Bacaan  Minggu, 5 September 2021
Mrk 7:31 Kemudian Yesus meninggalkan pula daerah Tirus dan dengan melalui Sidon pergi ke danau Galilea, di tengah-tengah daerah Dekapolis. 32 Di situ orang membawa kepada-Nya seorang yang tuli dan yang gagap dan memohon kepada-Nya, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas orang itu.Â
33 Dan sesudah Yesus memisahkan dia dari orang banyak, sehingga mereka sendirian, Ia memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu, lalu Ia meludah dan meraba lidah orang itu.Â
34 Kemudian sambil menengadah ke langit Yesus menarik nafas dan berkata kepadanya: "Efata!", artinya: Terbukalah! 35 Maka terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik.Â
36 Yesus berpesan kepada orang-orang yang ada di situ supaya jangan menceriterakannya kepada siapapun juga. Tetapi makin dilarang-Nya mereka, makin luas mereka memberitakannya. 37 Mereka takjub dan tercengang dan berkata: "Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata."
Renungan
Kini sedang panen nangka. Di belakang rumah, ada satu pohon nangka tumbuh dan berbuah.Â
Begitu banyak buahnya. Menjadi kesulitan tersendiri untuk dapat mengamankannya agar tidak jatuh sewaktu matang. Ada satu cabang sedang-sedang saja sebesar lengan, dengan dua buah nangka yang lumayan besar. Rupanya pada cabang itu terlihat tanda-tanda keretakan, tak kuat menanggung beban buahnya.Â
Sekitar setengah jam mempersiapkan peralatan, tiba-tiba terdengar suara gemeretak, "krosak-krosak" dan "bruuuk!". Mendengar bunyi "kemrosak" dan "bruuuk", menantu yang berada di halaman depan segera lari ke belakang. Menengok apa yang terjadi, dan melihat semua aman terkendali.
Andaikata menantu saya tuli, dapat dipastikan, ia tidak akan segera lari mencari tahu sumber bunyi. Telinga normal, mampu mendengar, merupakan karunia luar biasa bagi kita.Â
Kita dapat mengenal dunia dengan lebih cermat, tepat dan aman selamat antara lain  karena berfungsinya indera pendengaran. Mereka yang tuli, terputus komunikasi dengan dunia luarnya, membuatmya tidak dapat berkomunikasi, berdialog, berbicara, berdiskusi dengan dunia luar yang begitu potensial memperkaya dan menyempurnakan kemanusiaannya.Â
Pada umumnya mereka yang bisu diawali dengan lebih dahulu tuli. Ketulian dan kebisuan, membatasi, membelenggu, menghambat, memerosotkan kemanusiaan dan kebersamaan.
Bacaan Injil hari ini menarasikan kisah Yesus menyembuhkan seorang bisu yang gagap. Â
Yesus meninggalkan daerah Tirus, melalui Sidon pergi ke danau Galilea, di tengah-tengah daerah Dekapolis. Di situ orang membawa kepada-Nya seorang yang tuli dan yang gagap dan memohon kepada-Nya, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas orang itu.Â
Yesus memisahkan dia dari orang banyak, sehingga merekasendirian. Ia memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu, Â meludah dan meraba lidah orang itu. Sambil menengadah ke langit Yesus menarik nafas dan berkata kepadanya: "Efata!", artinya: Terbukalah!
Membaca narasi Yesus menengadah ke langit, menarik nafas dan berkata kepadanya: "Efata!", artinya: Terbukalah! Terbukalah telinga orang itu, spontan mengingatkan pada kisah penciptaan manusia, Adam. Â
Tuhan Allah membentuk manusia dari debu tanah dan menghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup. Sebagaimana Allah berhadapan dengan debu tanah dan menghembuskan nafas hidup, demikianlah yang dibuat Yesus. Sambil menengadah ke langit, menarik nafas di hadapan seorang tuli yang gagap, "Efata", kata-Nya. Karya penciptaan Allah teraktualkan  dalam karya Yesus melepas ketulian si tuli.
Demikian juga narasi akibat dari tindakan pemulihan Yesus. Yaitu terbukalah telinga orang itu dan terlepaslah pengikat lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik. Mereka takjub dan tercengang dan berkata: "Ia menjadikan segala-galanya baik ..." Narasi ini juga mengaktualkan kembali dampak karya penciptaan Allah. Setiap kali selesai menciptakan sesuatu, kitab Kejadian menarasikan "Allah melihat bahwa semuanya itu baik".Â
Narasi ini diulang sampai enam kali. Bahkan secara istimewa ketika selesai menciptakan manusia, kitab Kejadian menarasikannya  juga secara istimewa "Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik" Karya pemulihan Yesus mengaktualkan  karya penciptaan Allah sendiri.
Dengan narasi itu diwartakan kepada orang beriman, bahwa Yesus sehakekat dengan Allah Sang Pencipta. Yesus adalah Allah, yang menjadikan segala-galanya baik, yang mengembalikan manusia kepada jati diri yang seperti dimaksudkan sejak semula yaitu sungguh amak baik.
Kebenaran iman ini mesti menjadi pengalaman iman, bukan sekedar pengetahuan, apalagi katanya. Maka dapat dimengerti jika Yesus memisahkan si tuli dari orang banyak, sehingga ia sendirian bersama Yesus.Â
Si tuli ini diberi kesempatan mengalami Yesus, mengalami  jari-Nya yang masuk ke telinganya,  lidahnya diraba, melihat Yesus menengadah ke langit, mendengar tarikan nafas dan mendengar firman-Nya "Efata!". Si tuli ini sungguh-sungguh mengalami Yesus dan dampaknya yang luar biasa. Ia kembali menjadi manusia seperti dikehendaki Allah Pencipta. Manusia yang sungguh amat baik jati diri dan keadaannya!  Â
Sekaligus juga dapat dipahami kenapa Yesus berpesan kepada orang-orang yang ada di situ supaya jangan menceriterakan kepada siapapun juga. Yesus melarang mereka yang tidak mengalami Yesus, membicarakan-Nya.Â
Karena dapat menimbulkan salah paham dan  penyesatan.  Namun kenyataannya larangan-Nya tidak digubris, bahkan  makin luas mereka memberitakannya. Mereka yang tidak mengalami-Nya dan memberitakan-Nya, bagai orang buta menuntun orang buta. Keduanya akan dan dapat terperosok ke dalam lubang yang sama. Ini berbahaya bagi semua.
Manusia yang sungguh amat baik jati diri dan keadaannya adalah manusia terbuka. Manusia terbuka, adalah manusia yang terkoneksi. Â Manusia yang berkat harmonisnya koneksi dengan liyan, Tuhan, sesama dan alam semesta, menjadi manusia yang utuh, penuh, menyeluruh total optimal sebagai manusia yang berkemanusiaan, manusiawi yang berimensi ilahi.Â
Untuk ini, segala yang menghambat, merusak, mengurangi, memperlemah, memutuskan, memerosotkan, mematikan koneksitasnya mesti dilepaskan. Yesus telah melakukannya. Yang tuli dijadikan-Nya mendengar, Â yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata.
Dimana posisi diri, sebagai orang tuli dan bisu gagap dalam kehidupan bersama?Â
Cenderungkah bersikap menutup diri membatasi koneksi ataukah membuka diri menjalin koneksi dan tali silaturahmi dengan siapapun tanpa batas? Peran manakah yang dilakoni sebagai pembungkam liyan, ataukah pemerdeka dan pengeras suara  liyan yang tuli dan gagap?Â
Pada Bulan Kitab Suci Nasional 2021 ini, maukah semakin mengikuti gaya hidup Yesus, menjadi sahabat setia dalam perjalanan, mengaktualkan  ketakjuban "Ia membuat segala-galanya baik, yang tuli mendengar, yang bisu bersorak sorai?"
Yang terbuka, hidup benar sebagai manusia benar dengan Allah benar yang esa, kuasa dan kasih-Nya tanpa batas. Hidup penuh syukur,  sukacita,  semangat,  jadi berkat, pada saat untung dan malang, suka dan duka, sehat maupun sakit.  Ini  misteri. .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H