan memadai, untuk mengurus Republik ini.
Selamat Bung...Anda diberi kesempatan dan waktu untuk bertemu lebih dekat dengan seluruh rakyat Indonesia dan memimpinnya. (habe arifin)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H