Mohon tunggu...
Budi Brahmantyo
Budi Brahmantyo Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Aktivis geotrek; koordinator KRCB (Kelompok Riset Cekungan Bandung)'penulis buku "Geologi Cekungan Bandung" (Penerbit ITB, 2005), "Wisata Bumi Cekungan Bandung" (Trudee, 2009) dan "Geowisata Bali Nusa Tenggara" (Badan Geologi, 2014), dan "Sketsa Geologi" (Penerbit ITB, 2016)

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Geotrek Krakatau: Ubah Saja Status CA ke TWA

6 Juli 2015   23:05 Diperbarui: 6 Juli 2015   23:05 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hampir sebanyak 70-an anak manusia dengan semangat mencoba menggapai Krakatau. Mereka berasal dari berbagai kalangan. Ada PNS, pegawai swasta, pekerja kreatif, dosen, mahasiswa, pengangguran, bahkan siswa SD. Semuanya satu tujuan: mendarat di Gunung Anakkrakatau, gunung yang tumbuh dari letusan dahsyat Krakatau yang bersejarah di tahun 1883.

Mereka tergabung dalam satu kegiatan yang diberi judul Jelajah Geotrek Anakkrakatau, dikoordinasi oleh Mata Bumi. Namun enaknya sebut saja Geotrek Krakatau. Jumat 5 Juni 2015 sore, bus menghantar ketujuhpuluh orang ini ke arah Merak di Banten untuk menyeberang dengan ferri ke Sumatra. Sabtu subuh 6 Juni 2015, ferri merapat di Bakauheni, Lampung, setelah meninabobokan dalam posisi tidur yang bervariasi (dan yang jelas tidak nyaman) di atas ‘hotel maju’ itu. Lalu angkot-angkot kuning digeber ke arah Kalianda dan tiba di Pelabuhan Canti di kaki barat daya G. Rajabasa.

Beberapa saat kemudian, peserta Geotrek Krakatau sudah mengalun di atas dua kapal nelayan yang disewa untuk mengarungi Selat Sunda. Udara cerah, matahari bersinar hangat, dan ombak cukup tenang, sehingga perjalanan di atas kapal cukup menyenangkan. Menyenangkan juga bagi beberapa peserta yang melanjutkan tidur.

Canti adalah pelabuhan yang kelihatannya mulai ramai dikunjungi para petualang yang kalau pun tidak ke Gunung Anakkrakatau, tujuan yang cukup menarik adalah ke Pulau Sebesi. Di sekitar pulau ini banyak pulau-pulau kecil dengan perairan yang tenang dan jernih sehingga baik untuk kegiatan sonokeling (snorkelling) atau menyelam, atau sekedar bermain air di pantai-pantainya yang berpasir putih.

[caption caption="Kapal yang mengantar ke Anakkrakatau (Foto: Tatan)"][/caption]

Dua kapal mengarah ke barat daya, persis pada kelurusan timur laut – barat daya yang menghubungkan G. Rajabasa, Pulau Sebuku, Pulau Sebesi, Komplek Krakatau, bahkan jauh ke Pulau Panaitan di Ujungkulon Banten. Jadi pulau-pulau ini saling berlapis dalam pandangan dari kapal yang berjalan mengikuti kelurusan itu. Tentu saja Krakatau tidak terlihat karena terhalangi Pulau Sebesi yang tinggi menjulang kira-kira 800 m di atas permukaan laut rata-rata.

[caption caption="Krakatau dalam satu kelurusan dg Sebesi, Sebuku, dan Rajabasa"]

[/caption]

Jelajah Geotrek Krakatau pertama-tama mampir di pantai Pulau Sebuku Kecil untuk merasakan pasir pantainya yang putih tetapi tercampur pasir besi, pecahan terumbu karang, dan beberapa batu apung yang tidak lain kemungkinan besar produk letusan Krakatau 1883. Dari Pulau Sebuku Kecil, kapal mengarah ke Pulau Umang-umang di lepas pantai Sebesi. Pulau kecil yang cantik ini terdiri dari lava basaltis-dioritis, beberapa menunjukkan adanya kekar kolom. Belum pasti benar apakah lava yang mengalir dari Gunung Sebesi atau berupa kerucut tersendiri. Ya, Pulau Sebesi sejatinya adalah gunung api. Namun diperkirakan sudah mati. Morfologi bentuk kawah masih jelas terlihat di puncaknya.

[caption caption="mampir di pantai Pulau Sebuku Kecil (foto: Herman Sutomo)"]

[/caption]

Malam minggu dihabiskan dengan menginap di beberapa homestay di Pulau Sebesi. Pulau ini mempunyai populasi yang cukup besar. Penduduknya kebanyakan adalah petani (pisang, kopi, kakao) selain sebagian kecil nelayan. Bahkan sekolah hingga tingkat SMA sudah ada di pulau ini.

Memang di jelajah geotrek kali ini, tidur dijamin tidak nyaman. Setelah malam pertama di atas feri, malam kedua ini pun dipaksa bangun jam 2 dini hari.  Hal itu untuk mengejar pendaratan di Anakkrakatau pada subuh hari dan menjelajah lereng Gunung Anakkrakatau saat Matahari tidak terlalu tinggi. Lalu, tidur pun dilanjut di atas kapal. Lumayan ada waktu 2 jam sebelum kapal mendarat di pantai Anakkrakatau yang statusnya merupakan Cagar Alam.

Si Anak yang Sedang Tumbuh Berkembang

Gunung Anakkrakatau yang lahir -- dalam faham manusia daratan: muncul ke permukaan Selat Sunda -- pada tahun 1928 dengan letusan jet. Pada tahun 1929, seorang bangsawan Jepang Marquis Tokugawa mengikuti ekskursi pra-konferensi Pertemuan Ilmiah Asia-Pasifik, menyaksikan telah munculnya daratan di titik tersebut. Pada tahun 1930, dipastikan daratan puncak gunung muncul ke permukaan laut dan aktif erupsi. Kemunculan gunung api baru di kaldera Krakatau itu kemudian diberi nama Anakkrakatau.

[caption caption="Gambar dari Royal Geographical Society memperlihatkan Krakatau sebelum dan sesudah letusan 1883"]

[/caption]

Setelah letusan paling bersejarah umat manusia di atas muka Bumi ini, 27 Agustus 1883, Krakatau diperkirakan membentuk kaldera yang tenggelam di bawah perairan Selat Sunda. Hanya Pulau Rakata saja yang muncul, dan itupun menyimpan rekaman lereng-lereng lebih purba lagi bersama dua pulau lain, Panjang dan Sertung.

Pulau Rakata, Panjang dan Sertung kemungkinan merupakan bagian juga dari proto-Krakatau yang dalam buku karya Simon Winchester “Krakatoa, The Day the World Exploded, August 27th 1883” disebut Gunung Kapi, mengutip tulisan Pujangga Keraton Surakarta, Ronggowarsito. Gunung leluhur Krakatau ini diduga meletus pada tahun 416 M (Abad ke-5 Masehi).

[caption caption="Krakatau sekarang (sumber: www.krakatau-tour.com)"]

[/caption]

Jalur Geotrek dari pantai langsung masuk ke kawasan Cagar Alam dalam jalur yang sudah ditentukan oleh BKSDA, pada lereng timur Anakkrakatau. Memasuki lereng ini fenomena bom gunung api menjadi perhatian. Bom-bom dalam berbagai ukuran itu adalah hasil dari letusan besar terakhir pada 2 September 2012. Satu bom sebesar mobil tampak teronggok dan di arah hulunya memberikan suatu lekukan seperti kawah, jejak jatuhnya bom tersebut, disebut bomb sag.

[caption caption="lava kemerahan produk erupsi 2 Sep 2012 (foto: BB)"]

[/caption]

Mendaki semakin tinggi ke arah timur, pemandangan sekitarnya Nampak semakin menarik. Dinding Pulau Rakata yang vertical terlihat seluruhnya membentuk silhuet segitiga. Di sisi lain, Pulau Panjang tampak jelas terpapar Matahari pagi. Di ujung punggungan yang merupakan bibir kawah tahun 1960, jalur terpotong aliran lava berwarna kemerah-merahan yang telah membeku. Warna kemerah-merahan menunjukkan suhu yang tinggi, selain kandungan besi yang kemudian berubah menjadi hematit. Lava ini sama seperti bom, adalah produk erupsi 2 September 2012.

[caption caption="Peta Geologi Anakkrakatau (Igan S. Sutawijaya, 2002)"]

[/caption]

Cagar Alam yang Ketat

Status lahan Anakkrakatau adalah Cagar Alam. Ini menimbulkan dilema. Di satu sisi hal ini baik karena akan melindungi tumbuhan asli yang berkembang sejalan dengan tumbuhnya Gunung Anakkrakatau, namun di sisi lain menjadi kendala bagi kunjungan wisata. Karena Krakatau terkenal ke seluruh dunia, banyak wisatawan yang datang ke gunung api ini. Namun wisatawan tidak begitu saja bisa datang dan bayar tiket di tempat. Mereka harus memohon surat ijin memasuki kawasan konservasi alias SIMAKSI. Surat sakti ini harus dimohon di BKSDA Lampung di Bandar Lampung. Pernah ada kasus wisatawan mancanegara yang datang dari arah Pantai Carita Banten ditolak oleh penjaga cagar alam karena tidak ada SIMKASI tersebut. Kesan yang sangat tidak baik bagi wisatawan. Bayangkan promosi buruk dari preseden ini terhadap kunjungan wisata berikutnya.

Menurut Undang-undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam, kawasan cagar alam adalah kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Kriteria untuk penunjukkan dan penetapan sebagai kawasan cagar alam, adalah:

  1. Mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa dan tipe ekosistem;
  2. Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya;
  3. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia;
  4. Mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin keberlangsungan proses ekologis secara alami;
  5. Mempunyai ciri khas potensi dan dapat merupakan contoh ekosistem yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi; dan atau
  6. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.

Karena sensitifnya kawasan cagar alam, beberapa kegiatan dilarang dilakukan di kawasan cagar alam karena dapat mengakibatkan perubahan fungsi kawasan cagar alam, yaitu:

  1. melakukan perburuan terhadap satwa yang berada di dalam kawasan
  2. memasukan jenis-jenis tumbuhan dan satwa bukan asli ke dalam kawasan
  3. memotong, merusak, mengambil, menebang, dan memusnahkan tumbuhan dan satwa dalam dan dari kawasan
  4. menggali atau membuat lubang pada tanah yang mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa dalam kawasan, atau
  5. mengubah bentang alam kawasan yang mengusik atau mengganggu kehidupan tumbuhan dan satwa

Larangan juga berlaku terhadap kegiatan yang dianggap sebagai tindakan permulaan yang berkibat pada perubahan keutuhan kawasan, sepert memotong, memindahkan, merusak atau menghilangkan tanda batas kawasan, atau membawa alat yang lazim digunakan untuk mengambil, mengangkut, menebang, membelah, merusak, berburu, memusnahkan satwa dan tumbuhan ke dan dari dalam kawasan.

Namun sesuai dengan fungsinya, cagar alam dapat dimanfaatkan untuk penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan kegiatan penunjang budidaya. Di sini tidak secara eksplisit kegiatan wisata dilarang, apalagi wisata seperti geotrek yang justru bersifat edukatif dan menunjang pengembangan ilmu pengetahuan.

Namun dengan terlalu ketatnya pemberian ijin kunjungan ke Anakkrakatau, ada baiknya BKSDA mengubah status kawasan cagar alam (CA) menjadi kawasan taman nasional (TN) atau bahkan taman wisata alam (TWA). Sekali pun lebih longgar, tentu saja prinsip-prinsip konservasi harus tetap dijaga kuat. Petugas yang berada di Anakkrakatau sendiri dengan tegas menyatakan bahwa, “sebagai kawasan cagar alam, seharusnya dilarang semua kegiatan yang tidak menujang konservasi, termasuk wisata.” Lalu? “Yaah kami terpaksa mengijinkan karena keterkenalan Krakatau.” Karena alasan status CA juga, pembuatan dermaga kapal tidak diperbolehkan.

Yaah… kalau begitu memang perlu segera ubah saja status dari CA ke TWA, jangan sampai SIMAKSI menjadi SIMAKSA, alias surat terpaksa :(  ***

 

[caption caption="interpretasi dari atas kapal (Foto: Cut Nanda Anissa)"]

[/caption]

 

 

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun