Berdasarkan sudut pandang semangat dasar-Nya, sikap amarah, perilaku mengkafir-kafirkan liyan, tindakan jahil nyinyir pada hakekatnya mematikan, membunuh liyan. Jadi bertentangan dengan roh dasar Taurat. Bobot kejahatan sikap amarah dkk ini sekualitas dengan kejahatan membunuh. Sehingga kualitas hukumannya sebanding dengan hukuman membunuh.
 Selanjutnya Yesus mengatakan "Jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu"
Siapapun yang menghadap Allah di tempat ibadah, mesti harus sungguh beres relasinya dengan liyan. Berelasi  baik, bersahabat, berdamai, harmonis dengan sesama adalah syarat utama menghadap-Nya. Maka beresi, perbaiki, pulihkan terlebih dahulu relasi dengan sesama, barulah pantas dan layak berelasi dengan Allah. Sikap dasar bermusuhan, tidak bersaudara dengan sesama sesungguhnya memutus relasi dengan Allah, mencerminkan keterpisahannya  dari Allah. Neraka.
Karena itu yang timpang, disharmoni relasi dengan sesama saat menghadap Allah, Yesus perintahkan, "segeralah berdamai dengan lawanmu selama bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas."
Memasuki tempat ibadah, beribadah dengan suasana hati jahat bermusuhan  bertolak belakang seratus delapan puluh derajat dengan eksistensi Allah.  Hakekat Allah Sang Kasih, Sang Kebaikan tidak dapat didekati dengan hati benci ternoda permusuhan dengan liyan. Apalagi menghadap Allah, sembari mengobarkan permusuhan, kebencian, anti persaudaraan adalah amat sangat salah. Amat sangat sesat dan jahat banget. Surga tidak dapat disatukan dengan neraka.
Injil hari ini, mewartakan ajakan Yesus untuk kembali ke khitah, Â ke cita-cita asali Allah, spiritualitas dasar hidup keagamaan. Yaitu menyatukan dengan Allah, menyelamatkan, menghidupkan, memanusiakan, memerdekakan dan mendamai sejahterakan.
Tersiratkah spiritualitas itu dalam sepenggal doa di atas? Sungguhkah hidup keagamaan cerminkan spiritualitas-Nya?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H