Mohon tunggu...
Bayu Winata
Bayu Winata Mohon Tunggu... -

pecinta jalan jalan, travel writer,\r\npecinta Kegiatan outdoor, dari naik gunung hingga diving\r\nKontributor tetap majalah infobackpacker.com\r\nBermimpi tulisan masuk National Geographic

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Cerita Songket dari Kampung Bandar

5 Juni 2017   12:06 Diperbarui: 7 Juni 2017   10:31 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di tepi sungai Siak, sungai terdalam di Indonesia yang juga membelah kota Pekanbaru terdapat kampung wisata yang bernama Kampung Wisata Kampung Bandar.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Di kampung wisata ini masih terdapat berbagai macam peninggalan sejarah kerajaan Siak, di antaranya, rumah singgah Sultan Siak, raja dari kerajaan besar yang pada abad ke 17 sampai 18 menguasai selat Malaka, tugu nol km, sebuah tugu yang menjadi bukti pembuatan jalan lintas antara Pekanbaru-Bangkinang- Payakumbuh yang dibuat pada zaman Belanda, tahun 1920 sampai 1922, dan rumah tenun yang berada di sebuah rumah berarsitektur Melayu yang dibangun pada tahun 1887. Rumah melayu tua ini milik H. Yahya yang pada zaman itu merupakan pengusaha karet.

benang tenun songket Siak. Dokumentasi pribadi
benang tenun songket Siak. Dokumentasi pribadi
menggulung benang untuk songket.Dokumentasi pribadi
menggulung benang untuk songket.Dokumentasi pribadi
Di dalam rumah tenun, setiap hari akan terdengar gemeratak suara dari alat tenun. Alat tenun ini menjadi ujung tombak komunitas swadaya di Kampung bandar untuk membuat songket Siak. Rumah tenun Kampung Bandar adalah salah satu pengrajin songket l yang ada di Pekanbaru. Dimulai dari pagi hingga sore hore. Penenun perempuan di rumah ini mengubah benang berwarna warni, benang emas, dan dan benang perak menjadi kain-kain songket. Mereka bernama Wawa Edinya dan Ruhaya. Dengan menggunakan tiga alat tenun bukan mesin/atbm. Mereka memenuhi pesanan yang berasal dari kota Pekanbaru bahkan Malaysia. Tanjak, syal, dan kain merupakan produk yang dihasilkan rumah tenun ini.

benang emas yang digunakan, berasal dari India dan dibeli dari Singapura. |Dokumentasi pribadi
benang emas yang digunakan, berasal dari India dan dibeli dari Singapura. |Dokumentasi pribadi
Motif pada songket Siak merupakan motif-motif yang rumit. Motif itu diantaranya adalah siku keluang, pucuk rebung,dan lebah bergayut. Karena motif yang rumit, harga dari songket yang dihasilkan mencapai jutaan rupiah. Rentang harga kain songket yang dijual di rumah tenun ini dari Rp 800.000 sampai dengan Rp 4.000.000.

menenun |Dokumentasi pribadi
menenun |Dokumentasi pribadi
menenun songket.Dokumentasi pribadi
menenun songket.Dokumentasi pribadi
Ruhaya, sedang menenun saat saya datang. Dia menjelaskan proses jadinya sebuah songket Siak. “Untuk mendapatkan 2.5 meter kain tenun Siak Dibutuhkan waktu 3 mingggu”. Menurut Ruhaya, “Bahan-bahan baku seperti benang emas berasal dari India dan ini dibeli di Singapura,” sambungnya. Dahulu, pada saat komunitas tenun ini dibentuk pada 2012 terdapat 7 orang penenun. Namun seiring berjalannya waktu tinggal dua orang saja yang tersisa dari komunitas ini. Tangan dan kaki Ruhaya begitu cekatan di alat tenun mesin.

Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Dokumentasi pribadi
Kehidupan para penenun songket ini sangat bergantung dengan pesanan yang datang. Meskipun kain songket yang mereka hasilkan memiliki mutu yang bagus. Namun dalam pemasarannya mereka masih sangat sederhana, mereka masih menggunakan promosi dari mulut kemulut belum memanfaatkan kekuatan sosial media dengan maksimal. Sembari tersenyum, Kak Ruhaya menjelaskan kepada saya “ Menenun ini sudah menjadi kehidupan kakak. Nikmati saja”.

Rumah Tenun Kampung Bandar, salah satu destinasi menarik di Pekanbaru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun