Mohon tunggu...
budi rahman
budi rahman Mohon Tunggu... -

selalu tempelkan alhamdulilah dalam hidup.........

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Biaya Dokter Spesialis & Korupsi Kecil

13 Juni 2011   07:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:33 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini pengalaman saya minggu kemarin ketika membawa anak saya ke dokter spesialis anak. Anak saya yang berusia 23 bulan sebetulnya tidak sakit. Kami bawa ke dokter karena di sekitar wajahnya ada seperti biang keringat tapi bentuknya memanjang, dan tidak berwarna merah seperti umumnya biang keringat. Pertama muncul di atas kelopak mata sebelah kiri berupa titik- titik hanya 3 titik, kemudian ada di pelipis kiri agak banyak, dan terakhir ada di atas bibirnya. Lebih tepatnya seperti lapisan kulit tapi sangat tipis.

Jadwal dokter yang tertera adalah buka jam 16.00. Saya datang jam 17.30 tapi ternyata dokternya belum datang, (apakah ngaret sudah menjadi ciri khas dokter praktek ya……) dan baru datangsekitar jam 18.15. Saya mendapat nomer antrian 24 dan baru di panggil untuk masuk ruangan dokter jam 20.00.

Saat diperiksa anak saya sedang tidur, mungkin saking lamanya ngantri jadi ngantuk, jadi saat di periksa diam saja, biasanya kan anak kecil nangis kalo pas lagi di periksa sama dokter. Setelah dokter menanyakan kenapa kemudian melihat-lihat kondisi sekitar wajah anak saya, dokter mengatakan kalo dia tidak tahu mengenai sesuatu yg mirip lapisan kulit atau lemak atau biang keringat atau apalah karena ternyata dokter juga tidak tahu, dia juga tidak bisa memberi obat karena belum tahu yang terjadi dengan anak saya tersebut.

Kemudian dokter menyarankan untuk membawa anak saya ke dokter spesialis lain yang masih temannya. Karena dokter sendiri sudah menyatakan tidak tahu maka saya pamit mau pulang. Lalu dokter member saya kertas yang di dalamnya ada tulisan angka untuk di bawa ke bagian pendaftaran. Setelah saya serahkan ke petugasnya, petugas tersebut menagih sejumlah uang tapi lebih besar jumlahnya dari yang saya lihat di kertas yang dokter tulis.

Yang membuat saya menulis pengalaman saya ini adalah sejumlah pertanyaan kecil yang menggelitik di hati saya tapi saya tidak berani untuk menyampaikannya langsung kepada yang bersangkutan. Apakah saya yang salah datang ke dokter karena ketidaktahuan saya harus bayar seperti pasien pada umumnya yang memang benar-benar sakit, kalo memang ya enak bener ya jadi dokter. Cukup bilang coba bapak bawa ke dokter anu yang di sana sudah dapet uang senilai 2 hari total penghasilan saya. Gimana kalo sehari ada 5 orang yang seperti saya ya, karena ketidaktahuannya dan karena rasa sayangnya kepada anak, dalam sehari dokter bisa dapat uang senilai penghasilan saya seminggu hanya dengan menjawab tidak tahu sakit apa. Saya juga tidak tahu apakah hal seperti ini ada pengaturannya dalam kode etik dokter.

Juga mengenai mark up biaya berobat , yang di tambahkan lagi oleh petugasnya, lagi-lagi hanya bisa membuat saya tersenyum sendiri tanpa berani menolak walaupun saya tahu berapa biaya yang harus saya bayar. Mental korupsi sudah sampai kepada pekerja-pekerja , ternyata yang bisa korupsi bukan lagi para pejabat pemerintah aja yang nilainya triliunan, ada juga yang korupsi nilainya yang hanya ,000, tapi sasarannya orang-orang yang sedang kesusahan karena anak-anaknya sakit, yang mungkin juga karena sayangnya orang tua ke anak pinjam sana sini dulu untuk biaya anaknya ke dokter.

Akhirnya pernyataan istri sayalah yang menjawab semua dengan satu kalimat. "Sudah anggap aja amal”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun