Mohon tunggu...
MH Syauqi Adnan
MH Syauqi Adnan Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Pemimpi layaknya Bung Karno

Selanjutnya

Tutup

Hukum

MKMK (Mahkamah Konstitusi Mau ke Mana?)

19 Oktober 2023   16:11 Diperbarui: 19 Oktober 2023   16:14 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gedung MK (Foto: 20detik)

Pada sidang pleno pembacaan putusan di Mahkamah Konstitusi, Senin 16 Oktober 2023, publik dibuat terkejut. Pasalnya pagi hari ketika 3 putusan terkait uji materi pasal 169 huruf q UU 7/2017 tentang Pemilu (perkara gelombang pertama bernomor 29,51,55) dibacakan, Mahkamah secara mantap dan penuh kepastian sepakat bahwa norma yang terkandung dalam pasal tersebut merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) sehingga pengaturanya dikembalikan pada pembuat norma (DPR dan Pemerintah) melalui mekanisme legislatif review. 

Namun pada sore harinya, saat pembacaan putusan bernomor 90/PUU-XXI/2023 (permohonan gelombang kedua, bersamaan dengan nomor 91, 92) dengan UU yang sama namun sedikit perbedaan dalam pokok permohonan, Mahkamah justru mengabulkannya. sontak semua bingung, kecewa dan marah, sebab MK yang seharunya menjadi pelindung konstitusi (the guardian of constitution) malah menyimpangi tugas tersebut.

Penuh Ketidakjelasan

Menuju pemilu presiden dan wakil presiden 2024, MK banyak menerima permohonan terkait aturan pemilu, satu di antaranya adalah permohonan terkait pasal 169 huruf q UU No. 7/2017 tentang persyaratan calon presiden dan wakil presiden. 

Terdapat 6 permohonan yang secara garis besar terbagi 2 kategori: 1)Permohonan inkonstitusional pasal 169 huruf q sehingga persyaratan umur minimum menjadi 35 tahun atau 21 tahun (bernomor 29,91,92); 2)Permohonan penambahan frasa sebagai penyelenggara negara atau kepala daerah (bernomor 51,55,90). 

Pertimbangan hukum Mahkamah dalam memutus permohonan 29, 51 dan 55 jelas dan cukup berkesesuaian dengan fakta hukum yang ada. Pandangan Mahkamah tetap pada pendirianya bahwa urusan pembatasan usia merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang pengaturanya dikembalikan pada pembuat norma. Terlebih UUD NRI 1945 Pasal 6 ayat 2 telah mendelegasikan kuasa kepada legislatif dan eksekutif untuk merincikan aturanya melalui undang-undang.

Penulis juga beranggapan bahwa permohonan ini akan dengan mudah diputus oleh Mahkamah. Mudah di sini diartikan ditolak, persidangan cepat dan tidak bertele-tele. 

Mengapa? karena beberapa alasan: Pertama, sesuai argumen di atas bahwa norma hukum ini merupakan open legal policy sehingga pengaturanya diberikan kepada pembuat norma dan ini sesuai dengan pendirian dan yurisprudensi Mahkamah. Kedua, pemohon mengajukan perubahan usia minimum dari 40 tahun menjadi 35 tahun dengan alasan norma tersebut bertentangan dengan moralitas, rasionalitas dan keadilan yang tidak bisa ditoleril sebab diskriminatif terhadap hak politik warga negara (rights to be candidate), maka dengan logika hukum yang sama, Mahkamah akan dengan mudah menyatakan bahwa batas minimum 35 tahun juga demikian. Ketiga, pendapat bahwa norma ini bertentangan dengan moralitas, rasionalitas dan keadilan yang tidak bisa ditoleril sebab diskriminatif terhadap hak politik warga negara (rights to be candidate) sehingga membutuhkan tangan Mahkamah dalam membuat keputusan yang adil, nyatanya tidak demikian. Karena pengaturan batas minimum usia calon presiden dan wakil presiden pada pemilu 2004, 2009 dan 2014 adalah 35 tahun dan pada pemilu 2019 dan 2024 ditetapkan dengan usia minimun 40 tahun. Artinya latar belakang sosiologis dan yuridis yang menyangkut pengaturan pemilu secara utuh dan meyakinkan diatur serta diubah sesuai kehendak dan kondisi legislatif dan eksekutif.  Bahkan jika argumen bahwa dengan pembatasan usia minimun 40 tahun mengakibatkan adanya kekosongan subjek norma tersebut, dengan sendirinya terbantahkan.

Harusnya dengan pertimbangan hukum yang sama, karena melihat pokok permasalahan dan titik penggunaan logika hukum yang sama pula, amar putusan ini berlaku juga untuk permohonan nomor 90/PUU-XXI/2023. 

Sayangnya Mahkamah tidak beranggapan demikian. Pada putusanya, Mahkamah berkeyakinan bahwa norma yang diputus sebelumnya berkekuatan hukum tetap (konstitusional), diubah menjadi inkonstitusional bersyarat selama tidak dimaknai dengan "paling rendah berusia 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah". Hanya dalam sekelibat waktu, Mahkamah merubah pendirinyanya tanpa penjelasan dan argumentasi hukum yang kuat.  

Penulis sendiri beranggapan adanya ketidakjelasan dan keterpaksakan "sistematis non-yuridis" dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam 2 hal: Pertama, legal standing pemohon, singkatnya secara umum semua warga Indonesia merupakan subjek yang memilki kedudukan hukum di mata pengadilan. Namun perlu diingat bahwa dalam menetapkan kedudukan pemohon, Mahkamah juga harus memastikan tersedianya unsur lain yang lebih spesifik (UU MK Pasal 51 ayat 1). Dari keterangan yang diberikan oleh pemohon, penulis menganggap tidak ditemukanya kerugian yang spesifik dan aktual atau setidaknya rasional untuk terjadi jika norma ini tidak dibatalkan. Apalagi kondisi pemohon yang merupakan mahasiswa dan tidak/belum terikat sebagai salah satu kandidat potensial calon presiden atau wakil presiden 2024, bahkan belum pernah menjabat sebagai kepala daerah baik provinsi atau kapubaten/kota maka dengan kenyataan ini, syarat adanya hubungan langsung sebab akibat (casual verband) pun sulit untuk dibenarkan. Kedua, amar putusan yang dibacakan oleh Mahkamah dalam putusan ini sangat membingungkan. Bahkan bukan hanya penulis yang mengatakan demikian, hakim konstitusi Prof. Saldi Isra juga kebingungan dengan putusan ini. Pasalnya dalam 3 putusan yang sebelumnya dibacakan (29,51,55) Mahkamah teguh dengan pendirianya bahwa norma ini masuk pada open legal policy. Namun entah dari mana datangnya, tetiba saja pada putusan nomor 90 ini mengabulkan petitum yang dimintakan pemohon, bahkan merubahnya dengan memperluas objek putusan (ultra petita) pada semua pejabat negara hasil pemilu termasuk pilkada. Harusnya jika Mahkamah berniat mengubah norma ini, tanpa menunggu permohonan nomor 90 pun bisa, dengan cara memutus permohonan nomor 51 dan 55 dengan memberikan  penafsiran tentang penyelenggara negara. Jika kita membaca pendapat berbeda (disentting opinion) hakim konstitusi Prof. Saldi Isra, maka disajikan data riil bahwa putusan sebenarnya dari permohonan nomor 90 ini seharusnya berbunyi "paling rendah berusia 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan kepala daerah provinsi", karena pada dasarnya dari 5 hakim yang mengabulkan permohonan sebagian, tidak bulat pada frasa jabatan kepala daerah. Hanya 3 hakim yang memberikan putusan "pernah/sedang menduduki jabatan sebagai kepada daerah provinsi atau kabupaten/kota", sedangkan 2 hakim lainya memlilih hanya jabatan kepala daerah provinsi.

 Hanya Bisa Berharap

Jika kita telaah lebih lanjut, praktek uji materi UU melalui MK yang akhir-akhir ini marak terjadi merupakan bukti kuat bahwa teori judicialization of politics kian digemari oleh publik. Namun fenomena ini memiliki indikasi kuat atas 2 hal; pertama, indikasi positif adanya kesadaran publik untuk turut serta dalam proses check and balances pada cabang-cabang kekuasaan. Meski pada awalnya teori uji materi UU terhadap UUD NRI 1945 mendapatkan sinisme dari para oligarki bertopeng dengan mengatakan bagaimana bisa produk demokrasi (proses pembuatan undang-undang oleh elected officials) dibatalkan oleh pejabat sipil negara (appointed officials), yang justru akan merusak nilai demokrasi itu sendiri. Namun pada akhirnya kewenangan demikian yang diperoleh MK tetap menjadi added values yang harus ada pada setiap negara demokrasi. Kedua, indikasi negatif terhadap kinerja wakil rakyat di parlemen. Dalam skema politik demokrasi tidak langsung, rakyat dituntut untuk mewakilkan dirinya (kepentingan) kepada mereka yang disebut sebagai wakil rakyat. Maka sudah seharunya wakil rakyat ini bekerja bukan atas pribadi melainkan konstituenya, sehingga produk hukum yang dihasilkan juga bersumber dari kemauan, kepentingan dan keinginan konstituen. Jika alur yang ada harus demikian, maka dengan banyaknya permohonan uji materi UU terhadap UUD NRI 1945 bisa menjadi alarm bahwa produk yang dihasilkan wakil rakyat tidak mewakili kepentingan konstituenya dan tidak ada cara lain selain meminta Mahkamah campur tangan.

Terkait putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023, memang perlu diteliti lebih lanjut, bahkan Ketua MK yang disinyalir memiliki konflik kepentingan perlu ditindaklanjuti oleh MKMK (Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi) sehingga publik tidak bertanya-tanya dan berasumsi liar. Kemudian terkait bahasan soal kebijakan hukum terbuka (open legal policy) sudah seharusnya MK menahan diri dengan memperdalam political question dan membuat batasan-batasan yang jelas dan disepakati bersama. Penetapan norma kebijakan hukum terbuka harus didasarkan pada pemahaman hakim terkait original intent peraturan yang ada dan menginggat bahwa posisi MK sebagai negative legislator harus mejadi corak dan penanda yang kental dan masyhur sehingga masyarakat luas bisa mengetahuinya.

Terakhir, independensi para hakim konstitusi harus lebih besar dari harga nyawanya sendiri. Saat ini penulis melihat adanya ketakutan dari legislatif dan eksekutif  bahwa UU yang mereka buat akan dengan mudah dimentahkan oleh para hakim konstitusi ini, sehingga merasa perlu memberikan sedikit godaan (masa kerja hakim MK/ UU MK 2017). Jangan sampai godaan yang mereka tawarkan dilahap dengan rakus oleh para hakim konstitusi, apalagi merasa bahwa mereka diusulkan oleh cabang-cabang kekuasaan sehingga putusan yang dikeluarkan haruslah menyenangkan pihak-pihak pengusul. Jika wakil rakyat dan pemerintah sudah tidak bisa diharapkan memberi keadilan, lantas apakah pengadilan akan turut serta? Sedangkan merekalah wakil tuhan di muka bumi ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun