Bacaan Rabu 3 Â November 2021
Luk 14:25 Pada suatu kali banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya. Sambil berpaling Ia berkata kepada mereka: 26 "Jikalau seorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.Â
27 Barangsiapa tidak memikul salibnya dan mengikut Aku, ia tidak dapat menjadi murid-Ku. 28 Sebab siapakah di antara kamu yang kalau mau mendirikan sebuah menara tidak duduk dahulu membuat anggaran biayanya, kalau-kalau cukup uangnya untuk menyelesaikan pekerjaan itu? 29 Supaya jikalau ia sudah meletakkan dasarnya dan tidak dapat menyelesaikannya, jangan-jangan semua orang yang melihatnya, mengejek dia, 30 sambil berkata: Orang itu mulai mendirikan, tetapi ia tidak sanggup menyelesaikannya.Â
31 Atau, raja manakah yang kalau mau pergi berperang melawan raja lain tidak duduk dahulu untuk mempertimbangkan, apakah dengan sepuluh ribu orang ia sanggup menghadapi lawan yang mendatanginya dengan dua puluh ribu orang? 32 Jikalau tidak, ia akan mengirim utusan selama musuh itu masih jauh untuk menanyakan syarat-syarat perdamaian. 33 Demikian pulalah tiap-tiap orang di antara kamu, yang tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya, tidak dapat menjadi murid-Ku.
Renungan
Air. Semakin dekat sumbernya, semakin jernih. Dari lereng gunung sumber  air mengalir. Sehat dan bening. Sebening air mata. Semakin mendekati laut, semakin tidak karuanlah air sungai yang semula transparans adanya. Semakin jauh air dari sumber mata airnya, semakin "buthek"lah ia. Kotor, keruh, bau amis busuk bangkai, bercampur bawur lumpur sampah dapur kasur tempat tidur menyatu bagai bubur dari dubur.
Bagai air, kristianitas pada awalnya jernih, bening, murni, asli. Namun  semakin jauh dari sumber-Nya, dapat semakin "buthek" dan keruh. Secara formal, seseorang terdaftar sebagai murid Kristus namun secara de facto, sikap, perilaku tutur kata tindakannya jauh menampakkan wajah  Kristus. Seolah ia tak pernah "weruh wanuh" kenal sama Kristus. Ia kristen-kristenan,  tanpa menjadi murid-Nya.
Bacaan Injil hari ini dapat dijadikan pijakan untuk merenungkan jalan kemuridan itu. Meski banyak orang berduyun-duyun mengikuti Yesus dalam perjalanan-Nya, namun tidak otomatis mereka menjadi murid-Nya. Ini menunjukkan betapa kesadaran dan kemauan  mendasar sungguh diperlukan ketika orang memutuskan menjadi murid-Nya. Sampai tiga kali Yesus mengulang  "tidak dapat menjadi murid-Ku".
Pertama, tidak dapat menjadi murid-Ku, mereka yang datang kepada-Ku dan tidak membenci bapanya, ibunya, isterinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri. Â Siapapun yang mau menjadi murid Yesus, mesti berani dan mau memprioritaskan, menomorsatukan Yesus. Relasinya dengan Yesus bersifat mutlak, tak tergantikan, mengalahkan relasi dengan kerabat dekat bahkan nyawanya. Yesus begitu berharga amat sangat mahal, bernilai amat sangat tinggi dibandingkan lainnya, sehingga bagi murid-Nya, kehilangan Yesus berarti kehilangan Allah, kehilangan segala-galanya.
Kedua tidak dapat menjadi murid-Ku, mereka yang datang kepada-Ku dan  tidak memikul salibnya dan mengikuti Aku. Memang selalu ada resiko dari setiap pilihan. Murid-murid-Nya mesti sadar dan siap sepenuhnya akan  kesukaran, pengucilan, penganiayaan, penangkapan pemenjaraan dan pembunuhan karena menjadi murid-Nya.Â
Siapapun yang  menjadi murid-Nya mesti  bertahan setia pada pilihan dan siap menanggung segala akibat  pilihannya. Sebagaimana Yesus Sang Guru kehidupan mengalami penolakan, penganiayaan dan wafat disalibkan, demikian nasib murid-murid-Nya pun tidak akan jauh berbeda dari gurunya. Ketika dalam keadaan getir, genting, gawat tergoda untuk meninggalkan Yesus, tiada pilihan lain tetap pikul salib dan mengikuti-Nya. Selalu ada ongkos mahal yang harus dibayar dari  pilihan mengikuti-Nya. "Dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku; tetapi orang yang bertahan sampai pada kesudahannya akan selamat' (Mat 10:22)
Ketiga, tidak dapat menjadi murid-Ku, mereka yang datang kepada-Ku dan  tidak melepaskan dirinya dari segala miliknya. Menjadi manusia lepas bebas dari segala kelekatan pada semua harta bendanya. Menjadi manusia benar, otentik, merdeka, berdaulat. Manusia otonom, yang mampu menguasai diri dari segala kecenderungan rendah yang memperbudak, memerosotkan kualitas kemanusiaan.Â
Tidak terpasung oleh kekayaan, kenikmatan, kesenangan selera suka tidak suka. Tidak terbelenggu oleh sikap apriori, prasangka buruk, jaim jaga image kuasa pangkat nama baik hal-hal yang bersifat lahiriah.Â
Sehingga bersama Paulus dapat berkata "Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan (Flp 3:8-9)
Dengan syarat-syarat itu, siapapun yang mau menjadi murid Yesus, mesti sungguh mempertimbangkan dengan matang. Seperti seorang yang mau mendirikan menara. Membuat angggaran biayanya agar sanggup menyelesaikan. Atau seperti raja yang mau berperang. Mempertimbangkan dahulu jumlah pasukannya sehingga sanggup menghadapi lawan dan menang.
Menjadi murid Yesus adalah melakoni jalan kebenaran dan kehidupan-Nya, apapun yang terjadi, dengan penuh kesadaran dan kemauan merdeka. Tidak berhenti di tengah jalan, apalagi berkhianat sebagai pecundang. Konsisten dan konsekuen sebagai murid-Nya, hingga pada saat-Nya dimampukan  seperti Yesus Sang Guru berucap "Sudah selesai!"  Keluar sebagai pemenang!
Menyesalkah menjadi murid Yesus? Akankah berhenti pensiun dini sebagai murid-Nya? Maukah menjadi murid-Nya sampai selesai dan menang?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H