Mohon tunggu...
B Budi Windarto
B Budi Windarto Mohon Tunggu... Guru - Pensiunan
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Lahir di Klaten 24 Agustus 1955,.Tamat SD 1967.Tamat SMP1970.Tamat SPG 1973.Tamat Akademi 1977

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jalan Menjadi Anak Allah!

1 Maret 2021   13:59 Diperbarui: 1 Maret 2021   14:36 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bacaan Injil hari ini, Senin 1 Maret 2021 (Luk 6:36-38)

Lukas 6 : 36 Hendaklah kamu murah hati, sama seperti Bapamu adalah murah hati." 37 "Janganlah kamu menghakimi, maka kamupun tidak akan dihakimi. Dan janganlah kamu menghukum, maka kamupun tidak akan dihukum; ampunilah dan kamu akan diampuni. 38 Berilah dan kamu akan diberi: suatu takaran yang baik, yang dipadatkan, yang digoncang dan yang tumpah ke luar akan dicurahkan ke dalam ribaanmu. Sebab ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu."

Renungan

Ketika di jalanan, aneka macam tulisan di pantat truk dengan mudah ditemukan. Salah satu nya berbunyi "Mbeciki sing mbeciki, ngalani sing ngalani, iku lumrah. Mbeciki sing ngalani iku jempol. Ngalani sing mbeciki iku syetan. (Membaiki yang membaiki, menjahati yang menjahati itu biasa. Membaiki yang menjahati itu jempol, hebat. Menjahati yang membaiki itu setan).

Paling tidak ada dua potret manusia dapat ditemukan dibalik kalimat inspiratif itu..Potret manusia biasa, dan potret manusia jempolan. Potret manusia biasa berprinsip keseimbangan, tabur tuai,. Siapapun bakal menuai yang ditaburkan. Menabur kebaikan, menuai kebaikan. Menyemai kejahatan, memanen kejahatan. 

Menebar angin, memetik puting beliung. Jika tidak mengasah sikap "eling" (waspada), tipe orang ini cenderung jatuh ke praktek balas jasa dan balas dendam. Muncul pamrih, punya maksud tersembunyi di balik sikap, tindakan dan kata-katanya. Ada udang dibalik batu, tidak tulus. Jika pamrihnya tak terpenuhi cepat berubah jadi benci, amarah, lakukan ancaman, tebar terror kekerasan, penganiayaan dan puncaknya pembunuhan. 

Manusia ini menjadi kesetanan. Menjahati bukan hanya kepada yang menjahati, melainkan juga kepada yang membaikinya. Sementara potret manusia jempolan adalah membaiki yang menjahati. Dia sebenarnya mampu dan berhak menjahati yang menjahati, namun memilih tetap membaikinya. Pilihan sulit namun baik, jempol, hebat!

Kalimat edukatif di pantat truk itu - dengan dua potret manusia - dapat disandingkan dengan sabda Yesus dalam bacaan Injil (Luk 6:36-38) hari ini. Yesus mengingatkan murid-muridNya untuk tidak menjadi manusia biasa. Siapa yang menghakimi, akan dihakimi. Yang menghukum, akan dihukum. Yang mengampuni, akan diampuni. Yang mengukur dengan suatu ukuran, akan diukur dengan ukuran yang sama. 

Yang memperlakukan kepada orang lain, akan diperlakukan juga kepadanya. Hati-hati gunakan pedoman balas jasa, balas budi. Sebab gampang berubah jadi balas dendam. Sekaligus Yesus menghendaki untuk menjadi manusia jempolan. Manusia yang murah hati seperti Bapa, Allah yang murah hati.

Tolok ukur kebaikan adalah Sang Kebaikan, Allah sendiri. Dia bagaikan hujan membasahi bumi. Yang jahat dan yang baik semua dihujani, dibasahi dengan hujan yang sama. Dia bak mentari menyinari bumi, Yang syukur maupun yang kufur disinari dengan sinar yang sama pula. Dia lakukan penuh kasih tanpa pamrih, apalagi intimidasi, kriminalisasi dan diskriminasi. 

Manusia jempolan, adalah manusia kualitas ilahi. Manusia jempolan diangkat dari anak manusia menjadi anak Allah. Seperti anak tangga atau anak kunci tak perlu tangga atau kunci melahirkan. Demikian pula untuk menjadi anak Allah tidak perlu Allah melahirkan. Juga tidak memerlukan bidan. Dia tidak beranak atau memperanakkan. Inilah jalan menjadi Anak Allah. Dengan membaiki yang menjahati, mengasihi yang memusuhi, mendoakan yang mencaci, memintakan berkat yang mengutuk. Demikian jalan manusia jempolan, manusia ilahi, anak Allah sejati!

Termasuk tipe manusia manakah? Apakah tipe manusia biasa atau manusia jempolan? Maukah naik kelas menjadi manusia jempolan,manusia berkualitas anak Allah? Sebab hanya yang sungguh menjadi anak Allah, hidup penuh syukur sukacita semangat jadi berkat, Ini sebuah misteri dan penyelenggaraan ilahi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun