Mohon tunggu...
MH Syauqi Adnan
MH Syauqi Adnan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Pemimpi layaknya Bung Karno

Selanjutnya

Tutup

Politik

Antara Pemilu, Kaum Muda, dan Media Sosial

4 Desember 2023   16:43 Diperbarui: 4 Desember 2023   16:53 111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hasil survei We are social, agensi yang bergerak dibidang olah data dan industri kreatif mengemukakan pengguna media sosial di Indonesia pada 2023 berjumlah 126 juta dengan sebaran: kelompok usia 13-34 tahun 95%, diikuti kelompok usia 35-55 ke atas 80% dan usia <13 tahun sebesar 60% (survei berdasar populasi perkelompok oleh APJII 2022). Dengan semakin besar dan pesatnya pengguna media sosial di Indonesia, tentunya akan sangat berdampak pada pola interaksi sosial bermasyarakat dan bernegara (demokrasi, birokrasi, pelayanan dan kebijakan publik). Jika dikaitkan dengan pesta demokrasi seperti sekarang ini maka potensi media sosial dan penggunanya yang mayoritas adalah kelompok usia muda menjadi sasaran embuk eksploitasi para calon/parpol rentan terjadi.

Generasi muda; sasaran empuk?

Menurut KPU pemilu 2024 akan diramaikan oleh 204 juta pemilih yang 50%-nya merupakan pemilih muda (20-35 tahun) dan sekitar 40% dari pemilih muda merupakan pemilih pemula pada pemilu 2024. Dari jumlah ini muncul kaidah bahwa siapa yang ingin memenangi pemilu harus bisa mendapatkan suara kaum muda dan pemula ini. 

Dalam banyak studi, generasi muda kerap dilabeli sebagai kelompok yang apatis terhadap politik. Padahal jika ditelaah lebih dalam apatisme ini bukan pada "zat" politiknya tetapi pada proses, struktur dan keadaan politik nasional saat ini membuat kaum muda merasa kecewa dan jenuh hingga sampai pada kesimpulan harus bersikap apatis. Cara berpikir kaum muda yang cenderung kritis ini harusnya mampu diwadahi oleh parpol sebagai agensi penyelenggara negara (legislatif, kepala daerah, presiden/wakil presiden). Jangan sampai wadah yang ada justru dikebiri serta dimanfaatkan demi kepuasan dan kepentingan golongan tertentu.

Dari sifat apatis ini, sebetulnya memunculkan dua kemungkinan negatif; pertama, suara kaum muda rentan dieksploitasi oleh para calon/parpol, sehingga para calon/parpol berpikir instan bagaimana mengaet suara kaum muda semaksimal mungkin. Salah satu caranya adalah all out berkamuflase berpakaian, berbicara, bermedia sosial, dan berselera musik seolah mereka baru lahir pada era Gen Z. Kenyataanya cara tersebut sebatas gimik politik semata dan yang sangat disayangkan mereka justru melupakan pembicaraan mendasar terkait nilai, ideologi, visi-misi, gagasan dan komitmen perjuangan dalam menjalankan bangsa dan negara ini, yang sebetulnya sangat diinginkan generasi muda. Meskipun ada pengecualian, gimik politik ini bisa dipastikan menghipnotis banyak kaum muda untuk memberikan suaranya dengan mudah tanpa melakukan pengecekan mendalam pada muatan kampanye para calon/parpol tertentu. 

Kedua, potensi golput yang sia-sia. Kita tahu bahwa menjadi golput adalah hak dan dijamin oleh konstitusi. Namun anggapan kaum muda bahwa golput bisa menghentikan proses pemilu, nyatanya salah besar (golput berpengaruh pada kasus pemilu melawan kotak kosong). Dengan menjadi golput, kita memang tidak memberikan suara pada calon/parpol tertentu, namun itu tidak mencegah calon/parpol tertentu mendapatkan suara karena sistem penghitungan oleh KPU adalah menghitung suara yang masuk, dan bukan mempresentasekan DPT dengan jumlah suara masuk. Akhirnya niat kita yang semula ingin mencegah keterpilihan justru berakhir sia-sia. Maka yang lebih baik dan bijak dari sekedar golput adalah memberikan suara kita pada calon/parpol tertentu yang mewakili kepentingan dan sesuai hari nurani kita.    

Memainkan media sosial

Di tengah arus kemajuan zaman, pola kampanye yang semula hanya berorientasi pada massa dunia nyata, pelan tapi pasti mulai merambah pada massa dunia maya melalui media sosial. Dengan berkampanye melalui media sosial, jangkauan yang bisa diraih meningkat drastis. Bahkan dengan teknologi olah data yang ada, kampanye melalui media sosial jauh lebih menguntungkan karena lebih terarah, langsung, dan berbiaya murah. Dengan alasan tersebut para calon/parpol berlomba-lomba menguasai media sosial dengan segala cara yang berimbas pada munculnya cara-cara negatif. Beberapa di antaranya dan patut kita waspadai: pertama, black campaign yang dilakukan secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) sangat membahayakan. Kenapa? Karena pada akhirnya media sosial yang kita anggap sebagai sumber informasi alternatif justru memberikan distorsi informasi. Semakin menjadi masalah ketika banyak di antara kita lebih memilih media sosial satu-satunya sumber informasi sehingga membuat segala informasi yang mengandung black campaign sangat mudah diterima dan ditelan mentah-mentah. Kedua, dengan kecanggihan teknologi informasi dan olah data, memungkinan informasi yang tersedia pada media sosial kita telah dibatasi sesuai preferensi kita sebagai penguna. Jika apa yang disajikan benar sudah tentu menjadi nilai tambah, namun jika yang disajikan kebohongan justru menjerumuskan kita pada fanatisme.

Yang paling berbahaya dari fenomena ini yakni memunculkan demokrasi perasaan (democracy of fellings), yaitu ketika informasi yang tersaji terbatas pada satu prespektif dan dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama, dianggap akal sebagai kebenaran mutlak sehingga distimulasi menjadi perasaan yang terekspresikan. Akibatnya ketika datang prespektif lain sebagai fakta, akal kesulitan menerimanya sebagai prespektif pengganti. Dengan kata lain memanipulasi fakta sedemikian rupa untuk memberikan dampak emosional yang serius pada penggunanya dan ini sangat berbahaya.

Apa yang harus generasi muda lakukan?

Yang paling utama, kita sebagai generasi muda harus memposisikan diri sebagai generasi yang kritis dalam segala hal. Sebagai langkah awal kita perlu merumuskan apa yang terbaik bagi bangsa dan negara ini baik dari kacamata kita sebagai generasi muda atau warga negara. Setelah itu barulah kita sesuaikan rumusan tadi dengan visi-misi, gagasan dan komitmen para calon/parpol yang bertarung dalam pemilu. Kemudian lakukan verifikasi mendalam terhadap segala informasi dan rekam jejak terkait para calon/parpol. Rekam jejak di sini bukan hanya sebatas ada atau tidaknya pelanggaran pidana, melainkan menyeluruh pada kinerja, ideologi politik, hubungan masyarakat, hubungan internasional, dan hubungan bisnis yang sekiranya akan berpotensi mempengaruhi kebijakan mereka ketika berkuasa. Jika semua data yang ada telah terverifikasi sahih, hal tersebut akan menghindarkan kita dari informasi bohong dan fanatisme.

Selain mencari informasi untuk kebutuhan pribadi, dalam konteks pemilu generasi muda juga harus aktif menjadi produsen informasi dan menyebarluaskannya melalui media sosial sehingga ruang yang ada tidak hanya dipenuhi oleh informasi destruktif dan manipulatif. Harapannya dengan masifnya informasi yang berbasis fakta, mampu mencegah terjadinya autokrat informasi pada para calon/parpol peserta pemilu dan berimbas positif bagi kita sebagai warga negara.

 

       

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun