Mohon tunggu...
Budi Brahmantyo
Budi Brahmantyo Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Aktivis geotrek; koordinator KRCB (Kelompok Riset Cekungan Bandung)'penulis buku "Geologi Cekungan Bandung" (Penerbit ITB, 2005), "Wisata Bumi Cekungan Bandung" (Trudee, 2009) dan "Geowisata Bali Nusa Tenggara" (Badan Geologi, 2014), dan "Sketsa Geologi" (Penerbit ITB, 2016)

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Masih Sekitar Batu Akik: Pengalaman Mistik

5 Agustus 2015   18:19 Diperbarui: 5 Agustus 2015   18:19 2829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Trend batu akik mulai menurun. Hati-hati jangan terjebak seperti fenomena tanaman gelombang cinta atau ikan louhan. Beli ratusan juta, untuk kemudian tiba-tiba jatuh. Bisa gila.

[caption caption="Kali lawing, sumber jasper hijau si Nogo Sui"][/caption]

Namun walau trendnya sedang menurun, artikel saya di Kompasiana berjudul 100 Cerita “Serem” Batu Akik, yang merupakan resensi buku 100 Cerita Batu Mulia Indonesia karya Ir. H. Sujatmiko, justru masih banyak yang membacanya. Peningkatan jumlah pembacanya luar biasa. Sejak artikel itu diunggah 23 Juli 2015 sudah mendapatkan 3.978 pembaca pada tanggal 3 Agustus 2015. Besoknya 4 Agustus meningkat menjadi 4.246 pembaca dan hari ini 5 Agustus mencapai 4.462 pembaca. Ini berarti rata-rata terdapat 343,23 pembaca per hari.

Dari 14 tulisan yang sempat diunggah ke Kompasiana sejak 13 Agustus 2012 (termasuk pemalas rupanya), artikel 100 Cerita Serem Batu Akik merupakan yang paling banyak dibaca. Rekornya mengalahkan fenomena brocken spectre (Penampakan Dewata di Puncak Batur) yang meraih 3.480 pembaca hingga hari ini sejak diunggah 10 Juli 2015 (133,85 pembaca/hari). Tapi raihan banyak pembaca itu pada minggu pertama saja, sedangkan hari-hari ini paling dibaca 1 atau 2 orang pembaca saja.

Informasi batu akik rupanya masih diburu. Kita lihat saja sampai seberapa lama demam batu akik melanda Indonesia. Ketika saya datang ke seorang pengrajin batu mulia (begitu sebenarnya istilah yang benar, karena akik atau agate hanya satu jenis dari banyak jenis batu mulia / gemstone), ia antara mengeluh dan bertanya, “sampai kapan ya demam batu ini, kang… mudah-mudahan bisa menerus…” Tentu saja yang namanya hobby pasti ada masa surutnya, ada masa bosan, kecuali mereka yang betul-betul menghayatinya.

Saya juga tidak tahu jawabannya, maka saya jawab sekenanya, “yaaah… seharusnya jangan kaitkan batu mulia dengan hal-hal yang bersifat mistik, tapi beri pemahaman batu mulia dari segi keindahannya atau kelangkaan saja, insyaallah kesenangan itu akan langgeng…”

Ia diam saja. Mungkin merasa kalau batu akik (menggunakan istilah ini saja yang popular walaupun salah, daripada batu mulia) selalu dikaitkan dengan mistik. Tapi ada benarnya mungkin.

Batu cincin saya yang pertama melekat lama di jari manis kiri saya adalah jasper hijau dari Klawing, Purbalingga. Di kalangan tukang akik dikenal sebagai Nogo Sui. Di dunia internasional disebut pula bloodstone (batu darah). Bahkan orang-orang Katolik Prancis menyebutnya Le Sang du Christ (batu darah Kristus). Mungkin karena umumnya terdapat bercak warna merah pada masa dasar hijau. Begitu pula punya saya.

Saya sebagai muslim merasa biasa-biasa saja dengan batu cincin saya. Bahkan saya tidak akan memperlakukan khusus kalau batu cincin saya dikatakan ada ‘isi’nya. Mau ke toilet saya pake juga. Di rumah pas mau tidur saya copot dan disimpan di mangkuk bersama cincin batu mulia lainnya. Cincin jasper itu suka saya pakai karena ada kebanggaan batunya saya temukan sendiri di hulu Kali Klawing saat ekskursi batu mulia bersama Pak Sujatmiko.

Namun pengalaman berikut membuat saya sempat bergidik dan tidak habis pikir.  Dengan memakai cincin batu jasper itu, saya survei ke Gunung Batu di Lembang, sekitar 15 km utara Bandung. Tempat itu merupakan bukit yang berada pada jalur Sesar Lembang yang terkenal di kalangan ilmu kebumian. Saat saya mendaki dan mencapai puncaknya pada ketinggian 1.300 m dpl (tapi hanya kira-kira 50 m dari kaki bukit), seseorang sedang tekun berlatih pernafasan.

Dengan kuda-kuda yang mantap, orang itu menggerakan tangannya dalam jurus-jurus tertentu secara pelan dan terkontrol. Matanya terpejam khusyu. Saya kemudian lewat begitu saja dalam jarak 2 meteran dari orang itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun