Mohon tunggu...
Bayu Wira Pratama
Bayu Wira Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Saya adalah seseorang yang terus mencari identitas dan belajar untuk terus belajar. Sangat menghargai pengetahuan, apalagi ketidaktahuan.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kemacetan? Nggak Ngaruh!

17 November 2022   09:46 Diperbarui: 17 November 2022   10:07 306
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kemacetan di sekitar Taman Pelangi, diambil dari atas JPO. dokpri

Pada intinya, aku melakukan apa pun, asalkan membawaku untuk tidak merasakan kemacetan. Aku memang terjebak macet, tapi aku memilih untuk tidak merasakannya. Biarkan hal tersebut hanya menjadi sensasi indrawi saja, dan tidak naik menjadi sebuah emosi. Aku tak akan membiarkan pikiranku mengalami, bahkan memperkuat, apa yang sedang dialami tubuhku.

Aku memilih menghindari untuk berpikir mengenai solusi terhadap kemacetan, mulai dari seharusnya orang-orang berjalan kaki saja ketimbang naik motor, truk-truk seharusnya dilewatkan ke jalan lain, jalan ini harus dilebarkan, kenapa bisa ada banyak sekali manusia di sini, seharusnya dibangun JPO, seharusnya dibangun flyover, bla, bla, bla...Mengapa? Setelah kuraba dengan halus, ternyata ini adalah ekspresi kekesalanku terhadap kemacetan. Ini bukti batinku setuju terhadap kemacetan. Memang sangat halus, sangat tipis dibandingkan dengan berpikir mengenai berbagai hal.

Tapi kuakui, ketika terjebak macet, aku merasa kesal pada awalnya, tapi aku buru-buru tidak menyetujuinya. Kekesalan di awal dapat dimaklumi sebagai refleks, tapi setelahnya, menjadi sebuah pilihan bagiku.

Lagipula, kemacetan ini terjadi di luar kehendakku. Sama sekali di luar kendaliku. Tak ada satupun yang menginginkan dirinya terjebak kemacetan. Dan, terlebih lagi, marah terhadap kemacetan? Bertanya-tanya mengapa terjadi kemacetan? Memprotes pemerintah karena tak mampu memberikan solusi efektif untuk mengurai kemacetan? Bah. Untuk apa semua itu? Aku sadar bahwa aku juga turut memberikan kontribusi terhadap kemacetan, dengan keberadaanku di jalan tersebut. Aku juga bagian dari permasalahan. Aku bagian dari kemacetan.

Biarkan orang lain kecewa dan kesal terhadap kemacetan. Aku tak perlu mengikuti mereka. Aku selalu bebas untuk menahan persetujuanku. Sepenuhnya terserah padaku.

Tapi jika aku merasa begitu sulit untuk tidak menyetujuinya, aku teringat Kaum Stoik menyarankan semacam tipuan pikiran. Jika aku terjebak kemacetan, kuubah labelnya menjadi berada dalam konvoi fans klub sepakbola. Menurut Eric Weiner, "pikiran pada dasarnya selalu bermain tipu daya dengan realitas. Mengapa tidak menggunakan tipuan itu untuk sesuatu yang baik?"

Tapi, aku akan begitu sulit menahan persetujuan tersebut apabila tidak menyiapkan diri sejak awal, sejak sebelum menyalakan mesin motor. Epictetus (50-135 M), seorang filsuf Stoik ternama, di samping Marcus Aurelius dan Seneca yang juga tak kalah tenarnya, memberikan panduan terkait hal ini.

"Setiap kali kau hendak memulai suatu kegiatan, ingatkan dirimu seperti apa kegiatan itu. Jika kau pergi untuk mandi, bayangkan apa yang terjadi di suatu pemandian -orang-orang di sana yang mencipratimu atau menyikutmu atau bicara kasar atau mencuri barang-barangmu. Dengan begitu, kau akan lebih siap memulai kegiatan itu..."

Mengikuti panduan Epictetus tersebut, sebelum berangkat, aku berniat untuk pergi ke kampus untuk tholabul ilmi, dan bertawakkal kepada Allah. Aku harus sadar dan siap bahwa jalan yang kulalui ketika berangkat menuju kampus pasti akan ada kemungkinan (yang besar!) untuk macet. Maka, jika memang benar terjadi macet, aku sudah siap menghadapinya, dan segera aku mengalihkan perhatian dan pikiran terhadap hal-hal lain yang membuatku enjoy. Jika ternyata tidak macet? Malah sangat bagus sekali! Kuharap demikian!

Referensi:
1. Epiktetos. How to Be Free: Sebuah Panduan Klasik Hidup Stoik. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2021.
2. Weiner, Eric. The Socrates Express. Bandung: Qanita, 2020.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun