Bacaan Rabu 21 Juli 2021
Mat 13:1 Pada hari itu keluarlah Yesus dari rumah itu dan duduk di tepi danau. 2 Maka datanglah orang banyak berbondong-bondong lalu mengerumuni Dia, sehingga Ia naik ke perahu dan duduk di situ, sedangkan orang banyak semuanya berdiri di pantai. 3 Dan Ia mengucapkan banyak hal dalam perumpamaan kepada mereka. Kata-Nya: "Adalah seorang penabur keluar untuk menabur. 4 Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung dan memakannya sampai habis. 5 Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu benih itupun segera tumbuh, karena tanahnya tipis. 6 Tetapi sesudah matahari terbit, layulah ia dan menjadi kering karena tidak berakar. 7 Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, lalu makin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati. 8 Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah: ada yang seratus kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat. 9 Siapa bertelinga, hendaklah ia mendengar!"
Renungan
Sekitar tahun 60-an, tontonan dan gambar wayang begitu akrab dengan kami, bocah-bocah  kampung. Biasanya bocah-bocah kampung membeli satu lembar kertas dengan 100 gambar  wayang, jika tidak salah masing-masing berukuran sekitar 3 cm x 4 cm. Setiap gambar wayang  bernomor,  mulai dari 1 sampai 100. Sehingga jika kertas itu dipotong-potong, terkumpullah 100 gambar.
Dari tontonan wayang dan gambar wayang itu kami, bocah-bocah mengenali kebenaran kehidupan. Bocah-bocah minimal mengenal dua semangat dasar yang ditawarkan untuk dipilih dan dihidupi. Semangat Pandawa atau Kurawa. Â Bersikap ksatria, berani sendirian seperti Pandawa atau main keroyokan seperti Kurawa.Â
Seorang ksatria, saat berkelahi memilih seperti Pandawa, satu lawan satu. Menang kalah keduanya ksatria. Bocah-bocah begitu "mongkog" bangga saat mendengar orang berkomentar kamu bersikap seperti Pandawa. Bocah-bocah akan menghindar dari main keroyokan, "nggrudug", tawuran massal, amuk massa, demo berjilid-jilid seperti Kurawa lakukan.
Ciri pokok kaum Kurawa, "ingah-ingih", serba bloon, tak berani tampil, saat sendirian. Namun begitu ada "bala"-nya, ada teman banyak orang,  bersama massa yang mendukungnya, berubah menjadi kesetanan, garang, bengis, sadis, berani berapi-api, brutal, barbar, ngawur Sebutan "kaya Kurawa", seperti Kurawa, merupakan  sebutan hina, melecehkan dan memalukan.Â
Terlebih sebutan Sengkuni atau Durna.  Sebutan ini dijadikan semacam "nama babtis" untuk pribadi yang  licik, suka nyinyir, suka mengadu domba, memecah belah, jadi dalang kerusuhan, keonaran, bikin gaduh, riuh ricuh keruh, munafik, penuh tipu daya, aib, cacat cela jiwa, hina, nista, suka main kayu, suka kekerasan, "mencla-mencle", kata-katanya tak dapat dipegang, tidak konsisten dan konsekuen, suka menghasut,  suka menebar dan menyebar berita bohong, memfitnah, dll. Pribadi yang  rendah kualitas kemanusiaannya.
Sebagaimana media wayang pernah dan dapat digunakan sebagai sarana membatinkan nilai-nilai  kehidupan, bacaan Injil hari ini menampilkan penggunaan perumpamaan sebagai media pewartaan Kerajaan Allah.Â
Kerajaan Allah, merupakan peristiwa, situasi dan kondisi di mana ketika Allah yang berbelas kasih, disambut, dikasihi dan dimuliakan, Â menjadi nyata dalam penyambutan terhadap sesamanya dengan penuh belas kasih dan pemuliaan.Â
Kerajaan Allah sebagai kebenaran, sebuah kabar baik yang tidak semua orang mampu mencernanya. Terhadap orang banyak yang berbondong mengerumuni-Nya, yang sederhana hidupnya, Yesus mengucapkan banyak hal dalam perumpamaan.
Salah satu perumpamaan-Nya tentang penabur. Adalah seorang penabur ke luar untuk menabur. Pada waktu menabur, sebagian benih  jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung dan memakannya sampai habis.Â
Sebagian jatuh di tanah berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya. Benih itupun segera tumbuh. Karena tidak berakar, tipis tanahnya, sesudah matahari terbit, layulah ia dan kering.Â
Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri. Â Makin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati. Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah: ada yang seratus kali lipat, enam puluh kali lipat, tiga puluh kali lipat.
Salah satu cara memahami perumpamaan adalah memfokuskan perhatian pada yang terakhir. Sorotan pada yang terakhir dari perumpamaan penabur itu adalah sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah: ada yang seratus kali lipat, enam puluh kali lipat, tiga puluh kali lipat. Konteks bacaan Injil ini adalah adanya sikap penolakan terhadap Yesus. Ketika berhadapan dengan para ahli Taurat dan orang Farisi, pemuka agama Yahudi, yang menolak-Nya, Yesus menyebut mereka sebagai angkatan yang jahat dan tidak setia.Â
Di tengah-tengah penolakan terhadap-Nya, akan tetap ada benih-benih  jatuh di tanah subur, yang menghasilkan panen melimpah ruah, berkali-kali lipat. Bagaikan di tengah mayoritas Kurawa, tetap adalah Pandawa lima.Â
Di tengah rintangan dan penolakan, akan tetap ada orang-orang yang menerima-Nya. Mereka akan membatinkan kebenaran nilai-nilai Kerajaan Allah, konsisten dan konsekuen di tengah hambatan rintangan, setia bertahan dalam kesukaran, sehingga menghasilkan buah melimpah.Â
Kehadiran Yesus Sang Kerajaan Allah selalu mengundang pro dan kontra. Yang pro akan berbuah limpah. Yang kontra, akan layu lenyap dan jadi layon, mati. Fokuslah pada yang menerima-Nya, sebab panen raya akan dituai pada saat-Nya.
Apa yang dapat dipetik dari permenungan ini? Bagaimana keadaan diri? Masih adakah benih kebaikan, kebenaran, keindahan Kerajaan Allah? Tanah macam apakah, berbatu, bersemak duri ataukah tanah yang baik bagi persemaian kabar baik? Yang pro Allah, sudahkah berbuah limpah?
Yang pro, hidup benar sebagai manusia benar dengan Allah benar yang esa, kuasa dan kasih-Nya tanpa batas. Hidup penuh syukur,  sukacita,  semangat, jadi berkat, pada saat untung dan malang, suka dan duka, sehat maupun sakit.  Ini  misteri. Prodeo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H