Bacaan Jumat 5 Â November 2021
Luk 16:1 Dan Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Ada seorang kaya yang mempunyai seorang bendahara. Kepadanya disampaikan tuduhan, bahwa bendahara itu menghamburkan miliknya.
 2 Lalu ia memanggil bendahara itu dan berkata kepadanya: Apakah yang kudengar tentang engkau? Berilah pertanggungan jawab atas urusanmu, sebab engkau tidak boleh lagi bekerja sebagai bendahara. 3 Kata bendahara itu di dalam hatinya: Apakah yang harus aku perbuat? Tuanku memecat aku dari jabatanku sebagai bendahara.Â
Mencangkul aku tidak dapat, mengemis aku malu. 4 Aku tahu apa yang akan aku perbuat, supaya apabila aku dipecat dari jabatanku sebagai bendahara, ada orang yang akan menampung aku di rumah mereka. 5 Lalu ia memanggil seorang demi seorang yang berhutang kepada tuannya. Katanya kepada yang pertama: Berapakah hutangmu kepada tuanku?Â
6 Jawab orang itu: Seratus tempayan minyak. Lalu katanya kepada orang itu: Inilah surat hutangmu, duduklah dan buat surat hutang lain sekarang juga: Lima puluh tempayan. 7 Kemudian ia berkata kepada yang kedua: Dan berapakah hutangmu? Jawab orang itu: Seratus pikul gandum. Katanya kepada orang itu: Inilah surat hutangmu, buatlah surat hutang lain: Delapan puluh pikul. 8 Lalu tuan itu memuji bendahara yang tidak jujur itu, karena ia telah bertindak dengan cerdik. Sebab anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang.
Renungan
Saat terjadi peristiwa Gerakan 30 September 1965, usia saya baru 10 tahun. Tiap malam diadakan ronda keamanan.  Di dalam maupun di luar rumah, tidak ada lampu dinyalakan. Selalu digunakan kata sandi yang berbeda  pada tiap malamnya. Misalnya saat berjalan berpapasan dengan sosok tak jelas identitasnya dalam kegelapan malam, salah satu akan mengucapkan kata "semut". Jika sosok tak jelas itu segera menjawab "ireng", berarti ia teman sekampung. Bukan orang asing, luar daerah. Penggunaan kata sandi untuk keamanan dan keselamatan bersama.
Di dunia korupsi kata sandi juga digunakan. Misalnya istilah "apel Malang" dan "apel Washington" Istilah-istilah rahasia ini diciptakan  untuk mengelabui aparat penegak hukum. Penggunaan kata sandi mengalami evolusi, perubahan bentuk, metamorphosis, sesuai zamannya.
Menurut Effendi Gazali perubahan bentuk sandi korupsi sampai ke hal-hal yang tidak pernah dibayangkan. "Metamorfosis tidak akan berhenti, sekali ketahuan, maka tidak akan digunakan lagi. Dan yang paling agak berbahaya dan juga membuat kita seharusnya marah adalah istilah-istilah seperti ini, yaitu santri artinya utusan, murtad artinya menyimpang dari perjanjian sebelumnya, Kiai artinya pejabat kementerian agama, yang lebih kacau lagi ini kalau pengajian artinya tender atau lelang" tegasnya dalam sarasehan pustaka menyambut Hari Buku Nasional  17 Mei, di auditorium KPK (https://acch.kpk.go.id/id/perpustakaan/sarasehan)
Bacaan Injil hari ini menarasikan upaya penyelamatan diri bendahara yang diduga "korupsi". Kepadanya dimintai pertanggungjawaban atas tuduhan telah menghamburkan milik tuannya, seorang kaya. "Berilah pertanggungan jawab atas urusanmu, sebab engkau tidak boleh lagi bekerja sebagai bendahara." Meski tidak menggunakan kata sandi, namun upaya cerdik menyelamatkan diri juga dilakukan bendahara.
Bendahara itu dalam hatinya berkata "Apakah yang harus aku perbuat? Tuanku memecat aku dari jabatanku sebagai bendahara. Mencangkul aku tidak dapat, mengemis aku malu.Â
Aku tahu apa yang akan aku perbuat, supaya apabila aku dipecat dari jabatanku sebagai bendahara, ada orang yang akan menampung aku di rumah mereka". Ia mendapat solusi cemerlang. Lantas ia panggil seorang demi seorang yang berhutang kepada tuannya. Kepada yang berhutang seratus tempayan minyak, dimintanya membuat surat hutang  lima puluh tempayan. Kepada yang berhutang seratus pikul gandum, disuruhnya menulis delapan puluh pikul.
Bendahara yang tidak jujur itu melakukan tindakan antisipatif. Kelak pada saat dipecat tuannya ia bisa minta bantuan kepada mereka yang hutang-hutangnya dikurangi.Â
Mereka akan balas budi dan dengan  senang hati pasti mau menolongnya. Sebab sebagai bendahara, dia berkuasa  menentukan jumlah sewa yang harus dibayar. Keputusan yang dibuatnya sah dan berlaku. Tuannya tidak dapat mengubah keputusannya. Sebuah solusi antisipatif penyelamatan diri yang cerdik, efektif  walau licik, menipu, tidak jujur.
Mengetahui siasat bendaharanya itu, tuannya memberikan pujian atas kelihaian solusinya. Tuan itu mengakui kecerdikan sang bendahara, meski tidak menyetujui tindakan curangnya.
Benarkah anak-anak dunia ini lebih cerdik terhadap sesamanya dari pada anak-anak terang? Jika untuk keselamatan duniawi, orang begitu cerdik, kreatif, antisipatif, kenapa orang tidak melakukan yang sama untuk keselamatan abadinya? Mengapa orang masih begitu "sembrono" lalai, main-main, tidak serius  memandang "enteng" kehidupan kekalnya? Sudahkah dengan cerdik mengupayakan keselamatan kekal?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H