Mohon tunggu...
Bayu Wikranta
Bayu Wikranta Mohon Tunggu... Freelancer - Tidak suka nulis. Sukanya ngetik.

Tergantung arah angin

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Jurnalisme Multimedia adalah Jurnalisme yang Kreatif

7 Oktober 2019   20:21 Diperbarui: 7 Oktober 2019   22:34 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan teknologi kerap menjadi alasan utama. Dalam setiap pembahasan mengenai jurnalisme multimedia, tidak lengkap rasanya jika tidak menyampaikan pernyataan mengenai teknologi yang semakin maju, pesat, dan penggunaannya yang sangat luas-tak terbatas.

Pernahkah kita membayangkan hidup tanpa teknologi? Gampang terasa, untuk memikirkan sesuatu yang belum terjadi, belum kita miliki dan membayangkan hal tersebut bukan menjadi bagian dari kita. Tapi jika sudah hidup bersama sesuatu yang sudah nyata dirasakan dan dinikmati di depan mata, teknologi menyatu serta susah hilang dalam benak.

Semua orang, semua kalangan, sudah tersentuh smartphone, yang bisa digunakan mengakses kepentingan masing-masing. Dalam hal ini, andil smartphone sangat besar dalam dinamika jurnalisme multimedia di masa sekarang. Khususnya beberapa tahun belakangan, jurnalisme multimedia sudah membentuk lanskap baru, mengubah tidak hanya mereka yang bekerja sebagai orang-orang media (jurnalis, wartawan), tapi juga pembaca sebagai penikmat. Tidakkah orang-orang  tidak lagi membeli koran? Bahkan generasi milenial kebanyakan tidak lagi menonton televisi.

Hal ini barangkali bisa disebut revolusi abad ke-21 dalam lingkup media secara luas. Setelah memasuki dekade kedua dalam milenium baru, perubahan bisa terjadi setiap hari bahkan lebih cepat.

Jurnalisme multimedia memberikan banyak pilihan pada orang-orang untuk mengakses beritanya. Seperti apa cara favorit kita dalam mengakses berita? Bisa saja seseorang sangat kritis dan ingin langsung mendapatkan berita ketika baru saja meninggalkan alam mimpi di kasurnya. 

Karena masih sedikit mengantuk ia memilih untuk membaca berita sekilas di media sosial Twitter, atau LINE Today misalnya mengenai aksi penolakan RUU KUHP. Mereka baru bangun yang lain memilih untuk melihat berita di Youtube, karena lebih suka dengan audio-visual yang ditampilkan.

Pilihan-pilihan inilah yang memberi kemampuan pada konsumen untuk mengetahui apa yang terjadi di dunia secara konstan, cepat, dan mudah. Mereka yang bekerja dalam media, sebagai jembatan dan lapangan konten, juga mudah mengetahui demografis (dan informasi terkait) dengan menghasilkan algoritma tertentu berdasarkan setiap individu dalam mengakses konten yang disediakan. Walau ini masih menjadi polemik karena media dianggap mengambil informasi privat konsumen atau sepenuhnya belum diketahui digunakan untuk kepentingan apa (cenderung profitable).

Pemantik Rasa Darurat Akan Sesuatu yang Sedang Terjadi

Masih ingat contoh diatas? Aksi penolakan RUU KUHP. Peristiwa ini besar dan luas jangkauannya, pergerakan terjadi di daerah-daerah dan semuanya serentak bergerak, terlebih mahasiswa.  

Teknologi digital mengambil peran yang krusial dalam mengangkat suara perlawanan individual maupun kolektif dalam konteks ini (berbeda dari tahun 1998 dengan kejadian yang mirip) terjadi tidak hanya di lapangan secara langsung, namun juga di media sosial. Facebook berkecamuk, Youtube lugas dengan videonya, Instagram dengan cerita singkat padat 15 detiknya, dan Twitter dengan hashtag sebagai senjata utama.

 Bahkan Twitter kini dinilai menjadi media sosial yang paling sering "live" atau langsung dalam memberitakan peristiwa tertentu. Sebuah bentuk pergerakan bersamaan di kedua "dunia" yang berbeda.

Bicara soal berita, penyebaran informasi kerap dilakukan oleh media mainstream atau oleh mereka yang bekerja sebagai jurnalis/wartawan. Tidak hanya pekerja profesional, namun juga jurnalisme warga-citizen journalism yang jika digabungkan, mengumpulkan sebuah kumpulan informasi berita entah tulisan, video, gambar, audio menjadi dapat diakses begitu cepat dan mudah. 

Inilah yang membentuk sebuah urgensi, seperti menyatakan "Di luar sana ada seperti ini, dan kau harus tau". Semua menyatu dan melihat ini menjadi konflik yang dihadapi bersama.

Sebagaimana kita tahu, berita yang beredar juga harus berintegritas dan terjamin akurasinya, lengkap dengan kode etik jurnalistik yang senantiasa mengikuti. Secara tidak langsung, ini juga menguji bagaimana warga negara bertanggung jawab dalam melakukan tindakannya, terkhusus dalam melakukan aktivitas jurnalistik. Lalu, sudahkah kita melakukannya dengan baik? 

Ini bisa menjadi pisau bermata dua jika ternyata apa yang kita akses bukan sesuatu yang kebenarannya masih kabur. Misalnya saja dalam aksi penolakan RUU KUHP, seperti butuh kejelian menganalisis pergerakan yang terjadi- apakah memang kita mahasiswa tahu apa yang kita bicarakan dan lakukan, atau hanya terkena efek bandwagon (ikut-ikutan). Entah, mungkin tidak menjadi masalah besar, yang penting jika sudah ramai, barangkali DPR lalu berkedut dan semakin terdesak melihat kekurangan dari beberapa rancangan perundangan mereka.

Jurnalisme Multimedia adalah Jurnalisme yang Kreatif

Kata-kata tidak lagi cukup untuk memenuhi permintaan konsumen. Surat kabar atau mereka yang lain berbabis cetak merasakan beban terbesar dari perubahan di dunia serba digital ini. 

Dengan semakin banyak media dalam bentuk portal berita yang muncul, ini menjadi perluasan kesempatan pada berbagai kemampuan yang dibutuhkan di ruang redaksi. Maka kolaborasi adalah kuncinya. Mulai dari jurnalis, analis data, desainer grafis, fotografer, animator, semuanya harus bekerja bersama untuk membuat konten jurnalisme multimedia yang menarik perhatian pembaca setiap kali mereka mengakses masuk.

Banyak ruang redaksi (news room) dan organisasi media memerlukan dan melakukan pencabangan informasi dengan penggunaan media sosial aktivitas jurnalistik mereka. Ini adalah cara yang ampuh untuk memaksimalkan cerita dan membagikannya kepada konsumen.

Masih ingat ketika bicara soal pergerakan dua "dunia" berbeda? Kali ini konteks dua dunia yang berbeda adalah bagaimana jurnalisme multimedia seakan menggabungkan realitas dan fiksi menjadi satu dalam penyebaran beritanya. Media sekarang bahkan tidak memiliki berita dalam bentuk cetak, semuanya dilakukan secara digital penuh di website resmi, dan akun-akun di hampir setiap media sosial yang ada, memungkinkan angin segar kebaruan dalam jurnalisme multimedia.

Instagram Tirto.id : https://www.instagram.com/tirtoid/
Instagram Tirto.id : https://www.instagram.com/tirtoid/

Mari kita ambil contoh portal berita Tirto.id di media sosial Instagram, sebagaimana fitur utamanya gambar, Tirto.id muncul sebagai jurnalisme presisi yang menampilkan infografik di setiap berita unggahannya disini. Dalam infografiknya, Tirto.id tidak jarang memunculkan data berita dengan menggaet budaya popular (pop culture) yang sedang ramai atau timeless dari masa ke masa. 

Referensi ini bisa berasal dari film, musik, komik, video game, dan seni lainnya. Kita sebagai konsumen, sangat terhibur demikian jurnalis mereka yang bekerja di media dalam menjalankan aktivitas jurnalistiknya. Membaca berita bukan lagi hal yang membosankan, jurnalisme bukan lagi sesuatu yang begitu purna atau serba formal (kode etik tetap utama).

Namun apakah hal yang sudah begitu membantu, memudahkan, dan menarik- hadir tanpa polemik? Bagaimanapun, ialah datang berpasangan baik buruk pada setiap hal, tidak terkecuali jurnalisme multimedia, dan mereka yang berada dalam lingkup ini, konsumen, pekerja media, semuanya harus bahu membahu memajukan jurnalisme yang semakin baik di abad ke-21, di era digital serba canggih. Selama manusia memiliki sesuatu untuk diceritakan (berita), selama itu pula jurnalisme akan terus ada. Berita yang baik sejatinya memuat informasi yang membangun kasanah keilmuan, emosi, empati, efek berkelanjutan, dan tentunya kreativitas yang beragam.

Catatan Kaki :

  1. Emily Cox, "Digital storytelling: The rise of multimedia journalism", https://medium.com/@EmilyJeanCox/digital-storytelling-the-rise-of-multimedia-journalism-30435179b00c
  2. Sonia Singha, "Multimedia Journalism: A window to our daily news.", https://medium.com/@soniasingha/multimedia-journalism-a-window-to-our-daily-news-d8d85a700a6f

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun