Mohon tunggu...
Beatrice Marietta
Beatrice Marietta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

S1 Statistika, Fakultas Sains dan Matematika, Universitas Diponegoro

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Harapan Bagi Ibu dan Janin Beda Rhesus

25 November 2017   00:34 Diperbarui: 25 November 2017   01:10 1390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Eritroblastosis fetalis merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya anemia (kekurangan sel darah merah atau eritrosit) pada janin. Hal tersebut dikarenakan, ibu menghasilkan antibodi yang menyerang sel darah janin sehingga terjadi penggumpalan darah (aglutinasi) pada janin. Penyakit ini diakibatkan adanya inkompatibilitas (ketidakcocokan atau ketidaksesuaian) darah antara ibu dan janin yang terjadi pada sistem Rhesus. Sistem Rhesus adalah salah satu sistem penggolongan pada golongan darah manusia.

Kali ini, saya akan membahas apa yang mengakibatkan terjadinya eritroblastosis fetalis dan proses terjadinya, serta apakah eritroblastosis fetalis dapat dicegah. Namun sebelum membahas mengenai eritroblastosis fetalis lebih mendalam, saya akan menjelaskan sedikit mengenai penggolongan darah pada manusia.

Golongan darah manusia diklasifikasikan berdasarkan ada atau tidaknya zat antigen warisan pada permukaan membran sel darah merah. Golongan darah manusia diklasifikasikan menjadi 2, yaitu sistem ABO dan sistem Rhesus. Antigen (aglutinogen) adalah suatu zat yang merangsang respon imun sehingga membentuk antibodi. Antigen berupa protein/polisakarida, dinding sel, bakteri, virus, bahan kimia, dan sebagainya yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Antibodi (aglutinin) adalah protein yang disekresikan sebagai respon imun untuk menyerang antigen.

Golongan darah sistem ABO ditemukan pada tahun 1930 oleh Karl Landsteiner, ilmuwan Austria. Golongan darah sistem ABO dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya antigen (aglutinogen) tipe A dan tipe B pada permukaan eritrosit dan antibodi (aglutinin) tipe (anti-A) dan tipe (anti-B) pada plasma darah. Jenis golongan darah berdasarkan sistem ABO adalah A, B, AB, dan O. Golongan darah A memiliki antigen A dan antibodi (anti-B), golongan darah B memiliki antigen B dan antibodi (anti-A), golongan darah AB memiliki antigen A dan B dan tidak memiliki antibodi maupun , serta golongan darah O tidak memiliki antigen A atau B dan memiliki antibodi dan .

Golongan darah sistem Rhesus ditemukan pada tahun 1940 oleh Karl Landsteiner dan Wiener dalam percobaan menggunakan darah kera rhesus (Macaca mullata). Golongan darah sistem Rhesus dibedakan berdasarkan ada atau tidaknya antigen (aglutinogen) RhD pada permukaan sel darah merah. Antigen RhD adalah antigen yang berperan penting dalam transfusi dan bersifat imunogenik kuat. 

Jenis golongan darah sistem Rhesus adalah Rh+ (Rhesus positif) dan Rh- (Rhesus negatif). Golongan darah Rh+ menunjukkan adanya antigen RhD sedangkan Rh- menunjukkan tidak adanya antigen RhD. Apabila darah Rh- terpapar oleh darah Rh+, maka darah Rh- akan segera membentuk antibodi RhD (anti RhD) dan akan menggumpalkan darah Rh+ yang ada akibat transfusi darah maupun kehamilan.

Rhesus tidak berpengaruh terhadap kesehatan, namun perlu diperhatikan ketika pasangan ibu-ayah memiliki jenis Rhesus yang berbeda. Saat seorang ibu dengan Rh+ mengandung bayi dengan jenis darah Rh-, maka tidak akan terjadi masalah pada ibu dan bayi. Dan bayi nantinya akan memiliki antibodi RhD karena terkena darah Rh+ dari ibu. Namun, apabila seorang ibu memiliki darah Rh- dan mengandung dari pasangan yang memiliki darah Rh+, kemungkinan bahwa bayi yang dikandung memiliki jenis darah Rh+. Perbedaan rhesus antara ibu dan janin tersebut akan mengakibatkan masalah serius pada janin.

Pada saat mengandung, sebenarnya tidak terjadi kontak langsung antara darah janin dalam kandungan dengan darah ibu. Hal tersebut dikarenakan, di dalam kandungan terdapat plasenta yang berfungsi melindungi janin dan sebagai penghalang antara sel darah merah antara janin dan ibu. Akan tetapi, tetap ada kemungkinan bahwa darah janin masih bisa melintas dan masuk ke dalam pembuluh darah ibu walaupun sudah dilindungi plasenta, terutama pada saat persalinan. Saat persalinan (maupun keguguran), plasenta akan lepas serta pembuluh darah yang menghubungkan dinding rahim dengan plasenta juga putus. 

Dan mengakibatkan sel darah merah janin dapat masuk dalam jumlah yang besar. Jika ibu dengan darah Rh- baru saja mengalami kehamilan pertama dari pasangan Rh+ dan belum pernah menerima transfusi darah Rh+, saat itu tubuh ibu akan membentuk antibodi RhD (anti RhD) secara alamiah yang berfungsi untuk melindungi dan melawan antigen RhD. Kemudian, antibodi RhD ibu akan berdifusi ke dalam tubuh janin melalui plasenta. 

Akibatnya, darah pada janin akan mengalami penggumpalan (aglutinasi). Darah yang mengalami aglutinasi melewati pembuluh kapiler dan darah akan terjebak sehingga menyebabkan penyumbatan dan akhirnya pembuluh kapiler pecah disertai dengan pecahnya membrane eritrosit (hemolisis). 

Pecahnya membrane eritrosit (hemolisis) dapat menyebabkan kematian pada janin di dalam rahim atau menyebabkan penyakit eritroblastosis fetalis (penyakit kuning, anemia, gagal jantung, pembengkakan hati dan limpa) ketika bayi telah lahir, terutama pada kehamilan kedua, ketiga, dan seterusnya. Pada kehamilan pertama, belum terjadi penyakit pada janin karena biasanya ibu belum membentuk antibodi RhD dalam jumlah yang banyak.

Setelah membahas mengenai eritroblastosis fetalis, saya akan membahas apakah eritroblastosis fetalis dapat dicegah atau tidak. Berdasarkan hasil pencarian dari berbagai sumber, ternyata penyakit eritroblastosis fetalis dapat dicegah. Bagaimana caranya?

Pencegahan eritroblastosis fetalis dilakukan dengan memberikan suntikan anti-D (Rho) immunoglobulin atau dapat disebut RhoGam. RhoGam berfungsi sebagai penghancur sel darah merah (eritrosit) janin yang masuk dalam darah ibu sebelum sel darah merah janin merangsang pembentukan antibodi RhD (anti RhD) pada ibu. RhoGam diberikan pada ibu pada saat usia kehamilan sekitar 28 hingga 30 minggu dan dalam waktu maksimal 72 jam setelah persalinan. 

RhoGam diberikan pada ibu dengan darah Rh+ yang melahirkan bayi dengan darah Rh- dan juga diberikan pada ibu dengan darah Rh- yang melahirkan bayi dengan darah Rh+ untuk mencegah sensitasi ibu terhadap antigen RhD. Selain itu, pemberian RhoGam juga dilakukan pada setiap kehamilan kedua, ketiga, dan seterusnya untuk menghindari telah terbentuknya antibodi RhD akibat kebocoran darah janin.

RhoGam (Suntik anti-D) berbeda dengan antibodi yang akan bertahan seumur hidup karena Rhogam hanya bertahan selama beberapa minggu. Pemberian RhoGam juga tidak menimbulkan efek samping negative apapun pada bayi. Selain itu, ibu juga masih bisa menyusui setelah pemberian RhoGam tanpa efek samping apapun. Namun, setelah pemberian RhoGam, ada kemungkinan ibu akan merasa lemas dan tegang pada bagian yang diberi injeksi RhD, tetapi dalam beberapa jam akan menghilang.

Namun, ketika seorang ibu dengan Rh- pernah menerima transfusi darah Rh+ dan mengandung janin yang memiliki darah Rh+, janin akan mengalami eritroblastosis fetalis. Hal tersebut terjadi dikarenakan transfusi darah yang pernah dilakukan. Ibu dengan Rh- yang menerima transfusi darah Rh+ akan membentuk antibodi RhD untuk melawan darah Rh+ karena dianggap sebagai benda asing. 

Akibatnya, pada saat mengandung, tubuh ibu dengan darah Rh- akan langsung mengenali darah Rh+ janin sebagai benda asing dan menyerang darah Rh+ janin. Walaupun diberi injeksi RhoGam, tidak akan berpengaruh karena tubuh ibu telah memiliki antibodi RhD, karena transfusi yang pernah dilakukan.

Karena itu, ada beberapa hal khusus yang dilakukan ketika hal tersebut terjadi, seperti akan dilakukan scanner ultrasonografi, pengecekan amniosentesis, persalinan lebih dini, atau mungkin dilakukan transfusi darah pada janin yang masih di dalam kandungan. (1) Scanner ultrasonografi(USG) dilakukan untuk mengecek kondisi janin jika ada masalah pada pernafasan dan peredaran darah, cairan paru-paru, dan atau perbesaran hati yang merupakan gejala-gejala akibat rendahnya sel darah merah. (2) Pengecekan amniosentesis dilakukan teratur untuk mengecek level anemia yang telah diderita oleh janin.

 (3) Jika janin telah mencapai usia yang cukup kuat untuk dibesarkan di luar rahim, akan dilakukan persalinan lebih dini (sekitar 2 hingga 4 minggu sebelum tanggal perkiraan) yang disertai dengan transfusi pergantian darah (blood exchange transfusion) pada bayi dari donor yang tepat. Darah bayi akan dikeluarkan dan diganti dengan darah yang telah dicek dan dapat diterima oleh bayi. Transfusi pergantian darah akan dilakukan sedikit-sedikit sehingga tidak mengganggu sistem sirkulasi darah pada bayi.

 (4) Jika terjadi kondisi yang mengkhawatirkan namun janin belum mencapai usia dan kondisi yang kuat untuk dibesarkan di luar rahim, akan dilakukan transfusi pergantian darah pada janin ketika masih di dalam rahim (intrauterine transfusion). Penanganan akan dilakukan secara intraperitoneal dengan menggunakan alat yang dimasukkan melalui perut ibu untuk mencapai rongga peritoneal janin dan dilakukan rutin setiap 2 minggu hingga janin mencapai usia dan kondisi yang cukup kuat untuk dibesarkan di luar rahim. 

Selain keempat hal diatas, terdapat hal lain yang juga sangat penting yaitu pada saat proses kelahiran. Selama proses kelahiran, janin akan terus dimonitor karena dokter akan segera melakukan persalinan bedah sesar apabila terjadi indikasi gangguan pada janin.

Sebagai tambahan, kemungkinan, tubuh tidak akan langsung bereaksi membentuk antibodi RhD saat darah Rh- pertama kali terpapar darah Rh+ karena transfusi darah. 

Akan tetapi, antibodi RhD akan terbentuk dalam jumlah yang cukup dalam waktu 2 hingga 4 minggu. Kemudian, akan menyebabkan terjadinya penggumpalan darah (aglutinasi). Dalam waktu 2 sampai 4 bulan, antibodi akan mencapai konsentrasi maksimum. Pada saat transfusi pertama, penerima transfusi darah Rh+ relatif belum mengalami masalah yang serius karena kadar antibodi RhD belum terlalu tinggi. 

Namun, pada transfusi kedua, dapat terjadi masalah yang serius dan memperburuk kondisi penerima transfusi darah Rh+ atau bahkan dapat berakibat fatal karena kadar antibodi RhD yang dihasilkan sudah cukup tinggi akibat terpapar Rh+ kembali. Akibatnya, akan terjadi penggumpalan darah dan akan menyebabkan penyumbatan pembuluh darah serta kemudian terjadi pecahnya pembuluh darah disertai dengan pecahnya sel darah merah. 

Sel darah merah yang pecah akan menyebabkan ginjal bekerja keras untuk mengeluarkan sisa pemecahan sel darah merah tersebut. Dan akhirnya dapat menimbulkan masalah serius lainnya akibat oksigen (yang seharusnya dibawa oleh sel darah merah ke seluruh tubuh) tidak sampai (karena sel darah merah pecah) dan menyebabkan sel tubuh lain tidak dapat tumbuh dan berkembang, lalu akhirnya sel akan mati.

Selain itu, sekarang juga telah ditemukan cara untuk menangani penyakit eritroblastosis fetalis pada bayi. Cara yang dilakukan yaitu dengan memberikan IVIG (Intravenous Immunoglobulin) dan transfusi pertukaran darah pada bayi (blood exchange transfusion) --seperti yang telah dijelaskan sebelumnya-. IVIG adalah pemberian immunoglobulin pada bayi dengan cara memasukkannya ke dalam tubuh lewat pembuluh darah vena pada tangan. 

Immunoglobulin merupakan salah satu bagian plasma darah. Immunoglobulin didapatkan dari darah pendonor yang telah diperiksa kesehatannya serta berfungsi untuk melawan penyakit. Dengan dilakukan pemberian IVIG, akan mencegah pecahnya sel darah merah pada bayi akibat antibodi RhD.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penyakit eritroblastosis fetalis terjadi karena adanya perbedaan jenis darah antara ibu dan janin, yaitu ketika ibu memiliki darah Rh- dan janin memiliki darah Rh+. Namun, telah ditemukan diagnosa, pencegahan, dan penanganan eritroblastosis fetalis. Diagnosa dilakukan dengan pengecekan USG dan pengecekan amniosentesis. Akan tetapi, sebelumnya perlu dilakukan pengecekan golongan darah. 

Pencegahan eritroblastosis fetalis dilakukan dengan memberikan injeksi RhoGam pada ibu. RhoGam akan menghancurkan sel darah merah janin yang masuk dalam sistem peredaran darah ibu sebelum ibu membentuk antibody RhD (anti RhD). Dan penanganan akan dilakukan dengan transfusi pertukaran darah saat janin masih di dalam kandungan (intrauterine transfusion) dan persalinan lebih dini. Selain itu, juga dilakukan transfusi pergantian darah bayi (blood exchange transfusion) dan pemberian IVIG (Intravenous Immunoglobulin). Sekian penjelasan dari saya, apabila terdapat kesalahan penulisan saya mohon maaf. Trimakasih telah membaca.

Sumber:

www.rhesusnegatif.com

https://www.galena.co.id

www.penghilangluka.indoherbal.web.id

www.rs-sejahterabhakti.com

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun