Sesuai UU 10 tahun 2016 (disempurnakan dengan UU No.6 Tahun 2020) tentang perubahan kedua atas undang-undang nomor 1 tahun 2015 tentang penetapan peraturan pemerintah pengganti undang-undang nomor 1 tahun 2014 tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota menjadi undang-undang, disepakati bahwa pilkada akan dilaksanakan serentak pada November 2024 (saat tulisan ini dibuat, presiden melalui Kemendagri mewacanakan percepatan pilkada pada September 2024). Tepatnya dalam pasal 201 yang menjelaskan tentang waktu pilkada dan akhir masa jabatan bagi kepala daerah, sebagaimana ayat 3 dan 5 pasal ini yang memberikan ketentuan bahwa kepala daerah yang dilantik pada 2017 akan berakhir pada 2022 dan yang dilantik pada 2018 akan berakhir pada 2023.
Artinya jika kita memahami konsep ketatanegaraan sesuai peraturan yang berlaku, akan terjadi kekosongan kepala daerah definitif hampir di separuh daerah pemerintahan republik ini. Jika melihat data Kemendagri, sampai 2023 ini terdapat 24 gubernur dan 248 bupati/walikota yang habis masa jabatannya. Untuk mengisi kekosongan tersebut, pemerintah merumuskan mekanisme pengisian jabatan penjabat kepala daerah dalam pasal 201 ayat 9 yang dipertegas melalui Permendagri No. 4 Tahun 2023.
Polemik Tak Berkesudahan
Hal ini menjadi polemik dan hangat dibicarakan para praktisi, akademisi dan aktivis demokrasi karena mengembalikan konsep pemerintahan daerah ala orde baru (sentralistik). Padahal jika melihat UUD NRI 1945 hasil amandemen pasal 18 ayat 4, maka pilkada dilaksanakan melalui pemilihan secara langsung (desentralisasi, UU Otda). Jangan sampai niat baik pemerintah menyerentakan pemilu secara nasional sebagai upaya efesiensi waktu dan biaya dibayar mahal dengan kembalinya praktik culas ketatanegaraan ala orde baru. Â
Ketika MK mengamanahkan pembentukan peraturan pemerintah (PP) dalam amar putusan nomor 67/PUU-XIX/2021 sebagai mekanisme pengisian penjabat kepala daerah, hingga awal 2023 aturan ini tak kunjung keluar. Baru setalah ICW dan Perludem mengadukan hal tersebut pada Ombudsman dan mengeluarkan hasil penyelidikan yang mengatakan bahwa terjadi malpraktik dalam pengisian penjabat kepala daerah, baru pada April 2023 (dengan kondisi akhir 2022 Kemendagri telah melakukan penetapan 7 Pj. KDH Provinsi dan 94 Pj. KDH Bupati/Walikota) pemerintah melalui Kemendagri mengeluarkan Permendagri No. 4 Tahun 2023 yang berisi mekanisme pengisian dan wewenang penjabat kepala daerah. Lantas apa saja yang perlu kita khawatirkan dalam soalan ini?
Pertama, dengan pengisian pejabat kepala daerah yang masa kerjanya lebih dari satu tahun menyebabkan kemunduran semangat desentralisasi yang sudah terbangun. Pasalnya kewenangan daerah yang begitu besar sudah semestinya diberikan kepada kepala daerah yang dipilih oleh suara mayoritas sehingga menimbulakn efek legitimasi yang kuat. Maka tidak ada jaminan bahwa dalam pelaksanaan tugasnya nanti, masyarakat akan tunduk dan bekerja sama dengan penjabat tersebut.
Kedua, mekanisme yang cenderung tertutup menimbulkan kecurigaan adanya anasir kecurangan dan politik transaksional antara calon pejabat dengan pihak terkait. Satu contoh kasus yang nyata adalah penetapan Penjabat Bupati Pulau Morotai. Bahkan lebih jauh pemerintah berani memasukan unsur pati TNI/Polri sebagai penjabat kepala daerah yang semakin menjauhkan nilai-nilai reformasi dalam kehidupan bernegara. Â Apalagi tersiar kabar untuk penjabat kepala daerah tertentu (lumbung suara) menjadi jatah lingkaran orang dekat istana. Selama pemerintah tidak terbuka pada mekanisme pengisian penjabat kepala daerah, maka selama itu pula isu-isu liar ini akan berkembang liar di masyarakat.
Ketiga, kemungkinan adanya perlambatan roda pemerintahan. Hal ini bisa saja terjadi, mengingat DPRD selaku mandataris rakyat (political appointee) akan bekerja dengan kepala daerah yang merupakan aparatur sipil negara (career appointee) sehingga pada pembahasan-pembahasan politis akan mengalami banyak kesulitan dan ketidakseragaman.
Keempat, menyamakan penjabat kepala daerah sebagai kepala daerah definitif. Jika melihat Permendagri No.4 Tahun 2023 maka jelas disebutkan bahwa penjabat kepala daerah memiliki wewenang, hak keuangan dan protokoler yang sama dengan kepala daerah definitif. Sehingga dari sini bisa diambil kesimpulan bahwa penetapan penjabat kepala daerah merupakan perwujudan asas ekonomi dengan modal seminimal mungkin namun meraup untung semaksimal mungkin.
Kelima, netralitas ASN dalam pilkada bakal menjadi pertanyaan serius. Karena bukan tidak mungkin dengan kekuasan yang ada, para penjabat ini akan memobilisasi massa, instrumen dan alat kelengkapan dinas sebagai upaya kampanye dalam rangka memajukan dirinya sendiri sebagai bakal calon kepala daerah, atau calon kepala daerah petahana atau calon lainya yang dirasa bisa memberikan manfaat personal. Ini perlu diwaspadai terlebih pada daerah yang masa kerja penjabatanya lebih dari 2 tahun.