Mohon tunggu...
B Budi Windarto
B Budi Windarto Mohon Tunggu... Guru - Pensiunan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Lahir di Klaten 24 Agustus 1955,.Tamat SD 1967.Tamat SMP1970.Tamat SPG 1973.Tamat Akademi 1977

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Akhirnya Si Benar dan Si Sesat Dipisahkan!

27 Juli 2021   09:42 Diperbarui: 27 Juli 2021   09:59 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Perilaku si batur itu sejatinya merupakan potret perilaku mereka yang pro terhadap gerakan iblis laknat. Lihatlah dunia medsos, gerakan pro iblis ini bagai tsunami memporak porandakan bangunan etis informasi dan komunikasi. Informasi yang benar, berharga bagai mutiara, tenggelam tak terdengar di tengah  melimpah ruahnya jutaan informasi sampah, sesat dan jahat.  

Namun "becik ketitik, ala ketara". Cepat atau lambat, pada akhirnya orang benar, tetap dan pasti keluar sebagai pemenang. Sedangkan orang jahat dan sesat, sekalipun nampak perkasa, jaya pada awalnya, namun pada akhirnya pasti tragis nasib hidupnya.

Di dunia pertanian, gandum tetaplah gandum, lalang tetaplah lalang. Tak mungkin gandum menghasilkan lalang, atau lalang menghasilkan gandum. Namun dinamika dalam dunia manusia berbeda. Manusia yang bertipe gandum, jika tidak berhati-hati akhirnya berubah menjadi lalang. Tidak sedikit pemuka agama yang akhirnya jadi preman. Demikian pula manusia bertipe lalang. Karena mengalami pertobatan mereka berubah jadi gandum. Banyak preman-preman yang bertobat, hidup lebih religius, kudus, dan menjadi ahli waris surga.  

Tak selamanya mendung itu kelabu. Tak selamanya malam itu gelap gulita. Hidup itu kompleks dan terus berproses.  Perubahan dan pertobatan merupakan bianglala dinamika kehidupan Maka selama masih hidup di dunia mesti bijaksana, sabar, tidak "grusa-grusu". Jangan arogan berlaku sebagai tuhan, memvonis kafir, najis, jahat, sesat, laknat, haram, halal darahnya terhadap liyan yang beda.

Apa yang dapat dipetik dari permenungan ini? Bagaimana kehidupan diri? Pro gerakan Yesus atau pro gerakan iblis? Gampang dan sukakah, berdasar kaca mata diri berlaku sebagai tuhan, menjatuhkan vonis kepada liyan? Bagaimana jika pada saat kematian menyaksikan nasib  si kafir, si pelacur, si LGBT yang Anda vonis dan eksekusi karena halal darahnya, justru berada di pangkuan Abraham, sementara Anda meratapi diri, tercampakkan dalam dapur api,  penuh kebencian dan kertakan gigi?

Yang tidak meng-ALLAH-kan diri, hidup benar sebagai manusia benar dengan Allah benar yang esa, kuasa dan kasih-Nya tanpa batas. Hidup penuh syukur,  sukacita,  semangat, jadi berkat, pada saat untung dan malang, suka dan duka, sehat maupun sakit.  Ini  misteri. Mengalahkan diri

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun