Di Provinsi Sulawesi Selatan, destinasi utama pariwisata sebenarnya adalah Tana Toraja. Destinasi ini hampir menjadi seperti Bali dengan daya tarik wisata budayanya, baik berupa desa-desa tradisional dengan rumah khas Tongkonan-nya, kubur batu, dan terutama saat ada upacara Rambusolo, penguburan tokoh Toraja yang meninggal dunia. Namun jarak yang jauh dari Bandara Internasional Sultan Hasanuddin di Maros, dekat Makassar, menjadikan destinasi Tana Toraja kurang berkembang secara baik.
Jarak sejauh lebih dari 300 km antara Makassar, ibukota Provinsi Sulawesi Selatan, ke Tana Toraja, memerlukan waktu sekitar 7 jam dengan kendaraan tanpa berhenti. Jarak dan waktu tempuh yang memang sangat melelahkan, terutama bagi wisatawan yang pikirannya sudah langsung tertuju ke Tana Toraja. Bandara kecil di Tana Toraja di Pongtiku, memang ada, tetapi tentu saja dengan hanya dilayani pesawat kecil, moda ini bukan menjadi pilihan karena jatuhnya akan menjadi terlalu mahal.
Pemikiran baru akhirnya muncul dengan cara wisatawan tidak langsung menuju Tana Toraja dari Makassar tetapi berhenti pada beberapa alternatif objek wisata di sepanjang perjalanan yang panjang itu. Sebenarnya banyak alternatif kawasan yang layak untuk dikunjungi,di antaranya Taman Nasional Bantimurung-Bulusaraung (TNBB), beberapa situs gua purbakala (Leang Leang, Leang Pettae, Leang Sumpangbita), dan Kawasan Kars Rammang-rammang. Seluruhnya ada di kawasan kars Maros yang terkenal dengan bentuk bukit kars menaranya.
Masih pada kawasan kars Maros, tetapi berada di Kabupaten Pangkep (Pangkajene dan Kepulauan), walaupun belum dikembangkan, tetapi potensi wisata kebumian/geologi (selanjutnya dikenal sebagai ‘geowisata’) sangat potensial berkembang di wilayah Balae. Di sini lansekap bukit-bukit kars yang tinggi dengan lereng terjal menghiasi pemandangan utama. Banyak gua yang terbentuk di kaki atau tengah bukit-bukit kars ini yang mempunyai banyak lukisan batu (garca: gambar cadas) purbakala, seperti halnya di situs-situs Leang Leang, Pettae dan Sumpangbita.
Memasuki wilayah pegunungan di Kabupaten Enrekang, objek sepanjang perjalanan layak dinikmati tetapi harus disertai interpretasi. Namun tiga objek berikut layak untuk berhenti dan dinikmati: Bukit Nona dan satu objek yang jarang diketahui, yaitu Tontonan di Cakke, serta wisata petualangan di wilayah pegunungan kars Buttu Bambapuang.
Alih-tengok
Di Kawasan Kars Maros, Sulawesi Selatan, kars Rammang-rammang menjadi alternatif destinasi menyimpang dalam perjalanan panjang Makassar-Toraja. Masuk ke jalan menuju kawasan industri Semen Bosowa, tepat di bawah jembatan Salo Pute, atraksi geowisata kars dimulai. Dengan menggunakan perahu, kita akan menelusuri sungai kecil di antara menara-menara kars yang eksotik. Sampai akhirnya perahu akan tiba di hulu sungai di Lembah Ammarung.
Alih-tengok berikutnya adalah di Kabupaten Enrekang, di Kampung Kotu, dimulai dengan titik koordinat S 03o30’03.1” E 119o47’09.7” di sisi jalan di Kotu ketika pertama melihat kerucut tinggi Bambapuang, S 03o28’51.4” E 119o47’39.3” di warung-warung Bukit Nona, hingga S 03o25’15.5” E 119o48’21.2” di Tontonan, Cakke. Dari tempat ini terdapat dua objek yang sangat menarik dari sisi geowisata, yaitu Buttu Kabobong yang terkenal karena bentuknya yang unik menyerupai kelamin perempuan, kerap disebut pula Gunung Nona, dan sebuah bukit atau gunung batugamping yang tinggi dan terjal, yaitu Buttu Bambapuang, serta bukit batugamping di Tontonan dengan sisi vertikal dan pada ceruknya terdapat tinggalan kotak kayu tempat jenazah.
[caption id="attachment_362627" align="aligncenter" width="300" caption="Butt Kabobong alias Bukit Nona yang eksotik dan erotik :)"][/caption]
Buttu Kabobong (Bukit Nona) dan Bambapuang
Bukit ini mempunyai morfologi yang sangat unik karena menyerupai kelamin perempuan. Itulah arti nama bukit ini dalam Bahasa Enrekang dan Toraja. Batuan penyusun bukit ini terdiri dari batupasir dari Formasi Rantepao. Secara geologi dan geormorfologi, terbentuknya morfologi unik tersebut dikenal sebagai perkembangan faset segitiga yang biasa terbentuk pada bidang sesar normal. Bidang sesar normal yang terbentuk akan mengalami erosi bertahap pada dindingnya sehingga pada tahap menengah akan menghasilkan deretan faset segitiga. Perbedaan ketahanan batupasir yang heterogen, akan membuat proses erosi memilih bagian-bagian yang lebih lunak dan menyisakan bagian yang lebih keras membentuk punggungan yang menonjol. Begitulah bagaimana Buttu Kabobong terjadi seperti ditunjukkan pada sketsa di bawah ini:
[caption id="attachment_362629" align="aligncenter" width="576" caption="Sketsa geomorfologi terbentuknya Bukit Nona (Buttu Kabobong). "]
Di sebelah Bukit Nona terdapat Gunung Bambapuang yang memiliki ketinggian 1.157 m di atas permukaan laut. Gunung batugamping dari Formasi Makale ini tampak kokoh menjulang tinggi dengan lereng vertikal di sisi selatan. Geowisatawan bisa menjelajah lereng gunung ini, atau bahkan sampai ke puncak dengan teknik pendakian tertentu. Di lereng atas atraksi panorama matahari terbit dan tenggelam akan memukau. Selain itu diinformasikan juga adanya sejumlah bunker milik tentara Jepang tinggalan masa Perang Dunia II.
[caption id="attachment_362632" align="aligncenter" width="300" caption="Buttu Bambapuang yang tinggi dan terjal"]
Tontonan di Cakke
Sekitar setengah jam dengan kendaraan ke arah utara, alih-tengok berikutnya terdapat di Desa Cakke, Kecamatan Anggeraja. Objek geowisata paling menarik adalah menuju jalan kecil ke arah Baraka. Di persimpangan Cakke – Baraka, bukit-bukit batugamping dengan tebing-tebing terjal yang unik menjadi pemandangan yang menarik. Kondisi batuan dan struktur geologi yang dipengaruhi zona sesar di kawasan ini, memberi kontrol proses geomorfologi sehingga menghasilkan bentuk-bentuk yang unik.
Menerus hingga menyeberangi jembatan Salo Allomata, terdapat suatu tempat yang bernama Tontonan. Dengan melangkahkan kaki pada lokasi yang kelihatannya menjadi objek wisata lokal namun kurang terurus, di tepi sungai kita dapat menyaksikan dinding perlapisan batugamping dan napal (batulempung karbonat) yang membentuk dinding tegak setinggi lebih dari 30 m. Besar kemungkinan dinding vertikal mulus ini dikontrol oleh retakan pada batuan tersebut. Ke arah hilir kita masih dapat menjumpai bagaimana dinding vertikal ini juga dipotong retakan yang melintang.
[caption id="attachment_362633" align="aligncenter" width="576" caption="Dinding tegak batugamping Tontonan dengan ceruk pada lapisan yang lebih lunak tempat erong berbentuk perahu diletakkan berjejer."]
Hal yang menarik juga adalah adanya kotak-kotak kayu tempat penyimpanan mayat. Menurut orang Toraja, kotak kayu berbentuk perahu disebut érong’. Hampir sekitar 10 erong ditempatkan menjajar dalam suatu ceruk pada lapisan batugamping setinggi lebih dari 10 m. Melihat kayunya yang sudah lapuk, besar kemungkinan erong ini peninggalan rartusan tahun yang lalu. Jadi tradisi penyimpanan mayat tinggal leluhur Toraja, juga masih ditemukan di Enrekang.
Jadi tidak ada alasan kejenuhan lagi dengan perjalanan panjang Makassar - Toraja. Banyak lokasi geowisata dimana kita bisa mampir dan beralih-tengok. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H