Mohon tunggu...
Beatrix Tapoona
Beatrix Tapoona Mohon Tunggu... -

"It is better to light the candle than just to curse the darkness"\r\n

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Akankah "Lilin Kecil" yang Kupasang Meredup atau (Harus) Mati?

19 April 2016   20:28 Diperbarui: 19 April 2016   20:43 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Daripada mengutuk kegelapan, lebih baik menyalakan sebatang lilin guna menerangi kegelapan itu."

Demikian penggalan kalimat bijak Tiongkok kuno, yang menjadi salah satu faktor membawa saya pulang ke kampung halaman nun di pelosok sana. Lilin kecil itu bernama "Pondok Baca PALem", meminjam ruang dari rumah almarhum orang tua guna meletakkan buku dan majalah ( bekas ), dengan ide dasar menarik minat baca  anak - anak nelayan di desa kelahiran saya.  

Tentu bukan sesuatu yang mudah, saya yang kesehariannya mengamen di Yogyakarta dan tetap memantau perkembangan Pondok Baca itu, namun semangat itu seolah selalu saja terpacu karena rasa prihatin yang dalam akan minimnya bahan Ajar atau sumber buku , yang bisa juga menjadi salah satu penyebab setiap tahun tingkat kelulusan di Propinsi tercinta ini hampir selalu setia di urutan buntut.

Lalu...apa urusannya dengan judul tulisan di atas?...  Sebagaimana akhir - akhir ini hangat dibicarakan tentang rencana para anggota DPR akan membangun Perpustakaan terbesar dan termegah di Asia Tenggara. Menurut hemat saya ini adalah sesuatu yang luar biasa, paling tidak mencerminkan bahwa para wakil Rakyat yang terhormat juga mencintai buku, kalau tidak mau mengatakan untuk menarik minat baca mereka.

Tentang hal ini, beberapa hari yang lalu di sebuah stasiun televisi hadir dua orang narasumber yang dimintai komentar. Saya sangat yakin kedua beliau itu juga orang - orang daerah yang berasal dari desa yang saat ini menetap di Jakarta. Saya lupa dalam acara apa itu, tetapi yang cukup membuat saya terhenyak adalah, salah satu atau bahkan keduanya mengatakan , itu bukan suatu kemajuan, karena mengapa tidak dibuat perpustakaan digital /online semacam itu. Saat ini sudah tidak zaman model perpustakaan seperti itu,karena orang bisa dengan mudah mengakses bacaan secara digital. Kira - kira yang saya tangkap demikian.

Segera pikiran saya membawa saya terbang pulang ke kampung nelayan tempat Pondok Baca yang sedang semangat - semangatnya saya ikuti perkembangannya. Betapa tidak dengan segala keterbatasan tenaga dan kemampuan, itu sudah ber"ada" di sana hampir 5 tahun. Dia hadir dari sebagai sesuatu yang baru untuk anak - anak nelayan yang sebelum puas berguling - guling di pantai terlebih dahulu menengok sekedar membaca atau melihat - lihat gambar karena letaknya juga di bibir pantai. Dia hadir bukan saja menyediakan buku - buku ( tidak baru) untuk dibaca tetapi lebih dari itu mengajak mereka bahwa dengan membaca, mereka bisa mendapat inspirasi, dorongan , pemicu , rangsangan agar bisa mempunyai mimpi yang selalu harus dikejar untuk diraih, guna membangun dan mengubah masa depan dirinya, keluarga, kampung dan Propinsinya.

Kalau benar yang dikatakan kedua narasumber di atas tentang sudah waktunya  perpustakaan digital, maka pertanyaannya muncul pada judul tulisan saya di atas. Lilin kecil yang bernama Pondok Baca PALem ( PALem= Peduli Pendidikan Anak Lembata), akankah saya biarkan redup atau bahkan mati diterjang angin laut sawu yang kadang ramah namun juga kadang ganas seganas kemajuan Teknologi hari ini?

Yang masih membuat saya optimis adalah beberapa hal berikut yang mungkin kedua nara sumber atau bahkan banyak pemegang kebijakan di negeri ini lupa. Hal - hal itu adalah :

1. Indonesia ini bukan hanya di sekitar Monas atau sekitar gedung megah tempat bergengsi bagi para wakil rakyat yang terhormat duduk dan menentukan apa yang harus dilakukan di negeri ini.

2. Perpustakaan digital artinya perangkatnya menggunakan tenaga listrik bukan? Listrik di kampung nelayan itu hanya hidup dari jam 18.00 sampai jam 6.00 pagi, dan normalnya bisa padam dalam sebulan 3 atau 4 kali.

3. Namanya juga menarik minat baca, artinya Pondok Baca yang saya bangun dan sediakan adalah betul - betul tidak berbayar.Nah.... Apakah Negara mau berdarah - darah menyediakan perangkat pendukung guna menyediakan akses digital bagi anak - anak nelayan ini dengan tidak berbayar pula? 

Kalau meminjam istilah orang Jawa "mupus" ( menghibur diri), maka saya masih tersenyum dan menyemangati diri untuk menjaga dan merawat lilin kecil itu tetap menyala sampai dengan tidak ada lagi seorang anak kecil sekalipun yang datang duduk dan sekedar menonton gambar yang saya pajang di dinding Pondok itu, hingga  tiba saatnya mimpi perpustakaan digital bisa terwujut di desa nelayan ini. Semoga saja demikian....

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun