Mohon tunggu...
Djono Bedjo
Djono Bedjo Mohon Tunggu... -

AKU HANYALAH WAKTU, YANG TERANG KETIKA DATANG, DAN TAK PERNAH PERGI MESKI KAU TAK PEDULI. AKU HANYALAH WAKTU, YANG TETAP SETIA MENUNGGUMU, MESKI KAU BERSEKUTU DENGAN APAPUN. AKU HANYALAH WAKTU DAN KAU TAK AKAN BISA BERLARI DARIKU. (Djono Bedjo Subroto)

Selanjutnya

Tutup

Otomotif Pilihan

Surat Terbuka Untuk Ahok

25 Februari 2015   12:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:32 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah dinobatkan sebagai kota tidak aman, Ibu Kota Jakarta mendapat predikat sebagai kota paling macet di seantero jagat. Sebagai warga Jakarta, predikat ini memang semestinya diberikan. Sangat rasional. Perjalanan pergi pulang, pagi, setengah siang, siang, setengah sore, petang, malam, bahkan tengah malam dan dini hari, kemacetan masih terjadi.

Dini hari kok macet? Ya, anak-anak balapan motor liar mencegat dan menutup jalan. Mereka bisa dijumpai di banyak tempat, baik di Jakarta Barat, Selatan, Timur dan Utara. Jalan Raya Buncit (Mampang-Pejaten) sering kali menjadi ajang balapan motor liar. Begitu pula kawasan Fatmawati ke arah Lebak Bulus-Pondok Indah.

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok seolah tidur mendengkur di kursinya. Jika bangun, ia memanggil wartawan dan berteriak-teriak. Lalu, ia tidur lagi. Berulang kali ia seolah mimpi buruk lalu memanggil wartawan dan ia kembali marah-marah. Ia seperti ada tapi faktanya absen. Ia seolah Gubernur DKI Jakarta tapi seolah cuma pigura di ruang kelas sekolah.

Ke mana Ahok? Kita hanya melihatnya di televisi atau membacanya di koran. Ia tidak hadir di sepanjang jalan MH Thamrin hingga Sudirman yang rusak parah karena pengerjaan MRT. Sudah tahu di tengah jalan itu akan dibangun MRT, tetapi semestinya di kiri kanannya tak boleh ada jalan bergelombang dan ancur-ancuran.

Jelas di situ ada proyek. Lebar jalan berkurang. Dengan volumen kendaraan yang begitu tinggi, sudah bisa ditebak: macet. Logika waras itu mestinya dilihat Ahok dengan cara menciptakan jalanan mulus di kanan kirinya: bukan jalan rusak atau bergelombang. Jalan rusak makin memperparah kemacetan.

Desain "merusak" jalan itu pun terjadi pada hampir semua proyek pembangunan jalan-jalan Ibu Kota. Salah satunya bisa ditemui di Permata Hijau. Di kawasan ini sedang dibangun jalan tembus untuk menghindari kemacetan arus dari Senayan (Gelora) ke arah Jalan Panjang-Pos Pengumben. Lagi-lagi kita temui di kanan kiri proyek jalanan berlubang: cukup parah.

Ahok juga absen di hampir semua kemacetan rutin yang terjadi di Ibu Kota. Termasuk di ruas tol Jagorawi -Semanggi yang hampir saban hari macet. Juga jalan tol ke arah bandara, terutama dari pintu tol Kemayoran. Tak ada jalan yang tak dilalui vampir kemacetan. Terbanglah ke langit Jakarta di pagi atau sore-malam hari, kita akan melihat "ular merah" kekenyangan.

Sedikit kita bicarakan kerugian material, imaterial, dan potensi kebuntungan publik. Dari segi kesehatan, polusi dan stress merupakan ancaman nomor wahid penduduk DKI dan pelalu lintas yang hilir mudik dari Depok, Bogor, Bekasi, Tangerang ke Jakarta. Dari energi, berapa juta liter bisa kita hemat jika kita mampu mengurangi kemacetan. Kita rugi trilyunan rupiah per tahun dan kita menciptakan masyarakat stress. Ahok, sekali lagi, seolah sedang tidur panjang dan wartawan masih saja memasang fotonya, mengutip celometannya dan memutar rekaman video kemarahannya berulang kali.

Ketika ditahbiskan sebagai kota termacet di dunia, Ahok juga tak terlihat melakukan apa-apa. Tak ada terobosan apapun yang dikerjakan Ahok. Ia hanya mewarisi gagasan, ide, dan kerja keras pendahulunya. Bus Transjakarta yang dipercaya sedikit memecah kemacetan  digagas Bang Yos, bukan Ahok. Ahok hanya bisa bersiteru dengan pengelola rencana Monorail dan bukan mencari solusinya.

Kini, kawasan Monas juga dijejali motor mini yang disewakan ke pengunjung. Rupanya Ahok masih belum puas mengasapi warganya setiap hari dengan kemacetan. Ahok juga masih sempat menebar polusi dan kebisingan di Monas pada akhir pekan. Satpol PP disuruh merazia pedagang tapi tidak untuk penebar asap. Hehh..!!

Andai Ahok mau, kawasan Monas bisa menjadi sentral pengelolaan "eco transport" yang aman, nyaman, dan mampu mengurai sedikit  kemacetan Ibu Kota. Monas menjadi titik sentral yang menghubungkan seluruh "space eco transport" di  stasiun, halte busway dan pusat perkantoran dan belanja.

Konsepnya sederhana saja, yakni menggunakan sepeda untuk perjalanan dari stasiun ke kantor, stasiun ke Monas, Monas ke  mall, kantor ke kantor, dan halte busway. Masyarakat dapat menggunakan sepeda di mana saja dan kapan saja, dengan secuil aturan. Masyarakat cukup menyewa sepeda tersebut dengan rupiah tak lebih besar dari harga parkir mobil dan tak perlu mengembalikannya ke tempat asal. Cukup diletakkan di tempat parkir yang sudah disediakan di sejumlah titik yang ditentukan.

Ini gagasan kecil yang konsepnya secara sederhana sudah dipraktikkan oleh Pertamina Foundation dalam program Eco Transport Sobat Bumi yang diselenggarakan di tiga  provinsi; Jawa Barat, Jawa Timur, dan Bali.

Perkumpulan Sepeda Sekolah Indonesia menggagas program ini dengan nama bike sharing program. Program ini dilakukan untuk menciptakan sebuah gerakan yang langsung melibatkan peran serta masyarakat untuk mengatasi "budaya baru remaja" bernama: Geng Motor. Inti eco transport adalah berjalan kaki, bersepeda, dan public transport. Ahok mesti membuat ketiganya berjalan masif.

Di situlah sejatinya kehadiran seorang Gubernur: yakni bersama-sama berinteraksi dengan masyarakat. Bukan ceplas-ceplos, marah-marah, dan menyalahkan orang lain lewat televisi dan koran. Tanpa kehadiran dan keterlibatan  masyarakat, sebuah gagasan akan aus, berkarat dan mati.

Ahok perlu rakyat. Ajak mereka memiliki Jakarta. Ajak rakyat mengurus DKI Jakarta. Ajak semua kelompok membicarakan dan beraksi untuk Jakarta.

Kita  perlu kepemilikan. Jakarta milik kita.   Jalan-jalan milik kita. Kita perlu simbol perjuangan atau perlawanan agar revolusi tak memakan anak-anaknya sendiri. Ayo berjuang Bro Ahok...!!

(Djono Bedjo Subroto/Djono BS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun