Mohon tunggu...
Nova Warsito
Nova Warsito Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis untuk kenang-kenangan di masa depan :)

Melupakan yang sudah seharusnya, mengingat yang secukupnya. -novaw

Selanjutnya

Tutup

Trip Pilihan

"Wisata di Papua Sepertinya Terlalu Mahal"

2 Agustus 2019   14:56 Diperbarui: 2 Agustus 2019   15:45 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

"Adoh .... Mama lihat, 

Sa pu hati,

Su tenggelam,

Di dasar pasir, di laut biru, di Papua ...." 

Sepenggal lirik lagu Pacenogei dengan judul Tatitinggal di Papua.

Mendengarkan dan mendalami kata-kata pada lagu ini mengembalikan kenangan nirwana alam di dalam pikiran saya. Musik dengan tempo yang cepat ini membawa saya kembali dalam nostalgia masa kecil di Sorong, Papua. "Soren" merupakan bahasa Biak yang memiliki arti laut yang dalam dan bergelombang, sekarang disebut sebagai sorong. Kota Sorong sekarang lebih dikenal sebagai Kota Wisata, yang mana lebih tepatnya sebagai pintu gerbang untuk menuju ke wilayah pariwisata di Raja Ampat. Kata banyak orang yang saya jumpai di pulau Jawa, liburan ke Raja Ampat hanya bisa dilakoni oleh kaum elite, yang biasanya dibayangkan adalah para bule-bule, manusia kota metropolitan dan jajarannya. Sepertinya liburan wisata Raja Ampat memiliki nilai yang tinggi, tepatnya lagi saya tekankan adalah biaya.

Rasanya merinding melihat beberapa situs yang menyediakan jasa berlayar di wilayah kepulauan Raja Ampat, harganya fantastis boombastis. Berlayar dengan kapal mengelilingi indahnya kawasan Misool sepertinya mengocek dana yang setara satu unit rumah bantuan pemerintah. Hal ini sedikit menggelitik hati kecil saya. Lalu, bagaimana dengan wisata di Kota Sorong sendiri? Perlukah kita mengeluarkan uang yang banyak untuk dapat menikmati laut yang bersih? Sebagai seorang mahasiswa dengan tabungan jumlah pas-pasan, saya masih dapat menemukan tempat wisata yang menarik di wilayah daratan Sorong.

Wisata pada dasarnya merupakan kegiatan yang menyenangkan dan positif.  Kegiatan berwisata bersama orang-orang terdekat membangun perasaan yang menyenangkan, membangun relasi terhadap kawan, dan menjadi obat kejenuhan dari rutinitas sehari-hari. Di tahun 2000-2006 Tembok Berlin (sekarang menjadi area yang di reklamasi) menjadi tempat favorit untuk dapat menikmati terbenamnya matahari. Suasana yang sejuk masih dapat dirasakan saat itu. Sangatlah berbeda ketika memasuki tahun 2013, Tembok Berlin berubah menjadi penuh dengan beragam warna kantong plastik dari bungkus makanan, botol plastik, sterefoam dan masih banyak lagi yang lainnya. Ada pun kabar burung yang beredar saat itu adalah limbah rumah sakit berakhir di kawasan Tembok Berlin, dan seketika itu eksistensi dari wisata sore hari atau mingsor (minggu sore) di sepanjang Tembok Berlin mulai memudar.

Saya tidak bersedih ketika harus kehilangan tempat masa kecil saya yang sekarang dijadikan area reklamasi. Saya merasa cukup puas menikmati pemandangan laut di kota Sorong, atau lebih tepatnya mulai timbul perasaan jenuh dengan bermain di laut. Dari perasaan jenuh tersebut, dari dalam diri saya timbullah keinginan untuk menemukan tempat-tempat baru sebagai tujuan di akhir pekan yang tidak harus bertemakan "pantai". Akhirnya lagi-lagi kecanggihan teknologi komunikasi jaman now, membantu banyak lokasi wisata yang dulunya hidden berubah menjadi hitz. Kemampuan media sosial memberikan peluang yang cukup besar bagi bidang pariwisata, sebagai bentuk dari advertising. Penggunaan media sosial yang dapat dijangkau oleh berbagai kalangan di masyarakat, membangun sebuah gaya hidup baru yang digandrungi.

Eksistensi dari wisata baru seperti Bukit Petik Bintang, Danau Framu, Danau Uter dan lainnya menjadi memiliki nilai tersendiri. Ada perasaan senang tersendiri, yang ditemukan dengan berkegiatan ke wilayah alam. Pengalaman yang paling penulis rasakan adalah kembali dapat menikmati pemandangan alam selain laut. Perasaan kecewa akibat Tembok Berlin direklamasi sepertinya pelan-pelan memudar.

Banyak wisata alam yang ditawarkan di Kabupaten Sorong untuk bisa dijajaki. Meskipun begitu tidak dapat dipungkiri bahwa dibutuhkan perjalanan dengan waktu yang panjang untuk menikmati alam tersebut. Namun, jangan dulu berkecil hati, setidaknya biaya yang dikeluarkan tidak sebesar biaya trip ala-ala bule di Misool.

Meskipun alam di Kota/Kabupaten Sorong memberikan keindahan dan kesejukan mata dan batiniah, tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pemerintah dan masyarakat dalam mengelola kawasan wisata. Menurut UU. Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan disebutkan bahwa pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah. Selain tugas mengelola, saran dan kritik masyarakat umum dapat menjadi suara untuk melakukan studi kelayakan potensi wisata.

Nah, hal ini yang sering dilewatkan oleh pemerintah dan pengusaha yang menciptakan ruang wisata. Misalkan saja Danau Framu yang berada di daerah Maybrat, untuk mencapai ke Maybrat dibutuhkan waktu tempuh kurang lebih lima jam. Namun,ibaratkan kita mendengarkan suara musik tanpa mengetahui sumbernya, tidak ada sama sekali plang atau arah tanda jalan yang menuju ke lokasi tersebut. Saya dan teman-teman mengalami hal tersebut, yang mana kami harus bertanya kepada warga setempat untuk arah ke lokasi Wisata Danau Framu.

Dari skala 1 sampai dengan 10, saya akan memberikan nilai 8 untuk pentingnya studi kelayakan tempat wisata yang ada di Kota/Kab. Sorong. Studi kelayakan memiliki magic strategi untuk melihat peluang apa saja yang diperoleh dari keindahan alam yang dimiliki oleh Tanah Papua Barat. Tidak sekedar menciptakan kawasan wisata tanpa memperhitungkan pengelolaan alam dan perencanaan matang terhadap infrastruktur jalan serta fasilitas umum.

Diperlukan juga sumber daya manusia yang mendukung keberlangsungan kegiatan kepariwisataan tersebut agar lebih terstruktur. Sepertinya jabaran yang diberikan penulis terlalu bertele-tele. Bagi penulis tulisan ini adalah bentuk harapan kepada wisata alam baru, yang lebih tertata dan diperhatikan oleh pemerintah daerah dan masyarakat. Kalau ditanya sebagai masyarakat kita bisa apa? Jawabannya kita bisa melakukan banyak hal.

Salah satunya adalah menjaga lingkungan, dengan tidak meninggalkan jejak sampah dan hajat di kawasan wisata. Bawalah kembali sampah makanan dan minuman dan buanglah pada tempah sampah (mengingat sebagian besar wisata alam pantai, gunung, dll tidak memiliki tempat sampah). Hal kecil positif yang kita lakukan baik kepada sesama manusia dan kepada alam akan memberikan kebaikan terhadap diri kita sendiri.

Jadi, kembali ke laptop! Ingin jalan-jalan menghilangkan stress pekerjaan, stress kuliah, stress belum ketemu jodoh sepertinya akan tereduksi dengan melakukan perjalanan wisata alam. Sekali lagi saya bukan menuntun ke jalan sesat, jangan tergiur dengan keindahan bawah laut di Raja Ampat kalau main ke sana masih takut dengan teriknya matahari, apalagi takut untuk menyelam (sama dengan membuang waktu, tenaga, dan uang). Kalau hanya sekedar menghilangkan suntuk dan kebosanan, luangkanlah waktu untuk bermain ke indahnya danau-danau di Maybrat, bisa juga mengunjungi tempat permandian air panas di kawasan kilo, atau melihat sunrise di Bukit Petik Bintang. Wisata alam di Sorong tidak akan ada habisnya, jadi jangan biarkan impian untuk bertamasya ria hanya menjadi utopis belaka.

 

"Cerita dia pu sungai yang deras....

cerita dia pu hutan yang luas... 

 

tempat matahari selalu menyanyi....

tempat cendrawasih selalu menari.... ". 

Oleh Pacenogei

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun