Trend batu akik mulai menurun. Hati-hati jangan terjebak seperti fenomena tanaman gelombang cinta atau ikan louhan. Beli ratusan juta, untuk kemudian tiba-tiba jatuh. Bisa gila.
[caption caption="Kali lawing, sumber jasper hijau si Nogo Sui"][/caption]
Namun walau trendnya sedang menurun, artikel saya di Kompasiana berjudul 100 Cerita “Serem” Batu Akik, yang merupakan resensi buku 100 Cerita Batu Mulia Indonesia karya Ir. H. Sujatmiko, justru masih banyak yang membacanya. Peningkatan jumlah pembacanya luar biasa. Sejak artikel itu diunggah 23 Juli 2015 sudah mendapatkan 3.978 pembaca pada tanggal 3 Agustus 2015. Besoknya 4 Agustus meningkat menjadi 4.246 pembaca dan hari ini 5 Agustus mencapai 4.462 pembaca. Ini berarti rata-rata terdapat 343,23 pembaca per hari.
Dari 14 tulisan yang sempat diunggah ke Kompasiana sejak 13 Agustus 2012 (termasuk pemalas rupanya), artikel 100 Cerita Serem Batu Akik merupakan yang paling banyak dibaca. Rekornya mengalahkan fenomena brocken spectre (Penampakan Dewata di Puncak Batur) yang meraih 3.480 pembaca hingga hari ini sejak diunggah 10 Juli 2015 (133,85 pembaca/hari). Tapi raihan banyak pembaca itu pada minggu pertama saja, sedangkan hari-hari ini paling dibaca 1 atau 2 orang pembaca saja.
Informasi batu akik rupanya masih diburu. Kita lihat saja sampai seberapa lama demam batu akik melanda Indonesia. Ketika saya datang ke seorang pengrajin batu mulia (begitu sebenarnya istilah yang benar, karena akik atau agate hanya satu jenis dari banyak jenis batu mulia / gemstone), ia antara mengeluh dan bertanya, “sampai kapan ya demam batu ini, kang… mudah-mudahan bisa menerus…” Tentu saja yang namanya hobby pasti ada masa surutnya, ada masa bosan, kecuali mereka yang betul-betul menghayatinya.
Saya juga tidak tahu jawabannya, maka saya jawab sekenanya, “yaaah… seharusnya jangan kaitkan batu mulia dengan hal-hal yang bersifat mistik, tapi beri pemahaman batu mulia dari segi keindahannya atau kelangkaan saja, insyaallah kesenangan itu akan langgeng…”
Ia diam saja. Mungkin merasa kalau batu akik (menggunakan istilah ini saja yang popular walaupun salah, daripada batu mulia) selalu dikaitkan dengan mistik. Tapi ada benarnya mungkin.
Batu cincin saya yang pertama melekat lama di jari manis kiri saya adalah jasper hijau dari Klawing, Purbalingga. Di kalangan tukang akik dikenal sebagai Nogo Sui. Di dunia internasional disebut pula bloodstone (batu darah). Bahkan orang-orang Katolik Prancis menyebutnya Le Sang du Christ (batu darah Kristus). Mungkin karena umumnya terdapat bercak warna merah pada masa dasar hijau. Begitu pula punya saya.
Saya sebagai muslim merasa biasa-biasa saja dengan batu cincin saya. Bahkan saya tidak akan memperlakukan khusus kalau batu cincin saya dikatakan ada ‘isi’nya. Mau ke toilet saya pake juga. Di rumah pas mau tidur saya copot dan disimpan di mangkuk bersama cincin batu mulia lainnya. Cincin jasper itu suka saya pakai karena ada kebanggaan batunya saya temukan sendiri di hulu Kali Klawing saat ekskursi batu mulia bersama Pak Sujatmiko.
Namun pengalaman berikut membuat saya sempat bergidik dan tidak habis pikir. Dengan memakai cincin batu jasper itu, saya survei ke Gunung Batu di Lembang, sekitar 15 km utara Bandung. Tempat itu merupakan bukit yang berada pada jalur Sesar Lembang yang terkenal di kalangan ilmu kebumian. Saat saya mendaki dan mencapai puncaknya pada ketinggian 1.300 m dpl (tapi hanya kira-kira 50 m dari kaki bukit), seseorang sedang tekun berlatih pernafasan.
Dengan kuda-kuda yang mantap, orang itu menggerakan tangannya dalam jurus-jurus tertentu secara pelan dan terkontrol. Matanya terpejam khusyu. Saya kemudian lewat begitu saja dalam jarak 2 meteran dari orang itu.
Tapi apa yang terjadi? Tiba-tiba orang itu bergetar hebat. Saya terpana. Ada apa dengan orang ini? Belum habis keterpanaan, orang itu tiba-tiba ambruk jatuh terduduk, dan tampak seperti lemas. Matanya segera terbuka, dan langsung memandang saya. Waduh, apa masalahnya nih?
“Akang bawa apa?” tanyanya. Saya agak sedikit bingung dengan pertanyaan itu. Di dalam ransel, saya membawa banyak barang untuk survei geologi: buku catatan, alat-alat tulis, peta, kompas geologi, GPS, botol air, makanan ringan, HP, paling-paling yang agak “menyeramkan” adalah palu geologi.
“Errrr.. ini? palu geologi?” Pertanyaannya saya jawab dengan pertanyaan pula.
“Bukan… tapi itu..” katanya sambil matanya tertuju pada cincin batu jasper saya.
Deg! Ada apa dengan batu cincin jasper saya sampai bisa merubuhkan seorang pendekar seperti orang ini?
Waduh saya jadi bergidik mendapati kenyataan itu. “Wah cincin saya apa ada isinya?”
“Engga. Energinya kuat sekali, kang, sampai melemaskan saya,” lanjutnya, “pake saja terus, bagus buat akang…”
Saya tidak habis pikir bagaimana hubungannya cincin batu biasa saja -- indah juga tidak -- bisa berpengaruh besar pada orang berilmu kanuragan itu? Setelah saya ceritakan kepada kolega senior saya, komentarnya cukup menyejukkan hati, “bukan batunya, bud… itu justru kamunya yang rajin sholat dan berzikir, lalu energi ilahiahnya terpancar melalui batu itu.” Yah Alhamdulillah kalau memang demikian.
Saya jadi teringat saat akan tugas belajar ke Jepang di tahun 1995. Atas inisiatif adik saya, ia membekali saya cincin dengan mata batu hitam pemberian seorang kiai di Cirebon. Ia berpesan bahwa batu cincin ini tidak ada apa-apanya alias tidak ada isinya. Akan tetapi supaya aman dan lancar selama tugas belajar di Jepang, saya diharuskan membaca sholawat rasul sebanyak 50 kali setiap selesai sholat wajib dengan cincin terpasang di jari tangan. Kata kiai itu, batu cincin itu hanya sebagai penghantar agar doa kita terdengar dan terkirim dengan lancar.
Begitulah mungkin khasiat cincin. Entah bagaimana energi itu terpancar dan terhantar. Tapi bukan karena ada jin-nya!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H