"Pagi tanpa segelas kopi tak layak untuk dijalani," kata Mawar, seorang kawan yang saya kenal dari perjalanan ke Gunung Krenceng beberapa hari lalu. Kopi, kopi, kopi. Banyak hal yang terlintas saat saya menikmati segelas kopi pagi ini, walaupun hanya satu sachet Tora Bika susu yang berpadu dengan 150 mililiter air panas, saya serasa berenang di lautan kopi.
Good Day Moccacino, seseorang yang pernah mesra dengan saya mengatakan, "It's best enjoyed with a sachet of condensed milk." Ya, maka saya mencampurkannya dengan susu kental manis rasa coklat maupun vanilla setiap kali menyeduhnya. Walaupun tidak selalu bersama susu kental manis, meminum kopi ini membawa saya pada kenangan kebersamaan, seperti halnya saat saya nongkrong bersama anak-anak Jurnal hingga maghrib di kampus.
Arabika. Biasanya saya mendapatkan kopi ini dengan membelinya di Toko Kopi Aroma di Banceuy. Saya emang bukan pemuja kopi seperti Ben dalam Filosofi Kopi, tapi saya bisa merasa takjub dengan rasa kopi yang satu ini. Wanginya membawa saya ke atas bukit yang sejuk dan memandangi lautan lampu kota, ah kiasan yang mengada-ada bukan, tapi itu betulan!
Robusta. Ah bicara robusta kan bicara produk kopi lokal Indonesia, kebanyakan dari si ini nih. Maka menikmati robusta sama halnya dengan menikmati Indonesia dan keliling dunia. (agak aneh sih, tapi namanya juga bibit kopi instan).
Espresso. Rasa pahitnya menyegarkan tidak hanya ketika menyeruputnya, namun sampai seharian ia dan caffeine-nya merefresh kinerja otak kiri kita (sotoy). Memandangi espresso rasanya ingin sekali menyepi dari kepenatan kota, ia gelap dan pekat, seperti kesunyian. Walaupun kita meminumnya di coffeeshop kapitalis yang rame dan riweuh.
Cappucino. Yang juara dari kopi ini hanyalah padu padannya dengan creme vanilla dan bubuk coklat (choco granule)nya yang manis. Ya, menikmati kopi ini membawa suasana semarak yang manis.
Kapal Api. Ini dia kopi rakyat, yang selain murah meriah, kehangatannya luar biasa melekatkan. Tahlilan, begadang, nonton bareng, anniversary Mahapeka, menjamu tamu dengan jumlah banyak, ah sungguh amazing! Kopi berampas yang gak nyampe dua ribu segelas itu, membawa keakraban hingga larut malam. Bahkan hingga paginya.
Dan masih banyak kopi-kopi lainnya, yang sebenarnya pengen saya cobain juga yaitu Kopi Luwak. The great essential coffee from Indonesia! Tapi ngebayangin luwak beol kok ilfeel ya. Yang jelas setiap tegukan kopi menimbulkan sensasi tenang, belonging, santai kaya di pantai, dan persahabatan. Laiknya saat saya meneguk puisi-puisi Last Coccaine Dark Poetry (sebuah alter-ego dari Ditha Teguh Gumelar).
Terkoneksi dengannya membuat saya merasa fresh tiap kali berkesempatan membaca kegenitannya dalam catatan-catatannya. Agak mellow seperti cappucino float ice cream, tapi kuat dan sunyi seperti espresso. Dan mungkin puisinya juga mengandung kafein dan zat adiktif, yang menjitak ngantuk dan bikin dedeuieun. Semoga kamu tetap seperti kopi yang teguh dan gumilar, hahaha...
*toast for Ditha...
HAPPY BIRTHDAY
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H