Selain kuda, Sigit juga merasakan hal yang jauh berbeda setelah Bom Bali I. Sebelum itu, banyak turis mancanegara ingin merasakan sensasi naik andong. Sejak terjadinya Bom Bali I, semuanya berkurang bahkan hilang.
Walau bom terjadi di Bali, namun efeknya sampai ke Jogjakarta. "Dulu tiap hari, selalu ada penumpang mancanegara. Sekarang jarang banget, bahkan hampir tidak ada," ujarnya. Ia mengaku kebanyakan turis mancanegara hanya minta foto di andong saja. Sampai saat ini, tidak ada yang mengerti mengapa efek Bom Bali I masih bertahan.
Kearifan Lokal vs Era DigitalÂ
Ada yang menarik dari perjumpaan saya bersama Sigit. Di era serba cepat saat ini, Ia masih berjuang dengan kearifan lokal Kota Jogjakarta. Melestarikan tradisi yang sudah Ia bawa sejak kecil.
Hadirnya transportasi online tidak membuat Ia goyah dan patah semangat. Mengeluh pasti ada, tapi Ia percaya rezeki orang berbeda-beda. Walaupun Ia tahu, hampir sebagian orang beralih meninggalkan kereta kuda tersebut. Tak terkecuali para wisatawan domestik dan mancanegara.
Sigit mengaku memang ada pengaruh dari hadirnya transportasi online khususnya taxi online.  Hal ini sudah dirasakan Sigit dan kusir lainnya sejak tiga tahun belakang. "Biasanya habis tawar menawar terus gak jadi ngandong, mereka akan pesan taxi online. Lebih murah dan lebih cepat juga," tutur Sigit.
Meski demikian, Sigit tak pernah merasa iri. Walaupun hari itu tidak ada penumpang, Sigit akan kembali lagi esok hari. "Kita gak pernah ambil tindakan apa-apa, tiap orang punya rezekinya masing-masing. Semuanya rukun sama-sama cari nafkah," tutupnya sembari memberi makan gembhul.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H