Selain aspek sosial tentu yang paling ringkan adalah masalah lingkungan. Kerusakan dan pencemaran ekosistem laut menjadi yang utama. Serta tidak ada jaminan bahwa proyek ini akan membantu Jakarta dalam mengurangi ancaman penurunan permukaan tanah. Proyek ini ngawur tidak memperhatikan faktor lingkungan dan sosial.
Secara yuridis diperlukan sebuah analisa yang obyektif terhadap kegiatan lingkungan hidup. Harus ada izin lingkungan, lalu perlu dilakukan Analisisa Dampak Lingkungan (Amdal) yang menjadi tolak ukur apakah proyek ini dapat diteruskan.
Melihat kebijakan yang dilakukan Gubernur Anies Baswedan yang sebelumnya memberhentikan soal reklamasi ini dan baru-baru ini mengeluarkan Ijin Mendirikan Bagunan (IMB) jelas bahwa ini adalah kebijakan yang plin plan tanpa ada analisa terkait dampak serta hanya  berorientasi pada pada bisnis dan keuntungan para pemodal. Anies menolak mencabut Pergub Nomor 2016 Tahun 2016 dengan alasan bangunan yang terlanjur didirikan lewat Pergub itu tak bisa dibongkar begitu saja.
Itulah saat kekuasaan rakyat bisa dibeli. Bagaimana birokasi tunduk pada pemegang modal. Serta hukum kita terbukti telah dikapitalisasi. Serta kita tidak pernah merasa sepenuhnya merdeka dan berdaulat. Derita rakyat menjadi korban, terpinggirkan dan dibungkam. Harus diam, tunduk, dan tidak perlu tahu banyak. Begitulah cara kita dibungkam.
Bila penurunan permukaan tanah atau resiko kemungkinan Ibu Kota tenggelam menjadi alibi untuk melakukan proyek ini kebohongan yang sempurna. Bahwa akibat dari penurunan permukaan tanah disebabkan kebutuhan air yang tinggi.
Selain itu beban tanah yang harus diterima setiap tahun terhada laju pembangunan yang kian lama kian pesat. Bila tanah di Ibu Kota bisa bicara mereka akan bilang bahwa mereka sudah lelah.
Perlu kita ketahui bahwa untuk mencegah permasalahan tersebut segera hentikan ekploitasi air tanah yang terjadi terus menerus. Â Lalu perhatikan laju dari pembangunan gedung-gedung pencakar langit di Ibu Kota.
Bila negara telah menjadi pengrusak dengan dalih kemakmuran. Bila negara telah menjadi tukang monopoli yang handal. Rakyat miskin dipinggirkan sedang konglomerat diagungkan. Warisan kolonial dan penjajah masih berlaku bagi mereka yang merasakan penindasan.
Hukumku mengatur Kekuasaan tertinggi di tangan rakyat namun kenapa berubah menjadi kekuasaan tertinggi berada ditangan pemodal?
Bingar Bimantara, 25 Juni 2019