Jika kita telaah lebih lanjut, praktek uji materi UU melalui MK yang akhir-akhir ini marak terjadi merupakan bukti kuat bahwa teori judicialization of politics kian digemari oleh publik. Namun fenomena ini memiliki indikasi kuat atas 2 hal; pertama, indikasi positif adanya kesadaran publik untuk turut serta dalam proses check and balances pada cabang-cabang kekuasaan. Meski pada awalnya teori uji materi UU terhadap UUD NRI 1945 mendapatkan sinisme dari para oligarki bertopeng dengan mengatakan bagaimana bisa produk demokrasi (proses pembuatan undang-undang oleh elected officials) dibatalkan oleh pejabat sipil negara (appointed officials), yang justru akan merusak nilai demokrasi itu sendiri. Namun pada akhirnya kewenangan demikian yang diperoleh MK tetap menjadi added values yang harus ada pada setiap negara demokrasi. Kedua, indikasi negatif terhadap kinerja wakil rakyat di parlemen. Dalam skema politik demokrasi tidak langsung, rakyat dituntut untuk mewakilkan dirinya (kepentingan) kepada mereka yang disebut sebagai wakil rakyat. Maka sudah seharunya wakil rakyat ini bekerja bukan atas pribadi melainkan konstituenya, sehingga produk hukum yang dihasilkan juga bersumber dari kemauan, kepentingan dan keinginan konstituen. Jika alur yang ada harus demikian, maka dengan banyaknya permohonan uji materi UU terhadap UUD NRI 1945 bisa menjadi alarm bahwa produk yang dihasilkan wakil rakyat tidak mewakili kepentingan konstituenya dan tidak ada cara lain selain meminta Mahkamah campur tangan.
Terkait putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023, memang perlu diteliti lebih lanjut, bahkan Ketua MK yang disinyalir memiliki konflik kepentingan perlu ditindaklanjuti oleh MKMK (Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi) sehingga publik tidak bertanya-tanya dan berasumsi liar. Kemudian terkait bahasan soal kebijakan hukum terbuka (open legal policy) sudah seharusnya MK menahan diri dengan memperdalam political question dan membuat batasan-batasan yang jelas dan disepakati bersama. Penetapan norma kebijakan hukum terbuka harus didasarkan pada pemahaman hakim terkait original intent peraturan yang ada dan menginggat bahwa posisi MK sebagai negative legislator harus mejadi corak dan penanda yang kental dan masyhur sehingga masyarakat luas bisa mengetahuinya.
Terakhir, independensi para hakim konstitusi harus lebih besar dari harga nyawanya sendiri. Saat ini penulis melihat adanya ketakutan dari legislatif dan eksekutif  bahwa UU yang mereka buat akan dengan mudah dimentahkan oleh para hakim konstitusi ini, sehingga merasa perlu memberikan sedikit godaan (masa kerja hakim MK/ UU MK 2017). Jangan sampai godaan yang mereka tawarkan dilahap dengan rakus oleh para hakim konstitusi, apalagi merasa bahwa mereka diusulkan oleh cabang-cabang kekuasaan sehingga putusan yang dikeluarkan haruslah menyenangkan pihak-pihak pengusul. Jika wakil rakyat dan pemerintah sudah tidak bisa diharapkan memberi keadilan, lantas apakah pengadilan akan turut serta? Sedangkan merekalah wakil tuhan di muka bumi ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H