Sesampai di sekolah yang kami tuju, saya dan seorang teman dari uchi mongol di sambut oleh beberapa guru. Mereka menanyakan bagaimana perjalanan dari kampus menuju sekolah. Memang, perjalanan kurang lebih 30 menit dengan mobil bersama professor tidak terlalu terasa jauh karena kami banyak berbicara tentang kondisi sekolah dan pendidikan di masing-masing negara. Hanya saja, sekolah yang kami tuju memang lokasinya jauh dari stasiun kereta api. Jadi, untuk akses hanya menggunakan bus atau jalan kaki kira-kira 30 menit.
Para guru tersebut menyilahkan kami menuju ruang kepala sekolah. Saat melewati kelas-kelas. Seperti anak-anak ABG pada umumnya, siswa-siswa di smp miyoshi menyapa kami dalam Bahasa inggris. Saya jawab saja salam mereka dengan senyum. Professor berjalan cepat seperti biasa dan seperti biasa pula saya setengah berlari berjalan di belakangnya.
Ruangan kepala sekolah berjajar dengan ruangan guru. Ada satu pintu yang menembus ruang guru. Kepala sekolah keluar dan minta maaf tidak bisa menjemput kami karena harus menyiapkan ruang rapat dan kelas yang akan melakukan lesson study.
Sementara kami masih mengobrol dengan kepala sekolah, seorang guru menyajikan teh hijau hangat. Belum sempat kami memeninumnya, terdengar bel ganti pelajaran dimulai. Professor pun meminta kami bergegas mengikutinya. Gedung kelasnya berada di lantai tiga dan terletak di paling ujung gedung. Karena, lesson study tersebut bersifat tertutup maka hanya guru yang tidak mengajar saja yang ikut. Dan disupervisori oleh professor saya. Ada dua kelas yang melakukan lesson study hari itu. Yaitu pelajaran Bahasa jepang untuk kelas 2-b dan IPS untuk kelas berkebutuhan khusus.
Kelas berkebutuhan khusus
Kebetulan professor saya adalah ketua MGMP IPS di perfektur Aichi maka saya lumayan banyak mendapat akses masuk ke sekolah-sekolah saat melakukan supervisor atau bila ada beberapa proyek pendidikan. Yang menarik dan bagi saya paling mengesankan. Adalah saat saya memasuki kelas yang hanya berisi 10 orang anak berkebutuhan khusus. Dalam satu kelas ada 2 orang guru yang bertanggung jawab. Satu orang untuk mengajar dan seorang lagi untuk mendampingi siswa. Ruang kelas juga di buat tidak berbeda dengan kelas lain. Semua hiasan juga khas hasil karya mereka. Pembedanya hanya tingkat kesulitan pembelajaran.
Tema pembelajaran untuk lesson study adalah lingkungan di sekitar kita. Guru menempel peta tata kota kosong. Jelas peta seperti ini tidak asing bagi anak-anak jepang. Tetapi, yang membuat berbeda adalah kemampuan berpikir anak-anak ini adalah istimewa. Dan mereka pun mendapat perlakuan yang istimewa dari guru.
Ada yang tidur saat belajar maka guru pun membangunkan dengan sangat sopan dan mengingatkan kembali bahwa harus berpikir untuk menyelesaikan masalah. Karena, teman yang lain juga sedang bekerja keras untuk berpikir. Bukan sekali namun berulang kali guru membangunkan dan dengan sabar pula mendengarkan jawaban siswa, atau bahkan meluruskan pendapat mereka.
Dalam satu kelas selalu ada siswa yang menonjol dan aktif. Maka, di kelas ini pun ada seorang yang aktif juga. Seorang gadis chubby dengan rambut diikat pita. Dia sedikit aktif tetapi saya rasa lumayan membantu guru untuk membangunkan teman-temannya di kelas. Juga memotori mereka untuk mengajukan pendapat.
Setiap anak memiliki beberapa lembar kertas dengan tulisan kombini, rumah sakit, sekolah, dan tempat bermain. Guru menyajikan peta tata kota kepada siswa. Dan setiap siswa boleh menempelkan kertas-kertas tersebut di peta dengan argument mereka. Jelas, saat mengemukan pendapat ada pihak yang setuju dan tidak setuju. Lalu, guru yang akan menuliskan di papan tulis alasan-alasan siswa tersebut mengapa setuju dan tidak setuju sesuai disertai dengan penjelasan mereka.
Gadis chubby itu menempelkan kertas konbini pada peta kosong tersebut, tepat di perempatan jalan. Guru bertanya, mengapa menempel kertas tersebut. Dan dia menjawab, bahwa ada banyak rumah di sekitar konbini. jadi, bila dia ingin membeli juice pada malam hari dia tak perlu berjalan jauh. Teman yang sebelumnya tidur saja pun ikut menyahut, ia berkata bahwa konbini jangan dekat rumah. Sedikit jauh saja, supaya ada tempat parkir yang luas. Karena, ia dan keluarganya sering beristirahat di konbini saat sedang berjalan jauh. Dari pendapat tersebut perdebatan dimulai. Satu persatu siswa berbicara sesuai pengalamannya dan pengamatannya terhadap lingkungan di sekitar. Lalu, guru menambahkan informasi sehingga mereka mengerti mengapa di tempat-tempat tersebut ada bangunan ini dan itu. Dengan kata lain, kebijakan pemerintah dalam membuat tata kota dipahami secara keseluruhan oleh siswa-siswa berkebutuhan khusus tersebut dengan penalaran yang logis.
Guru meluruskan dan memetakan penyelesaian dari pendapat mereka di papan tulis. Siswa di kelas membuat kesimpulan berdasarkan pengamatan dan pendapatnya sendiri juga belajar dari pemahaman dari teman-teman di kelas. Mereka harus membuat penilaian dari apa yang mereka pelajari hari ini. sehingga guru bisa memahami kemampuan masing-masing siswa dalam catatan mereka. Disini saya melihat, guru adalah fasilitator dan teman belajar yang sangat diandalkan oleh mereka.
Kelas ini membuat saya menangis malu. Hakikat pengabdian dan profesionalitas seorang guru benar-benar terlihat indah di mata saya. Memang, setiap tahun penanggung jawab kelas berkebutuhan khusus ini  bergilir jadi setiap guru akan mendapat kesempatan dan tantangan yang sama. Catatan bagi saya sendiri, bahwa kebijakan seperti ini akan melahirkan empati yang sama tentang pengabdian pada pendidikan. Bagaimana setiap anak manusia yang terlahir di dunia itu memiliki hak yang sama. Baik dalam perlakuan dan juga penghargaan. Kelas ini berhasil membuat anak-anak yang berkebutuhan khusus percaya diri berbicara dan juga berkarya. Mereka mendapat bekal ilmu dan pengetahuan setelah mereka lulus dari sekolah ini untuk menjadi masyarakat kelak. Dan hal itupun banyak saya lihat, orang-orang berkebutuhan khusus itu mendapat tempat untuk bekerja dan bermasyarakat.
Rapat guru
Guru penanggung jawab kelas lesson study duduk di depan. Sementara kami, kira-kira ada kurang lebih 50 orang. Duduk berhadapan dengan mereka. Professor saya duduk di sebelah kiri depan dengan kepala sekolah. Seorang guru Bahasa inggris menjadi moderator untuk rapat kali ini, dia mengucapkan salam dan rapat pun segera di mulai. Guru Bahasa jepang menyampaikan hasil pengajarannya dan dilanjutkan oleh guru ips dari kelas berkebutuhan khusus. Lalu, sesi tanya jawab pun di mulai, satu persatu guru mengajukan pertanyaan yang berisi dari kurang lebih rencana pembelajaran dan scenario kelas yang dibuat oleh guru. Juga, bagaimana guru memberikan umpan-umpan kepada siswa agar lebih kritis terhadap permasalahan. Semua saya dengarkan dengan baik. Saran dan kritikan yang membangun di catat rapi oleh guru penanggung jawab dan juga notulen.
Lalu, giliran saya dijewer oleh professor agar menyampaikan pertanyaan atau kesan. entah apa yang saya pikirkan saat itu, saya terlalu terpesona pada kelas berkebutuhan khusus. Dan spontan saya bertanya, bagaimana penerimaan siswa-siswa yang lain terhadap anak-anak berkebutuhan khusus.
Guru menjawab bahwa hal ini dimaksudkan agar anak-anak yang lain terbiasa dengan kehadiran teman-teman berkebutuhan khusus. Sehingga, rasa empati dan kasih saying akan muncul diantara mereka. Anak-anak berkebutuhan khusus itu pun berangkat, bermain dan pulang bersama teman-teman dari kelas lain. Mereka juga berolah raga bersama. Jadi, empati mereka akan tumbuh secara alami.
Jawaban sederhana itu membuat saya semakin paham. Bahwa kasih sayang dan empati baik terhadapan kekurangan, keberagaman itu ditumbuhkan. Dari lingkungan terkecil yaitu keluarga dan sekolah yang merupakan miniature dari masyarakat sendiri. Sekolah merupakan pijakan awal untuk menyentuh masyarakat. Maka sekolah pun harus bertindak sebagai model masyarakat itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H