Mohon tunggu...
Budi Brahmantyo
Budi Brahmantyo Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Aktivis geotrek; koordinator KRCB (Kelompok Riset Cekungan Bandung)'penulis buku "Geologi Cekungan Bandung" (Penerbit ITB, 2005), "Wisata Bumi Cekungan Bandung" (Trudee, 2009) dan "Geowisata Bali Nusa Tenggara" (Badan Geologi, 2014), dan "Sketsa Geologi" (Penerbit ITB, 2016)

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup

Masih Sekitar Batu Akik: Pengalaman Mistik

5 Agustus 2015   18:19 Diperbarui: 5 Agustus 2015   18:19 2829
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tapi apa yang terjadi? Tiba-tiba orang itu bergetar hebat. Saya terpana. Ada apa dengan orang ini? Belum habis keterpanaan, orang itu tiba-tiba ambruk jatuh terduduk, dan tampak seperti lemas. Matanya segera terbuka, dan langsung memandang saya. Waduh, apa masalahnya nih?

“Akang bawa apa?” tanyanya. Saya agak sedikit bingung dengan pertanyaan itu. Di dalam ransel, saya membawa banyak barang untuk survei geologi: buku catatan, alat-alat tulis, peta, kompas geologi, GPS, botol air, makanan ringan, HP, paling-paling yang agak “menyeramkan” adalah palu geologi.

“Errrr.. ini? palu geologi?” Pertanyaannya saya jawab dengan pertanyaan pula.

“Bukan… tapi itu..” katanya sambil matanya tertuju pada cincin batu jasper saya.

Deg! Ada apa dengan batu cincin jasper saya sampai bisa merubuhkan seorang pendekar seperti orang ini?

Waduh saya jadi bergidik mendapati kenyataan itu. “Wah cincin saya apa ada isinya?”

“Engga. Energinya kuat sekali, kang, sampai melemaskan saya,” lanjutnya, “pake saja terus, bagus buat akang…”

Saya tidak habis pikir bagaimana hubungannya cincin batu biasa saja -- indah juga tidak -- bisa berpengaruh besar pada orang berilmu kanuragan itu? Setelah saya ceritakan kepada kolega senior saya, komentarnya cukup menyejukkan hati, “bukan batunya, bud… itu justru kamunya yang rajin sholat dan berzikir, lalu energi ilahiahnya terpancar melalui batu itu.” Yah Alhamdulillah kalau memang demikian.

Saya jadi teringat saat akan tugas belajar ke Jepang di tahun 1995. Atas inisiatif adik saya, ia membekali saya cincin dengan mata batu hitam pemberian seorang kiai di Cirebon. Ia berpesan bahwa batu cincin ini tidak ada apa-apanya alias tidak ada isinya. Akan tetapi supaya aman dan lancar selama tugas belajar di Jepang, saya diharuskan membaca sholawat rasul sebanyak 50 kali setiap selesai sholat wajib dengan cincin terpasang di jari tangan. Kata kiai itu, batu cincin itu hanya sebagai penghantar agar doa kita terdengar dan terkirim dengan lancar.

Begitulah mungkin khasiat cincin. Entah bagaimana energi itu terpancar dan terhantar. Tapi bukan karena ada jin-nya!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun